Menguji Demokrasi Deliberatif: Tantangan dalam Legislasi UU TNI
Tanggal: 25 Mar 2025 10:37 wib.
Tampang.com | Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang mengatur keterlibatan militer di ranah sipil telah memicu perdebatan luas. Salah satu kritik utama terhadap undang-undang ini adalah minimnya partisipasi publik dalam proses pembentukannya. Padahal, dalam sistem demokrasi deliberatif, keterlibatan warga negara dalam proses legislasi menjadi syarat utama untuk menghasilkan kebijakan yang memiliki legitimasi kuat.
Konsep demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas menekankan pentingnya diskusi publik yang inklusif sebelum suatu kebijakan ditetapkan. Dalam konteks UU TNI, banyak pihak merasa bahwa pemerintah lebih mengutamakan efisiensi legislasi dibandingkan dengan mendengar berbagai aspirasi masyarakat. Akibatnya, muncul gelombang penolakan dan aksi demonstrasi yang mengindikasikan adanya kesenjangan antara pembuat kebijakan dan rakyat.
Pelajaran dari Negara Lain dalam Demokrasi Deliberatif
Beberapa negara maju telah berhasil menerapkan demokrasi deliberatif dalam proses pengambilan keputusan kebijakan. Misalnya:
Denmark memiliki tradisi "folketing hearings" dan "consensus conferences," di mana berbagai pemangku kepentingan duduk bersama untuk membahas isu-isu penting sebelum keputusan final dibuat.
Selandia Baru di bawah kepemimpinan Jacinda Ardern menggunakan pendekatan transparan dan komunikasi dua arah selama pandemi COVID-19, sehingga kebijakan yang diambil lebih diterima oleh masyarakat.
Jerman mengadopsi sistem di mana berbagai asosiasi sipil, serikat pekerja, dan organisasi bisnis turut serta dalam perumusan kebijakan publik.
Pengalaman negara-negara ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi dapat meningkatkan legitimasi hukum dan mengurangi resistensi di tahap implementasi.
Dinamika Demokrasi Deliberatif di Asia Tenggara
Di kawasan Asia Tenggara, penerapan demokrasi deliberatif masih menghadapi berbagai tantangan.
Singapura dikenal dengan pendekatan top-down dalam pembuatan kebijakan, tetapi mulai beradaptasi dengan program "Our Singapore Conversation" yang melibatkan warga dalam diskusi publik.
Thailand pasca-kudeta militer tahun 2014 menunjukkan dampak negatif dari defisit deliberasi, dimana pengesahan berbagai undang-undang tanpa keterlibatan publik memicu gelombang protes berkepanjangan.
Malaysia mengalami lonjakan partisipasi publik dalam kebijakan setelah gerakan masyarakat sipil seperti Bersih mendorong transparansi dalam proses politik.
Dari berbagai contoh ini, jelas bahwa demokrasi deliberatif bukan hanya soal membahas kebijakan, tetapi juga tentang memastikan keterlibatan yang setara bagi seluruh elemen masyarakat.
Pelajaran dari UU Cipta Kerja: Ketidakseimbangan dalam Partisipasi Publik
Di Indonesia, kasus UU Cipta Kerja (Omnibus Law) memberikan gambaran nyata tentang bagaimana minimnya partisipasi publik dalam proses legislasi dapat berujung pada resistensi besar. Keputusan untuk mempercepat pembahasan dan mengabaikan banyak aspirasi masyarakat menyebabkan undang-undang ini menghadapi berbagai judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Ketimpangan dalam kapasitas deliberatif antara kelompok bisnis dan masyarakat sipil juga terlihat dalam kasus ini. Dengan akses yang lebih besar ke proses pembuatan kebijakan, kepentingan korporasi lebih diakomodasi dibandingkan dengan kelompok buruh dan komunitas lokal. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi deliberatif bukan hanya soal menyediakan forum diskusi, tetapi juga memastikan akses dan kesempatan yang setara bagi semua pihak.
Membangun Arsitektur Demokrasi Deliberatif di Indonesia
Untuk memperkuat praktik demokrasi deliberatif di Indonesia, ada beberapa langkah yang dapat diambil:
Reformasi prosedural dalam pembentukan undang-undang
Konsultasi publik harus dilakukan dengan jadwal yang jelas dan mekanisme yang transparan.
Teknologi digital dapat digunakan untuk memperluas akses masyarakat terhadap diskusi kebijakan.
Meningkatkan kapasitas masyarakat sipil
Pendidikan hukum dan politik harus diperkuat agar warga negara dapat memahami dan berpartisipasi dalam proses legislasi.
Pemerintah harus menyediakan akses informasi yang lebih baik untuk mendukung deliberasi yang berbasis data.
Membangun institusi mediasi antara negara dan masyarakat
Penguatan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai ruang deliberasi kepentingan daerah dapat menjadi solusi.
Media dan akademisi juga harus berperan dalam mendorong diskusi publik yang lebih substansial.
Demokrasi Deliberatif sebagai Investasi Jangka Panjang
Protes terhadap UU TNI menunjukkan bahwa legitimasi hukum tidak hanya berasal dari isi kebijakan, tetapi juga dari proses yang melahirkannya. Ketika masyarakat merasa dilibatkan, mereka akan lebih menerima hasil keputusan, meskipun tidak selalu sesuai dengan kepentingan mereka.
Pengalaman berbagai negara membuktikan bahwa investasi dalam demokrasi deliberatif menghasilkan kebijakan yang lebih stabil dan berkelanjutan. Judicial review tetap penting sebagai mekanisme kontrol, tetapi tidak bisa menggantikan nilai dari keterlibatan publik sejak awal proses legislasi.
Di Indonesia, dengan kompleksitas hubungan sipil-militer dan dinamika sosial-politik yang terus berkembang, demokrasi deliberatif harus menjadi fondasi dalam setiap kebijakan. Keterlibatan masyarakat bukan sekadar pelengkap, melainkan elemen kunci dalam membangun legitimasi dan stabilitas politik jangka panjang.