Pakar Hukum Tata Negara : "Revisi UU Ormas bakal Alot"
Tanggal: 3 Nov 2017 04:56 wib.
Tampang.com- Sejumlah pakar hukum tata negara meyakini bahwa revisi UU Ormas yang merupakan hasil dari disetujuinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 akan berjalan alot. Khususnya tentang aturan pembubaran parpol lewat pengadilan. Menurut pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, pemerintah dimungkinkan akan tetap bersikukuh bahwa proses pengadilan akan dilakukan di akhir setelah pemberian sanksi, sebagaimana yang tertuang di Perppu.
”Saya melihat hal ini akan alot disoal pembubaran parpol lewat pengadilan. Pemerintah bisa saja merevisi pasal yang lain, tapi tidak untuk pengadilan ini. Artinya sanksi ormas diterapkan terlebih dahulu, dan jika keberatan bisa mengajukan ke pengadilan. Hal itu bisa dilihat dalam kasus HTI (Hizbut Tahrir Indonesia),” kata Margarito
Sedangkan untuk pasal lainnya yang mungkin untuk direvisi, ucap Margarito, adalah hukuman pidana terhadap para anggota ormas dan penjabaran mengenai ormas yang melanggar Pancasila. Sebagaimana juga yang diajukan oleh Fraksi Partai Demokrat dengan tiga poin revisinya yang pada Selasa (31/10) kemarin ke pimpinan DPR RI. ”Mungkin hukuman terhadap anggota ormas dihilangkan. Tapi pimpinannya saja yang dihukum. Dan revisi lainnya yakni memberikan penjabaran perihal definisi pelanggaran terhadap Pancasila. Sehingga ormas nanti tahu batasannya,” ungkapnya.
”Jadi kalau soal pembubaran Ormas tanpa didahului proses pengadilan inilah yang nantinya akan terjadi proses tawar menawar yang alot. Tapi saya tetap optimis revisi UU Ormas yang baru ini akan selesai sebelum 2019,” tandasnya.
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Refli Harun ketika dikonfirmasi menjelaskan bahwa sejak awal Perppu dibentuk, dirinya menolak adanya pembubaran tanpa melalui proses pengadilan. Ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menegakkan keadilan. Yaitu, mendengarkan dua belah pihak baik pemerintah maupun ormas. ”Keadilan itu harus ditegakkan, due process of law yakni mendengarkan kedua belah pihak, tidak hanya pemerintah. Tapi juga ormas yang memang ingin dibubatkan melalui proses peradilan, proses yang harus fair,” katanya.
Dia pun membandingkan proses peradilan pidana yang ada di negeri ini. ”Maling ayam saja harus diadilkan dulu biar tahu kesalahannya sejauh apa dan vonisnya hukumannya berapa lama. Sehingga sanksi pidana harus rasional utk sebuah pelanggaran,” jelasnya.
Dia menyatakan, sesuai konstitusi, pembubaran ormas bisa dilakukan dengan alasan kondisi darurat. ”Kalau kondisi negara normal-normal saja maka tak boleh sewenang-wenang membubarkan ormas, kecuali kondisinya memang negara dalam keadaan darurat,” ucapnya.
Dia menyebut bahwa seyogyanya pemerintah harus bertindak sebagai orang tua dan bukan malah mematikan hak warga negara dalam bersikap, berkumpul, menyatakan pendapat, sebagaimana yang diatur di konstitusi UUD 1945. ”Pemerintah harus belaku sebagai orang tua. Karena itu diperlukan berbagai langkah persuasif, mulai dari himbauan hingga permohonan sanksi lewat pengadilan. Dan itulah yang harus dihidupkan kembali,” ucapnya.
Kalau pemerintah masih bertahan terhadap keinginannya, maka, lanjut pria kelahiran Sumatera Selatan ini, hal itu sama saja kembali kepada era orde baru yang bersikap otoriter. ”Apa yang ada di UU Ormas hasil Perppu itu sama dengan juga yang dibuat di zaman Orba. Dan ini tidak ada bedanya jika ormas dibubarkan secara sepihak tanpa lewat pengadilan,” tegasnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara lainnya, Said Salahudin menyatakan hak yang sah-sah saja jika nanti UU Ormas yang baru ini dilakukan revisi. Mengingat masih ada pihak-pihak di DPR dan masyarakat yang menolak. ”Secara konstitusi, yang namanya UU itu bisa direvisi. Meski itu merupakan hasil dari perppu. Tapi revisi itu harus tetap melalui mekanisme pengajuan ke prolegnas (program legislasi nasional) di DPR,” ucap Said
Direktur Eksekutif Sigma Indonesia ini pun meyakini pemerintah akan menyetujui revisi namun dengan pasal-pasal yang tidak akan merugikan. ”Intinya nanti akan terjadi win- win solution yang ditawarkan pemerintah. Kecuali mungkin yang memang alot adalah di proses pembubaran ormas tanpa melalui peradilan. Atau mungkin solusinya adalah proses peradilannya dipangkas waktunya sehingga tidak terlalu lama,” terangnya.
Sementara, selain Demokrat yang sudah menyiapkan draft revisi UU Ormas, ke depan akan juga menyusul dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). ”Nanti pada masa sidang berikut, pada kesempatan pertama akan diajukan naskah akademiknya,” kata Wasekjen DPP PPP Achmad Baidowi.
Menurutnya, saat ini Fraksi PPP sedang meminta saran dan masukan pihak-pihak terkait atas usulan revisi itu. Pasalnya, terdapat beberapa poin yang ingin ditekankan PPP dalam revisi UU Ormas. ”Unsur pengadilan agar tetap dimasukkan dalam UU Ormas, besaran sanksi pidana, lalu pihak penafsir Pancasila siapa,” ujar Baidowi.
Anggota Komisi II DPR RI ini menambahkan, dengan draft usulan tersebut nantinya revisi UU Ormas menjadi inisiatif DPR. Fraksi PPP sendiri sebelumnya menargetkan revisi UU Ormas masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2018. ”Sebab peluang revisi masuk prolegnas prioritas 2018 masih terbuka, karena sedang disusun oleh Badan Legislasi,” terangnya.