Sumber foto: pinterest

Omnibus Law: UU Sapu Jagat, Hati Rakyat Terkoyak

Tanggal: 20 Mei 2025 11:03 wib.
Omnibus Law atau yang dikenal sebagai UU Cipta Kerja menjadi topik panas di masyarakat Indonesia. Dikenal sebagai UU "sapu jagat" yang berupaya untuk menyederhanakan regulasi dan menciptakan lapangan kerja, realitas di lapangan justru menghadirkan ketidakpuasan. Sejak pengesahannya, banyak kalangan, khususnya buruh, merasa dirugikan dan bersuara kencang melalui protes yang melibatkan ribuan orang di seluruh Indonesia.

Maka tidak mengherankan jika protes terhadap Omnibus Law mulai menggema di berbagai daerah. Buruh menjadi kelompok yang paling vokal menolak kebijakan ini. Mereka berpendapat bahwa UU ini lebih menguntungkan pengusaha ketimbang memberikan perlindungan kepada pekerja. Salah satu poin protes adalah mengenai penghapusan upah minimum bagi sektor tertentu, yang jelas akan berdampak pada kesejahteraan buruh. Buruh merasa bahwa hak-hak dasar mereka berpotensi diabaikan jika UU ini diterapkan secara penuh.

Protes yang dilakukan oleh buruh tidak hanya terbatas pada demonstrasi di jalanan, tetapi juga ditandai dengan aksi-aksi kreatif yang menunjukkan kekhawatiran mereka. Di berbagai kota, buruh menggelar aksi damai dengan membawa spanduk dan poster yang mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan. Tidak jarang, protes ini berujung pada bentrok dengan aparat keamanan, menjadikan suasana semakin panas.

Dalam konteks yang lebih luas, banyak pihak menilai bahwa Omnibus Law bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial. Sejumlah akademisi dan aktivis menyampaikan bahwa meskipun tujuan dari Omnibus Law adalah untuk meningkatkan iklim investasi dan menciptakan lapangan kerja, implementasi kebijakan ini cenderung lebih memihak kepada pemodal ketimbang kepada buruh. Hal ini berkaitan langsung dengan pengurangan hak-hak buruh dalam kontrak kerja dan penghilangan sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan ketenagakerjaan.

Salah satu aspek yang paling ditentang dalam Omnibus Law adalah ketentuan mengenai pemotongan cuti dan jam kerja. Dengan adanya ketentuan ini, buruh merasa tidak akan mendapatkan hak-hak profesional mereka secara utuh. Banyak dari mereka khawatir bahwa cuti dan jam kerja yang lebih fleksibel bagi perusahaan justru akan menciptakan eksploitasi yang lebih masif terhadap karyawan. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang masih tidak stabil pasca-pandemi COVID-19.

Tidak hanya buruh, elemen masyarakat lainnya, termasuk NGO, akademisi, dan mahasiswa, turut berpartisipasi dalam protes ini. Mereka menilai bahwa Omnibus Law seharusnya melibatkan diskusi yang lebih luas dengan semua stakeholder. Tanpa mengakomodasi aspirasi semua pihak, keputusan yang diambil hanya akan memperparah kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. 

Dari sisi pemerintah, mereka berargumen bahwa Omnibus Law adalah solusi untuk menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang, terutama di tengah tantangan ekonomi global. Namun, banyak pihak meragukan kebenaran dari argumen tersebut. Pertanyaannya adalah, seberapa efektifkah omnibus ini dalam merealisasikan visualisasi lapangan kerja yang diharapkan?

Ketidakpuasan terhadap Omnibus Law tampaknya tidak akan mereda dalam waktu dekat. Protes dari buruh dan masyarakat luas terus berlanjut, menandakan adanya ketegangan sosial yang perlu disikapi dengan kebijakan yang lebih adil. Dalam konteks inilah, kita menyaksikan dinamika antara pemerintah dan rakyatnya, di mana harapan dan kekhawatiran bersatu dalam satu himpunan yang tak terpisahkan.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved