Pembangunan yang Berkelanjutan atau Kekuasaan yang Berkelanjutan?
Tanggal: 29 Mar 2024 22:26 wib.
Oleh: Dr Ramadhan Pohan SIP MIS
SETIAP pesan yang disampaikan oleh aktor politik adalah komunikasi politik. Prof Lely Ariannie dalam bukunya yang berjudul Teori, Model, Perspektif dan Media komunikasi politik (2022), menuliskan bahwa Bahasa politik (bahasa yang digunakan dalam konteks politik) dan apa yang membuat bahasa verbal maupun nonverbal menjadi politis bukanlah karena bentuk atau kosakatanya, melainkan karena substansi informasi yang dihadirkan, setting di mana informasi disebarkan maupun karena fungsi yang dijalankan. Penyampaian pesan oleh politisi yang bukan menyangkut politik sekalipun, nyata adalah komunikasi politik juga namanya.
Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 bisa disebut Pemilihan Umum yang benar-benar menarik perhatian luas publik. Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang kontroversial dianggap menguntungkan salah satu kontestan. Anggaran bansos (bantua sosial) yang tiba-tiba membengkak hinga Rp 492 Miliar, hingga dugaan terjadinya kecurangan terstruktur, sistematis dan masif yang tinggal menunggu waktu untuk dibuktikan menjadi bahasan-bahasan yang menarik. Cerita ini akan ditulis dengan tinta kelabu dalam sejarah perjalanan demokrasi Indonesia. Namun juga menjadi bahan yang menarik untuk terus menerus dianalisis oleh para akademisi sebagai penjaga akal sehat dan etika dalam bernegara.
Fenomena terbaru yang menarik untuk dicermati adalah pengangkatan Calon Presiden Prabowo Subianto sebagai jenderal yang langsung disematkan oleh Presiden Joko Widodo. Beberapa pakar militer dan pakar hukum tata negara menyebut bahwa pengangkatan tersebut bertentangan dengan konsitusi di mana pemberian pangkat Istimewa hanya berlaku bagi perwira yang masih aktif. Aktif sebagai prajurit TNI, bukan aktif sebagai politisi.
Pelanggaran terhadap konsitusi ataupun bermain dengan konsitusi untuk memenuhi tujuan tertentu bukan sebuah barang baru dalam latar waktu Pemilu 2024 ini, sehingga tidak banyak yang terkejut juga. Hal yang menjadi perhatian adalah “peristiwa tutur” yang terjadi dalam penyematan gelar jenderal kehormatan tersebut. Pidato Presiden Joko Widodo merupakan arahan kepada pejabat teras TNI dan Polri yang hadir pada acara tersebut, yang sejatinya adalah acara Rapat Pimpinan TNI tahun 2024, di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, 28 Februari 2024.
Satu kalimat yang cukup menarik ada pada akhir pidato presiden: “Pembangunan harus dilakukan berkelanjutan, harus dijalankan secara konsisten ini yang penting.” Pembangunan memang harus dilakukan berkelanjutan, sesuai dengan prinsip sustainable development goals.
Namun, rasa-rasanya penjelasan dari presiden tidak mengarah ke sana. Peristiwa tutur yang disampaikan oleh presiden patut dilihat lebih lanjut di tengah situasi pasca pemungutan suara yang sudah dilakukan.
Dell Hymes memperkenalkan metode etnografi untuk menganalisis sebuah peristiwa tutur, yaitu SPEAKING yang terdiri dari Setting, Participants, End, Act sequence, Key, Instrument, Norms, dan Genre. Instrumen tersebut akan membantu untuk menemukan makna dari sebuah peristiwa tutur.
Pidato Presiden Joko Widodo terjadi pada situasi pasca pemungutan suara 14 Februari 2024. Hal yang patut disoroti tentu saja ada pada kalimat yang sudah penulis ungkapkan di paragrap sebelumnya. Presiden menyebut pentingnya pembangunan yang dilakukan secara berkelanjutan. Penulis menangkap makna bahwa presiden berikutnya harus bisa melanjutkan berbagai program yang sudah digagas oleh Presiden Joko Widodo. Kalimat ini juga menjadi penekanan dalam pidato Presiden Joko Widodo dengan menambahkan “ini yang penting” di akhir kalimat.
Kita semua juga tahu jika ada dukungan dari pihak incumbent kepada salah satu pasangan calon. Secara tersurat ataupun tersirat, publik agaknya bisa menilai dukungan yang diberikan kepada pasangan nomor urut 2 tersebut dari pihak Istana. Apakah salah berbagai gelombang dukungan yang diberikan kepada salah satu pasangan calon oleh pemerintah yang masih aktif? Biarlah para pakar politik dan hukum tata negara yang menilai benar atau tidaknya gerakan mendukung salah satu pasangan calon tersebut.
