Sumber foto: pinterest

Pemberontakan DI/TII: Negara dalam Negara oleh Kartosoewirjo

Tanggal: 17 Mei 2025 15:00 wib.
Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Kartosoewirjo merupakan salah satu episode paling krusial dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Muncul di tahun 1949, DI/TII berupaya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dengan tujuan untuk menerapkan syariat Islam di seluruh Indonesia. Gerakan ini tidak hanya menggoyahkan stabilitas politik di Indonesia, tetapi juga menciptakan tantangan besar terhadap pemerintah yang baru terbentuk.

Kartosoewirjo, seorang tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan Islam yang kuat dan berpengalaman dalam organisasi, menjadi motor penggerak gerakan DI/TII. Ia memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak mampu mengatasi berbagai masalah seperti pendidikan, ekonomi, dan ketidakadilan. Dalam pandangan Kartosoewirjo, perjuangan untuk mendirikan NII adalah upaya untuk menyelamatkan umat Islam dari penindasan dan ketidakadilan yang dianggap mengakar dalam sistem pemerintahan yang ada.

Pemberontakan DI/TII dimulai di Jawa Barat, tempat di mana Kartosoewirjo berhasil menggalang dukungan dari berbagai kalangan, termasuk para pejuang kemerdekaan yang merasa diberdayakan oleh gerakan ini. Dalam waktu singkat, DI/TII berhasil menguasai beberapa daerah, dan Kartosoewirjo pun mengumumkan berdirinya NII pada tanggal 7 Agustus 1949. Pengumuman ini menjadi pemicu bagi pertempuran yang lebih luas antara gerakan DI/TII dengan pasukan pemerintah Republik Indonesia.

Konsekuensi dari pemberontakan ini sangat jauh jangkauannya. DI/TII berupaya menerapkan hukum syariat dengan kekuatan militer, yang pada gilirannya menimbulkan ketegangan antara paham sekuler yang dianut oleh pemerintah dan paham Islam yang diusung oleh DI/TII. Di bawah kepemimpinan Kartosoewirjo, gerakan ini menunjukkan ketahanan luar biasa meskipun telah menghadapi berbagai serangan dari pihak pemerintah. Dia mendirikan basis-basis operasi di dalam hutan dan desa terpencil, membuat DI/TII seolah-olah seperti “negara dalam negara.”

Kartosoewirjo berusaha meyakinkan masyarakat bahwa berdirinya NII adalah solusi bagi melawan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang menyusup. Meskipun demikian, banyak kalangan umat Islam lainnya yang tidak sependapat dengan metode kekerasan yang digunakan oleh DI/TII. Tulisan-tulisan dan ajakan Kartosoewirjo sering kali membangkitkan semangat perjuangan, tetapi juga memicu perdebatan mengenai jalan yang benar untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai contoh, ketegangan antara DI/TII dan kelompok Islam moderat yang lebih memilih jalur politik mendorong perpecahan yang lebih besar dalam masyarakat.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Kartosoewirjo adalah respons militer dari pemerintah. Pada tahun 1962, setelah periode pertempuran sengit, Kartosoewirjo akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Meskipun kepemimpinan Kartosoewirjo berakhir, ide-ide yang digagasnya mengenai NII terus hidup dan menginspirasi sejumlah kelompok hingga dekade-dekade berikutnya. Pemberontakan DI/TII menjadi contoh bagaimana ideologi dapat menjadi titik perpecahan dan persatuan dalam konteks masyarakat yang kompleks seperti Indonesia.

Pemberontakan DI/TII membawa dampak yang signifikan terhadap cara pemerintah Indonesia memahami konflik domestik. Banyak pebelajar sejarah melihatnya sebagai salah satu contoh perjuangan ideologis yang berlangsung di tengah pergulatan untuk membangun identitas bangsa. Pengaruh Kartosoewirjo dan ide-ide yang diusungnya masih terasa, menciptakan arus pemikiran yang terus bergulir dalam diskursus tentang negara dan agama di Indonesia. Dalam dinamika ini, DI/TII menjadi lebih dari sekadar kelompok pemberontak; ia menjadi simbol dari upaya untuk memahami dan merekonstruksi makna kemerdekaan dan identitas bangsa.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved