Pemerintah dan DPR Kompak: Mahasiswa dan Ibu Rumah Tangga Tak Berhak Gugat UU TNI
Tanggal: 26 Jun 2025 12:09 wib.
Polemik revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali mencuat, terutama setelah sejumlah gugatan diajukan oleh masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, pekerja swasta, dan ibu rumah tangga. Namun, upaya hukum ini mendapatkan tanggapan tegas dari pemerintah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan Ketua Komisi I DPR, Utut Adianto, menilai bahwa gugatan tersebut tidak sah. Hal ini disebabkan karena para pemohon dianggap tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk menggugat.
Menurut Utut Adianto, "Karena tidak berkapasitas sebagai TNI aktif, calon prajurit TNI, ataupun pegawai di instansi sipil yang berpotensi dirugikan." Dengan demikian, pihak-pihak yang menggugat UU TNI tidak diakui memiliki kapasitas untuk mengajukan tuntutan hukum. Hal ini menjadi satu dari sekian banyak alasan yang diungkapkan oleh pemerintah dan DPR dalam merespons gugatan-gugatan yang dianggap tidak berdasar tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa revisi UU TNI ini muncul dari kebutuhan untuk menyelaraskan tugas dan fungsi TNI dalam konteks kemajuan zaman serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga keamanan nasional. Namun, beberapa elemen masyarakat merasakan bahwa proses revisi ini kurang melibatkan partisipasi publik, sehingga memunculkan kekecewaan dan keinginan untuk menggugat di pengadilan. Meski demikian, pemerintah berargumen bahwa partisipasi publik telah dilakukan melalui mekanisme yang ada, meskipun hasilnya mungkin tidak selalu berpihak kepada semua kelompok masyarakat.
Dari sisi lain, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas juga menanggapi serius setiap gugatan yang masuk, tetapi dalam konteks ini, ia mendukung pendapat DPR terkait legal standing pemohon. Baginya, substansi dari gugatan tersebut perlu dipahami lebih dalam. “Kami menghargai setiap aspirasi masyarakat, namun perlu diingat bahwa tidak semua aspirasi dapat diterjemahkan dalam bentuk gugatan hukum,” ungkap Supratman.
Revisi UU TNI sendiri telah melalui serangkaian proses legislasi yang panjang, termasuk pembahasan di berbagai tingkat. Para legislator berusaha untuk memastikan bahwa revisi tersebut tidak hanya memenuhi tuntutan zaman, tetapi juga tetap menjaga marwah TNI sebagai institusi yang berperan penting dalam pertahanan dan keamanan negara. Namun, keberadaan kelompok yang menentang terkadang menimbulkan kesan bahwa ada ketidakpuasan dalam proses tersebut.
Sementara itu, para penggugat, terutama dari kalangan mahasiswa dan ibu rumah tangga, merasa bahwa wawasan mereka sebagai warga negara seharusnya diperhitungkan dalam pembentukan undang-undang. Mereka berargumen bahwa dampak dari UU TNI akan dirasakan oleh seluruh masyarakat, bukan hanya oleh anggota TNI atau pegawai negeri yang terkait secara langsung. Kendati demikian, pemerintah dan DPR tetap berpegang pada prinsip bahwa untuk menggugat sebuah undang-undang, penggugat harus mampu menunjukkan bagaimana mereka secara langsung terdampak oleh substansi undang-undang tersebut.
Situasi ini menampilkan ketegangan antara aspirasi masyarakat sipil dan posisi legislatif yang berwenang dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks yang lebih luas, diskusi mengenai partisipasi publik dalam proses legislasi masih perlu terus dilakukan agar suara semua kalangan dapat didengar, terutama di era demokrasi seperti saat ini. Meski begitu, untuk masalah UU TNI, tampaknya pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk menetapkan posisi mereka terhadap gugatan-gugatan yang ada.