Pidato dan juga pemberian jenderal kehormatan pada calon presiden nomor urut 2 tidak bisa dilepaskan begitu saja dari aspek politik, apalagi terjadi pada situasi politik yang masih panas. Ada penekanan memang di keterangan pers presiden pasca acara di mana tidak ada unsur politik dalam pemberian kenaikan pangkat kepada calon presiden nomor urut 2 tersebut, karena waktunya dilakukan pasca pemungutan suara selesai dilakukan. Presiden mungkin lupa, jika ada tiga jenis latar yang dipakai untuk menganalisis sebuah peristiwa tutur, yaitu latar waktu, tempat dan juga situasi atau suasana. Waktunya memang terjadi pasca pemungutan suara, namun situasi politik di berbagai sudut tanah air masih seputar Pemilihan Umum masih belum usai rangkaiannya.
Ujung dari sebuah komunikasi, baik itu politik ataupun bentuk komunikasi lainnya, adalah hasil atau efek dari penyampaian pesan yang dilakukan. Pidato Presiden di acara rapat pimpinan tersebut diawali dengan penyampaian Presiden mengenai kondisi politik dan keamanan global. Pembahasan tersebut kemudian menjembatani pada penyampaian mengenai pencapaian pemerintahan Joko Widodo di mana Indonesia dikategorikan berada pada kondisi baik-baik saja di tengah kekacauan yang terjadi di ranah politik internasional. Pidato tersebut berujung pada himbauan pada pembangunan harus dilanjutkan secara berkelanjutan.
Ada dua agenda utama yang penulis tangkap dalam tindak tutur presiden dalam pidato kali ini. Tindak ilokusi pertama bersifat asertif, jika dikategorikan pada kategorisasi tindak tutur yang dikemukakan oleh John Searle (1979). Presiden membeberkan fakta-fakta untuk mengklaim bahwa kabinetnya telah bekerja dengan baik untuk mengamankan posisi Indonesia di tengah situasi politik dunia yang tidak stabil.
Tindakan tutur kedua yang dilakukan Presiden Joko Widodo adalah tindak tutur yang bersifar direktif yang bertujuan untuk mengarahkan peserta melakukan sesuatu. Tindakan tersebut terletak pada kalimat presiden yang menghimbau TNI dan Polri untuk masuk ke ranah teknologi pertahanan. Kalimat berikutnya yang bersifat direktif adalah arahan untuk melakukan Pembangunan yang berkelanjutan. Presiden Joko Widodo berkata, “Pembangunan harus dilakukan secara berkelanjutan, harus dilakukan secara konsisten.” Konklusinya adalah pemerintah saat ini sudah berhasil menjaga Indonesia dari ancaman politik global yang tidak stabil, sehingga perlu dilanjutkan oleh presiden selanjutnya. Pembaca tentu bisa menebak calon presiden yang ingin melanjutkan program Presiden Joko Widodo yang diklaim berhasil tersebut.
Norma hukum jelas tidak melarang presiden mengungkapkan pendapat seperti itu ataupun memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Presiden sendiri yang mengajarkan kita bahwa presiden Republik Indonesia boleh mendukung dan berkampanye kepada salah satu calon. Tidak ada yang salah dengan pidato ini dalam konteks norma hukum formal di Indonesia.
Presiden dalam kalimat tersebut seperti tidak memberikan ruang kepada perbedaan pemikiran dalam konteks demokrasi. Pidato untuk “Pembangunan yang berkelanjutan” seakan memberikan vonis pada kelompok perubahan sebagai kelompok yang tidak menginginkan kemajuan Indonesia. Mereka yang tidak sejalan dengan pemerintahannya, tidak boleh ikut ambil bagian dalam Pembangunan Bangsa.
Perbedaan pendapat, pergantian kepemimpinan secara individu ataupun kelompok yang menyertainya, adalah sesuatu yang lazim dalam pemerintahan yang dilakukan secara demokrasi. Semua calon presiden yang berkompetisi dalam Pemilu pasti menginginkan hal terbaik untuk Indonesia, terlepas dari cara dan juga ideologi yang berbeda-beda. Selama tidak bertentangan dengan konsitusi, semuanya memiliki hak yang sama untuk mengemukakan cara terbaik untuk mengelola Republik Indonesia.
Sulit untuk berbicara mengenai norma dalam latar waktu Pemilu 2024 ini. Konsitusi sebagai hal yang sakral dan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara saja bisa dimainkan untuk memuluskan tujuan-tujuan tertentu. Norma sosial yang sifatnya konvensi tentu bisa dimainkan dan perlahan diubah untuk membenarkan tindakan yang diambil.
Pembangunan tentu akan terus berlanjut, siapapun presiden yang diumumkan sebagai pemenang. Seperti yang diungkapkan Presiden, situasi global yang tidak menentu membawa bangsa ini pada keharusan untuk terus memperbaiki diri.
Jadi jikalau penulis boleh bertanya pada Presiden Republik Indonesia, pembangunan yang berkelanjutan atau kekuasaan yang berkelanjutan?
*) Pengamat, Doktor Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (UNPAD), Jatinangor