Masihkah Makar Mengancam Jokowi?

Tanggal: 7 Nov 2017 11:57 wib.
Jelang "peringatan" 1 tahun Aksi 411 yang digelar pada 4 November 2016, isu makar terhadap Presiden RI Joko Widodo kembali mengusik.

Jika dibandingkan dengan peristiwa di seputaran tanggal 2 Desember 2016 di mana terjadi penangkapan atas sejumlah terduga pelaku makar, situasi tanah air di sekitar tanggal 4 November 2016 jauh lebih mencekam.

Jelang Aksi 411 beredar informasi tentang akan adanya rencana makar terhadap Jokowi. Di saat kabar itu beredar, pada  31 Oktober 2016, Jokowi menemui Prabowo Subianto di Hambalang.

Menyusul pertemuan Jokowi-Prabowo, pada 2 November 2016, , Susilo Bambang Yudhoyono mendadak menemui Menko Polhukam di kantornya yang dilanjutkan dengan menyambangi Wapres Jusuf Kalla di kediamannya.

Kemudian jelang 4 November 2016, Seluruh Polda di Jawa dan sejumlah Polda di sejumlah daerah diberitakan menetapkan Status Siaga 1. Sejak status itu ditetapkan, nampak sepasukan regu Brimob bersenjata laras panjang menjaga Stasiun Kejaksan Cirebon. Status Siaga 1 ini tidak ditetapkan jelang 2 Desember 2016, setidaknya tidak satu pun media yang menginformasikannya.

Pada Hari-H, terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan pengunjuk rasa di depan Istana negara. Bentrokan yang terjadi pada saat peserta aksi membubarkan diri pada hari telah gelap ini dipicu oleh sejumlah aksi provokasi yang dilontarkan oleh sejumlah kelompok kepada peserta Aksi 411.

Malam hari pastinya dipilih karena pada saat itu baik demonstran dan aparat keamanan gabungan Polri-TNI sudah dalam kondisi letih baik fisik maupun psikis.

Hampir bersamaan dengan memanasnya situasi di depan Istana, terjadi penjarahan beberapa toko di kawasan Penjaringan. Sepertinya, ada pihak yang merencanakan kerusuhan massal seperti yang terjadi pada Mei 1998.

Setelah 4 November 2016, Jokowi menggelar road show ke beberapa kesatuan militer dan Polri. Selain itu, Jokowi dan sejumlah petinggi negara pun sibuk menemui atau mengundang sejumlah tokoh, khususnya ulama.

Menariknya, pada saat Aksi 411 yang digelar di depan Istana setelah pukul 13.00 WIB atau Sholat Jumat, Jokowi masih berada di Bandara Soeta. Mirip dengan Soekarno saat mengahadapi situasi genting, Jokowi diberangkatkan menuju Istana Bogor.

Sesampainya di Istana Bogor, beberapa kali Jokowi menyatakan niatnya untuk kembali ke Jakarta. Tetapi, beberapa kali niat Jokowi tersebut ditahan. Sampai akhirnya, keingingan Jokowi untuk kembali ke Jakarta tidak dapat lagi dicegah.

Dengan alasan taktis, kendaraan yang digunakan hanya dua: satu jip Mercy yang biasa ditumpangi Danpaspampres dan satu mobil voorijder. Sementara, Presiden menumpang mobil pengawalnya dan duduk berdampingan.

Mendapat informasi situasi yang belum kondusif, Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) Mayjen TNI (Marinir) Bambang Suswantoro memberi saran opsi kepada Jokowi untuk mengalihkan tujuan ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

"Kalau terjadi pertumpahan darah, provokatorlah yang akan bertepuk tangan," ungkap Bambang saat peluncuran biografi 'Bambang Suswantono Memberi yang Terbaik' pada Oktober 2017 (Sumber: Detik.com).

Akhirnya, Presiden Jokowi setuju tujuan dialihkan ke Halim Perdanakusuma. Jokowi pun kemudian meminta para menteri terkait merapat ke Halim untuk mengikuti rapat.

Sementara, sekalipun beberapa jam sebeumnya terjadi penangkapan atas sejumlah terduga pelaku makar, Aksi 212 berlangsung tertib hingga massa demonstran membubarkan diri. Bahkan, Jokowi beserta sejumlah menteri, Pangima TNI, dan Kapolri sholat Jumat berjamaah bersama pengunjuk rasa.

