Mana yang Lebih Sulit, Posisi Prabowo Sekarang atau Megawati Pada 2014
Tanggal: 24 Mar 2018 13:12 wib.
Siang itu, selepas sholat Jumat 14 Maret 2014, Rumah Juang Si Pitung yang berlokasi di Marunda, Jakarta menjadi saksi sejarah dideklarasikannya Joko Widodo sebagai capres oleh PDIP.
Sekalipun tidak bisa dibilang mendadak, sebab sebelumnya Jokowi dan Megawati Soekarnoputri telah menggelar serangkaian "ritual" termasuk menziarahi makam Bung Karno yang semakin menguatkan bakal ditetapkannya Jokowi sebagai capres 2014.
Terlebih, tujuh bulan sebelumnya pada rakornas PDIP, Megawati telah menyampaikan kode kerasnya dengan mendaulat Jokowi untuk membacakan "Dedication of Life" yang ditulis oleh Soekarno.
Namun demikian, momen pencapresan Jokowi tetap saja mengejutkan lantaran sebelumnya ring 1 Megawati kerap kali menegaskan bila PDIP akan mengumumkan jagoannya setelah Pileg 2014 yang akan dilangsungkan pada 9 April 2014. Dan, itu pun belum tentu Jokowi, karena bisa saja yang dimajukan PDIP adalah Megawati atau bahkan mungkin juga Prabowo.
Tetapi, begitu Jokowi dideklarasikan, konflik antara elit PDIP dengan pendukung Jokowi non-PDIP dan sejumlah kader beserta simpatisan PDIP pun sontak lenyap.
Gegara tekanan akar rumput, elit PDIP yang sebelumnya ngotot mewacanakan pencapresan Megawati mau tidak mau harus tunduk pada kehendak kaum alit yang menghendaki Jokowi sebagai President Republik Indonesia.
Di sisi lain, keputusan Megawati tersebut bisa diartikan sebagai pengkhianatan terhadap Perjanjian Batu Tulis yang ditandatanganinya bersama Prabowo Subianto pada 16 Mei 2009.
Sebab, dalam poin ketujuh perjanjian tersebut disepakati jika Megawati akan mendukung Prabowo sebagai capres pada Pilpres 2014.
Situasi yang dihadapi Prabowo jelang dibukanya pendaftaran bakal capres-cawapres yang jatuh pada 4-10 Agustus 2018 pastinya jauh lebih pelik dari yang dihadapi Megawati empat tahun yang lalu.
Diakui atau tidak, saat ini Prabowo Subianto bukan hanya sekadar kandidat capres yang berpeluang memenangi Pilpres 2019, tetapi juga pemegang keputusan strategies dari partai politik peraih 11,81 persen suara dan 73 kursi pada Pileg 2014.
Dengan dua kekuatan yang ada dalam genggaman tangannya tersebut, sikap politik Ketua Umum Partai Gerindra pastinya akan menentukan peta kekuatan politik dalam tahun-tahun ke depan.
Tidak hanya itu, dari sejumlah pemberitaan media daring, mulai terbaca adanya desakan kepada Prabowo untuk segera mengumumkan keputusannya berkenaan dengan calon presiden yang bakal diusung Gerindra dan koalisinya.
Tiga Kelompok Besar yang Mengitari Prabowo
Jika mengikuti isi pemberitaan media dan juga celoteh netizen di berbagai jejaring media sosial, setidaknya ada tiga kelompok besar yang kini tengah mengitari Prabowo.
Pertama, kelompok yang berkeinginan Prabowo untuk kembali maju sebagai capres dalam Pilpres 2019. Kelompok ini umumnya berasal dari lingkungan Gerindra, baik itu kader maupun simpatisannya.
Kedua, kelompok yang menginginkan Prabowo menjadi king maker. Kelompok kedua ini mayoritas terdiri dari pendukung Gatot Nurmantyo dan Muhammad Zainul Majdi atau yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Bajang (TGB).
Ketiga, kelompok ABJ alias asal bukan Jokowi. Kelompok ini tidak memedulikan apakah Prabowo yang akan nyapres atau menjadi king maker. Kelompok ketiga ini hanya berkeinginan untuk mengalahkan Jokowi pada 2019 dengan mendukung siapa pun capres yang menjadi pesaing Jokowi.
Bagi Prabowo, eksistensi ketiga kelompok tersebut pastinya menjadi pertimbangan tersendiri dalam pengambilan keputusannya. Terlebih dengan semakin intensifnya komunikasi parpol-parpol yang berencana membentuk poros koalisi ketiga.
Sebab, jika poros ketiga terbentuk dengan Gatot Nurmantyo atau TGB (ada kemungkinan keduanya berpasangan dengan Gatot sebagai capres dan TGB sebagai cawapres), maka kelompok kedua dan sebagian dari kelompok ketiga akan mendukung pasangan yang dijagokan poros ketiga.
Akankah Pintu Capres Tertutup bagi Prabowo?
Masalah, bagi Prabowo, menjadi jauh lebih pelik lagi jika PKS yang selama ini dikenal sangat rapat dengan Gerindra beralih haluan dan mendukung pasangan yang diusung poros ketiga.
