Pemakzulan Gibran adalah Keniscayaan: Jalan Menuju Rekonsiliasi Nasional

Tanggal: 7 Jun 2025 13:49 wib.
Pemakzulan Gibran adalah Keniscayaan : Jalan Menuju Rekonsiliasi Nasional
Oleh: M. Isa Ansori

Sepertinya Jokowi mantan presiden selalu menghadapi masalah yang bertubi tubi, belum selesi persoalan dugaan ijazah palsu, kini menghadapi tekanan isu pemakzulan sang putra mahkota, Gibran Rakabuming dari kursi wapres. Isu ini tentu tidak berdiri sendiri, karena memang ada sebab yang melatarbelakanginya. Gibran dianggap sebagai anak haram konstitusi, karena lahir dari proses mengmputasi demokrasi dengan keputusan Sang Paman Usman ketika menjabat sebagai ketua MK. Gibran dianggap juga sebagai produk yang melawan semangat reformasi yang anti terhadap KKN dan oligarki politik. 

Wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih bukan lagi sekadar obrolan pinggiran. Ia telah naik kelas menjadi wacana konstitusional dan politik yang sah. Bahkan, sejumlah purnawirawan TNI dan Polri telah menyampaikan surat resmi kepada Presiden dan DPR RI, menyatakan keprihatinan atas dugaan pelanggaran moral dan etika konstitusional yang melibatkan Gibran. Selain itu Gibran dianggap kurang cakap, dalam berbagai kesempatan terlihat kemampuan Gibran yang tidak memedahi sebagai seorang wapres. Sehingga dalam pandangan para purnawirawan TNI Polri, Indonesia menghadapi persoalan kepemimpinan nasional, bila Prabowo berhenti dan mengalami hambatan pemerintahan ditengah jalan.

Isu tentang dugaan keterlibatan Gibran dalam akun FufuFafa—yang disebut menyebarkan konten tidak layak bagi publik—serta kaitan dengan jaringan judi online (judol), menjadi alarm etik yang serius. Walau masih dalam proses pembuktian hukum, dalam perspektif konstitusi, tindakan yang mencederai martabat dan kelayakan seorang pejabat negara sudah cukup untuk dikategorikan sebagai perbuatan tercela, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945.

Pemakzulan Wakil Presiden secara konstitusional memang bukan perkara sepele. Namun UUD 1945 membuka jalannya. Jika DPR menilai ada cukup alasan hukum dan moral, Mahkamah Konstitusi dapat menguji, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat mengambil keputusan untuk memberhentikan. Dalam hal ini, Pasal 8 Ayat (2) menegaskan bahwa Presiden dapat mengajukan nama pengganti Wakil Presiden kepada DPR, yang kemudian dipilih dalam sidang paripurna.

Namun lebih dari soal hukum, pemakzulan ini harus dilihat sebagai bagian dari proses pemulihan demokrasi dan rekonsiliasi nasional.

Beberapa manuver politik belakangan memberi isyarat penting. Pertemuan antara Dasco (Gerindra), Megawati, dan Puan Maharani menunjukkan sinyal membaiknya hubungan antara PDIP dan Gerindra. Dalam konteks ini, Presiden terpilih Prabowo Subianto tengah menghadapi peluang untuk membalikkan polarisasi yang selama ini dipelihara oleh manuver politik Presiden Joko Widodo, yang mengusung putranya sendiri sebagai cawapres—tindakan yang dinilai banyak pihak sebagai puncak politik dinasti.

Prabowo punya momentum untuk mempertemukan kembali dua poros besar yang selama ini dibenturkan: PDIP dan Koalisi Perubahan. Terlebih, dukungan Anies Baswedan terhadap pasangan Pramono Edhie Wibowo dan Rano Karno di Pilgub Jakarta yang didukung PDIP, bisa dibaca sebagai bagian dari kompromi politik yang lebih luas.

Dalam skenario rekonsiliasi nasional ini, PDIP berpeluang mengajukan dua nama penting: Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Anies Baswedan, sebagai peraih suara kedua dalam Pilpres 2024, dapat diajukan oleh Presiden Prabowo sebagai Wakil Presiden pengganti Gibran. Ini akan menjadi langkah berani yang tidak hanya memperbaiki citra demokrasi, tetapi juga mengakui kehendak rakyat yang terpecah di dua kutub besar.

Ganjar Pranowo, yang sebelumnya diusung PDIP sebagai capres, dapat diberi tanggung jawab sebagai Menteri Dalam Negeri, peran sentral untuk memperkuat sinergi pusat-daerah dan menjaga netralitas birokrasi menjelang Pilkada 2024.

Langkah ini tidak saja menyelesaikan masalah legitimasi etis Gibran, tetapi juga memberi ruang bagi rekonsiliasi dan konsolidasi nasional. Sebuah jalan tengah yang mempertemukan kekuatan besar bangsa untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap demokrasi, yang selama ini ternoda oleh praktik cawe-cawe kekuasaan.

Pemakzulan Gibran tidak perlu dibaca sebagai pengkhianatan terhadap hasil pemilu, melainkan sebagai pemulihan terhadap nilai-nilai demokrasi yang lebih mendasar: integritas, etika, dan kepatutan dalam jabatan publik.

Jika Prabowo berani mengambil langkah ini, ia tidak hanya akan tercatat sebagai pemimpin yang merangkul semua kekuatan, tetapi juga sebagai negarawan yang menyelamatkan demokrasi dari kerusakan sistemik yang ditinggalkan pendahulunya.

Surabaya, 6 Juni 2025

M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Pengajar Psikologi Komunikasi dan Pengamat Kebijakan Publik
Copyright © Tampang.com
All rights reserved