Pertanyaannya, apakah situasi mencekam seperti yang terjadi pada 4 November 2016 akan kembali terulang?

Terkait suksesi, secara teori, ada 3 kelompok dengan kepentingannya masing-masing. Kelompok pertama terdiri dari pendukung pemerintah yang tengah berkuasa. Kelompok ini berupaya melanggengkan kekuasaan.

Kelompok kedua terdiri dari pihak-pihak yang tidak menghendaki kekuasaan berlanjut. Kelompok ini berupaya mengambil alih kekuasaan lewat pemilu sesuai dengan konstitusi..

Sedangkan kelompok ketiga merupakan penentang keras kekuasaan. Kelompok ini berupaya untuk merebut kekuasaan dari tangan Jokowi tanpa melewati proses pemilu.

Di beberapa negara, kelompok ketiga tidak pernah abses mengisi hiruk pikuk politik. Di Indonesia, kelompok ketiga ini ada di setiap pemerintahan, dari mulai Soekarno sampai SBY. Pada masa pemerintahan SBY, misalnya, Fadjroel Rachman yang saat ini menduduki kursi Komisaris Utama PT Adhi Karya pernah mendesak SBY mundur.

"SBY ini adalah sebuah rezim kriminal. Tidak ada jalan lain, SBY harus mundur. Karena kalau diteruskan bangsa ini akan makin miskin," desak Fadjroel (Sumber: RMOL.CO)

Kelompok pertama dan kelompok kedua pastinya berupaya melawan upaya kelompok ketiga yang ingin melengserkan pemerintah. Tetapi, ketika waktu pelaksanaan pemilu sudah semakin mendekat, kelompok ketiga akan mendekati kelompok kedua untuk menganti rezim yang tengah berkuasa.

Pertanyaannya, dalam rentang waktu sampai Hari-H pelaksanaan pemilu, kapan batas waktu bagi kelompok ketiga untuk menghapus agenda makarnya? Ini yang tidak jelas.

Tetapi, secara teori, kelompok pertama pun bisa saja melancarkan "aksi kudetanya". Bedanya, jika kelompok ketiga mengudeta untuk merebut kekuasaan, kelompok pertama "mengudeta" dirinya sendiri untuk menciptakan alasan penangkapan bagi lawan-lawan politik, baik yang berasal dari kelompok pertama maupun keompok kedua.

Selain memiliki alasan untuk menangkapi lawan-lawan politiknya, kerusuhan yang terjadi dapat dimanfaatkan sebagai alasan kelompok pertama untuk mengundurkan pelaksanaan pemilu hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Dengan demikian kekuasaan kelompok pertama akan langgeng sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Tujuannya jelas, selain dapat menghilangkan ancaman dari lawan-lawan politiknya, kerusuhan yang didalangi oleh kelompok pertama pun dapat dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Kudeta militer yang terjadi di Turki pada 2016 dimanfaatkan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Dengan melihat banyaknya kejanggalan, tidak sedikit yang mencurigai jika kudeta miiter tersebut hanyalah akal-akalan yang digagas oeh Erdogan sendiri.

Di Indonesia, TNI  tidak mungkin mengangkat senjata untuk merebut kekuasaan. Jadi, tidak akan terjadi kudeta seperti yang terjadi di Libya atau di Suriah.

Karenanya, satu-satunya cara untuk menjatuhkan pemerintah hanya dengan mengobarkan kerusuhan massal seperti yang terjadi di Tunisia sebelum jatuhnya Presiden Ben Ali pada 2011, Mesir pada 2011 saat menggulingkan Presiden Hosni Mubarak, atau di Indonesia saat kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998.

Di Tunisia, aksi bakar diri Mohammed Bouazizi memicu kerusuhan massal yang berujung pada terjungkalnya Presiden Ben Ali. Tidak ada yang merekayasa aksi bakar diri pemuda 26 tahun tersebut.. Tetapi, foto Bouazizi dengan tubuh yang terbakar menyebar lewat jejaring sosial.sanggup memantik kemarahan rakyat Tunisia.

Soal Makar, Apakah DPR Belum Tahu Insiden "Bouazizi"?

Sama seperti yang terjadi di Tunia, di Indonesia pun demikian, Satu peristiwa kecil dapat dikapitalisasi sehingga akan mengguncang stabilitas politik dan keamanan.