Gagal majunya pasangan Siswandi dan Euis Very Fatayati dalam Pilwalkot Cirebon 2018 setelah sampai menit-menit berakhir tidak kunjung mendapat tiket dari PKS bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi Prabowo dalam memandang "ancaman" yang justru datang dari balik punggungnya.
Ditambah lagi dengan pengingkaran Megawati Soekarnoputri atas Perjanjian Batu Tulis, maka mau tidak mau Prabowo tidak bisa begitu saja menaruh kepercayaan.
Politik menang lentur dan sebagai politisi, mau tidak mau Prabowo harus mengikutinya.
Melipirnya PKS Cirebon dari koalisi PAN Cirebon dan Gerindra Cirebon serta pengingkaran Megawati terhadap Perjanjian Batu Tulis merupakan dua dari sekian banyak bukti berapa lenturnya dunia politik.
Dan, salah satu akibat dari kelenturan dunia politik tanah air adalah kemungkinan tertutupnya pintu capres bagi Prabowo dalam perhelatan Pilpres 2019.
Kemungkinan tersebut sangat mungkin terjadi jika PKS yang selama ini dikenal sebagai satu-satunya parpol yang sejalan dan seiringan dengan Gerindra menyeberang dan bergabung dengan poros ketiga di mana PAN kemungkinan besar juga berada di dalamnya.
Dan, adanya perbedaan sikap politik, salah hal ini adalah, kepemilikan bakal pasangan capres-cawapres yang dijagokan Prabowo, merupakan alasan kuat bagi PKS atau parpol lainnya untuk angkat kaki dari koalisinya bersama Gerindra.
Perbedaan sikap politik tersebut pastinya akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Golkar dan Demokrat dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang bisa diterima oleh PAN dan PKS.
Dan, jika saja Golkar atau Demokrat menawarkan paket Gatot Nurmantyo-TGB, besar kemungkinan PKS akan bergabung. Demikian juga dengan PAN dan PBB. Bahkan mungkin juga PPP.
Jika kemungkinan ini terjadi, maka sudah barang tentu pintu capres tertutup sepenuhnya untuk Prabowo.
Prabowo Antara Nyapres atau Dukung Gatot/TGB
Kalau pun Prabowo masih dapat nyapres, misalnya jika PKS tidak lompat pagar, persoalan masih belum tuntas jika poros ketiga berhasil terbentuk dengan Gatot Nurmantyo dan TGB sebagai pasangan jagoannya.
Karena jika Gatot Nurmantyo atau TGB dimajukan, sudah bisa dipastikan kelompok kedua lebih menomorsatukan Gatot atau TGB ketimbang Prabowo.
Demikian juga dengan kelompok ketiga. Sebagian dari kelompok ini pun dipastikan akan memilih pasangan Gatot-TGB.
Persoalan, semakin komplek lagi setelah "loyalis" Prabowo sejak 2014 yang tergabung dalam kelompok-kelompok Islam menghendaki pencalonan TGB atau Gatot Nurmantyo.
Karena bagaimana pun juga, kelompok-kelompok tersebut sesungguhnya bukanlah pendukung sejati Prabowo, tetapi lebih cenderung pada sikap anti-Jokowi/PDIP.
Kecenderungan tersebut terbaca dari didukungnya pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli oleh kelompok-kelompok tersebut pada Pilgub DKI 2012.
Kemudian, karena adanya gosip yang mengatakan jika Anies Baswedan sebagai penganut Syiah, pada putaran pertama Pilgub DKI 2017 kelompok ini lebih cenderung memihak pada Agus Harimurti Yudhono-Sylviana Murni ketimbang pasangan yang dijagokan Prabowo.
Selain dihadapkan pada pilihan figur capres-cawapres, Prabowo pun dituntut harus segera memutuskan sikapnya sebelum memasuki pertengahan bulan Mei 2018.
Sebab pada saat itu bulan Ramadhan tiba. Dan, sebagaimana biasanya, Ramadhan akan dimanfaatkan untuk bersafari, baik oleh pasangan capres-cawapres maupun caleg. Jika Ramadhan terlewatkan, sama saja dengan melewatkan momen besar.
Dan, pastinya masih ada lagi sejumlah masalah lainnya yang harus dipecahkan Prabowo.
Tetapi, sebagai prajurit lapangan dengan pepuluhan tahun berjuang bersama anak buahnya, Prabowo pastinya merasakan suasana kebatinan para kader, simpatisan, dan pendukungnya.
Karenanya, seperti yang dikutip Tribunnews.com, Prabowo menyatakan, "Kalau kau percaya sama saya, percayalah sama saya. Yakinlah. Saya tidak akan berbuat yang mencelakakan merah putih."
Prabowo pastinya bukan semata-mata membutuhkan kepercayaan, tetapi juga dukungan dari kadernya atas segala sesuatu yang akan diputuskannya. Termasuk jika Prabowo pada akhirnya memutuskan untuk menjadi king maker sebagaimana Megawati pada 2014.
Dan, baik itu nyapres ataupun sebagai king maker, sepertinya Prabowo telah siap dengan segala resiko yang akan dihadapinya.