Orba 2.0: Kembalinya Korupsi Kolusi Nepotisme dalam Demokrasi Indonesia
Tanggal: 19 Jun 2024 16:40 wib.
Orde Baru, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Orba, merupakan periode pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selama kurang lebih tiga dekade sejak 1966 hingga 1998. Masa pemerintahan Orba dikenal dengan keterlibatan yang meluas dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah merasuki berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun telah berlalu lebih dari dua dekade sejak runtuhnya rezim Orba dan terjadinya reformasi politik, namun bayangan KKN yang merupakan ciri khas dari era Orde Baru kembali memunculkan ketika banyak hal terkait penguasaan kekuasaan terjadi di era demokrasi Indonesia saat ini. Bahkan, munculnya istilah Orba 2.0 menggambarkan kembalinya praktik-praktik KKN dalam struktur pemerintahan saat ini.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan masalah yang memengaruhi pembangunan dan kemajuan suatu negara. Praktik-praktik ini telah menghambat pertumbuhan ekonomi dan merugikan banyak pihak, terutama masyarakat yang rentan. Pada masa Orba, KKN menjadi ciri khas pemerintahan yang sangat meresahkan masyarakat. Kekuasaan pada waktu itu terpusat pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu, sedangkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan jauh panggang dari api. Kondisi ini memungkinkan terjadinya korupsi yang merajalela, kolusi antara pemerintah dan perusahaan, serta pengangkatan pejabat berdasarkan hubungan kekerabatan dan tidak didasarkan pada kualifikasi yang sesungguhnya.
Setelah runtuhnya Orba pada tahun 1998, bangkitlah tuntutan reformasi yang mengubah wajah politik Indonesia menuju demokrasi. Namun, seiring berjalannya waktu, praktik KKN kembali muncul dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan politik Indonesia. Banyak pihak yang menyebut fenomena ini sebagai Orba 2.0, karena terlihat adanya kembalinya praktik-praktik otoriter dan penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana yang pernah terjadi di masa Orba.
Orba 2.0 tercermin dalam berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Menjadi rahasia umum bahwa praktik suap-menyuap, pemerasan, dan pencucian uang telah merajalela di berbagai lini pemerintahan. Selain itu, kolusi antara pejabat pemerintah dan pengusaha juga semakin marak terjadi, memberi gambaran bahwa kepentingan kelompok tertentu lebih diutamakan daripada kesejahteraan masyarakat secara umum. Fenomena ini semakin memperparah kondisi ekonomi dan menimbulkan ketimpangan yang semakin melebar di Indonesia.
Tak hanya itu, nepotisme juga kembali menjadi perbincangan hangat dalam demokrasi Indonesia. Banyaknya penunjukan pejabat pemerintahan berdasarkan hubungan kekerabatan atau kedekatan politik, tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan kompetensi yang seharusnya menjadi pertimbangan utama, menjadi bukti jelas dari kembalinya praktik nepotisme dalam pemerintahan saat ini. Hal ini tentu saja merugikan negara dalam jangka panjang, karena menempatkan individu yang tidak berkualifikasi dalam posisi strategis pemerintahan hanya akan menghambat proses pembangunan dan reformasi yang sebenarnya diperlukan.
Menurut Adhie Massardi, jika pada Orde Baru (Orba) jilid I pemerintah menggunakan kekuatan angkatan bersenjata untuk menekan aktivis yang kritis. Kini di Orba jilid II kekuatan yang digunakan adalah buzzer.
Keduanya, sama-sama menggunakan biaya dari APBN.
“Jika ORBA 1.0 gunakan ABRI untuk merepresi para pengeritik pemerintah, ORBA 2.0 gunakan BuzzeRP tuk bunuh karakter para pengeritik rezim,” tegasnya.
“Tapi 2 jenis ORBA ini sama-sama buruk,” ucap Adhie Massardi.
Menurut Tarzan, pelawak senior Indonesia, malahan menyatakan di podcast YouthTV Indonesia, "ORBA" singkatan dari ORde BApak.
Lebih ironisnya lagi, terdapat kecenderungan pemaksaan terhadap konstitusi demi mempertahankan kekuasaan. Praktik-praktik ini tidak sejalan dengan semangat dasar demokrasi yang seharusnya mengedepankan kebebasan, keadilan, dan kepatuhan terhadap hukum. Upaya memaksa perubahan konstitusi atau melanggar aturan-aturan dasar negara untuk kepentingan politik sempit telah mengancam fondasi demokrasi Indonesia yang seharusnya bertumpu pada pilar-pilar keadilan dan kehormatan.