Tetapi, melihat telah terjadinya polarisasi, tidak menutup kemungkinan jika peristiwa pengguingan Presiden Mesir Muhammad Mursi dapat terjadi juga di Indonesia.

Jelang kejatuhan Mursi, rakyat Mesir terpolarisasi ke dalam 2 kelompok. Pertama, kelompok pendukung Mursi yang umumnya merupakan simpatisan Ikhwanu Muslimin. Kedua kelompok anti-Mursi, termasuk Hizbut Tahrir.

Polarisasi yang terjadi di Indonesia jauh lebih mengkawatirkan ketimbang di Mesir. Sebab, di Indonesia, polarisasi telah menghadapkan kelompok-kelompok berdasarkan agama dan etnis.

Dalam situasi terpolarisasi seperti yang terjadi saat ini, gesekan kecil antara dua kubu dapat menyulut kerusuhan besar. Kejadian ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja dengan atau tanpa rekayasa.

Dengan atau tanpa rekayasa, momentum terjadinya kerusuhan massal pastinya akan dimanfaatkan oleh sejumlah kelompok untuk menggolkan tujuannya, termasuk kelompok pro status quo sendiri.

Karenanya, kemungkinan terjadinya makar untuk menjatuhkan pemerintah tetap ada. Sebaliknya, "makar" atau "kudeta" abal-abal seperti yang dituduhkan kepada Erdogan pun mungkin terjadi.

Persoalannya, kudeta atau makar tidak akan berhenti sampai satu pihak dikalahkan oleh pihak lainnya. Karena untuk menjaga stabilitas pascakudeta, apalagi jika sempat terjadi baku bunuh, pemenang harus menghabisi atau menyingkirkan kelompok yang dipecundanginya. Di mana-mana dan dari dulu hingga sekarang selalu seperti itu.

Dalam revolusi Revolusi Februari 1917 di Rusia, Tsar Nikolai II Russia, keluarga dan pengikutnya dibantai. Usai Perang Dunia Kedua, seluruh pengikut Nazi diburu dan dibunuh, bahkan hingga berpuluh tahun kemudian.

Di Turki, setelah "kudeta miiter" dilancarkan pada 2016, pelaku dan simpatisan kudeta ditangkapi. Pendukung kelompok anti Erdogan yang tinggal di luar Turki diburu. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965, anggota dan simpatisan PKI dibantai dan dipenjara.

Bahkan, Turki meminta semua negara, termasuk Indonesia, untuk menutup semua sekolah yang didirikan oleh Fethulah Gulem, tokoh yang dituduh sebagai otak dari kudeta militer Turki.

Dalam kisah Mahabarata, dinasti Kuru dihabisi dalam perang Baratayudha. Tinggal kelima Pandawa yang masih tersisa. Bahkan, Parikesit yang waktu perang masih dalam kandungan pun dibunuh (kemudian dihidupkan lagi oleh Kresna).

Demi menciptakan stabiitas dan menjaganya, tidak ada yang salah dengan pemusnahanyang dilakukan oleh pemenang terhadap pihak yang dikalahkannya. Sebab, justru tanpa adanya pembasmian, maka upaya menciptakan stabilitas akan mendapat banyak hambatan dan rongrongan. Bahkan, pihak yang kalah dapat kembali merebut kekuasaan atau kudeta dibalas dengan kudeta.

Tetapi, perebutan kekuasaan dalam artian dengan paksaan belum tentu diakhiri dengan pembasmian pihak yang tersingkir oeh pihak pemenang.

Biasanya, pembasmian terpaksa dilakukan jika, pertama, perbutan kekuasaan diiringi gerakan kelompok bersenjata. Kedua, kekuatan angkatan bersenjata atau institusi pemegang senjata terbelah. Ketiga, polarasasi yang sulit dicairkan.

Dengan terjadinya polarisasi, maka penyingkiran terhadap lawan politik atau yang dianggap lawan politik pun pastinya akan dilakukan. Dalam peristiwa ini, netizen yang dianggap berpihak juga menjadi incaran. Tidak mengherankan jika beberapa waktu yang lalu sempat beredar rumor tentang adanya pendataan netizen.

Pertanyaannya, siapkah bangsa ini mengulang kembali masa kelamnya pasca Gerakan 30 September 1965 atau setidaknya perburuan dan pemenjaraan massal seperti yang dialami oleh rakyat Turki anti-Erdogan?
Copyright © Tampang.com
All rights reserved