Kudeta Thailand 2014: Demokrasi yang Selalu Dihentikan
Tanggal: 15 Mei 2025 11:20 wib.
Kudeta Thailand 2014 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan politik negara tersebut yang tak lepas dari pengaruh junta militer. Aksi kudeta ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Thailand, melainkan bagian dari sejarah panjang dinamika politik yang seringkali terjebak dalam konflik antara demokrasi dan kekuasaan militer.
Kudeta ini berlangsung pada malam hari tanggal 22 Mei 2014, saat kepala Angkatan Bersenjata Thailand, Jenderal Prayuth Chan-o-cha, mengumumkan pengambilan alih kekuasaan setelah serangkaian protes anti-pemerintah yang melanda negara. Protes ini berawal dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, yang dianggap korup dan tidak akuntabel. Masyarakat Thailand yang terpecah belah antara pendukung dan penentang Shinawatra mendorong demonstrasi besar-besaran yang berujung pada campur tangan militer.
Dengan cepat, junta militer mengumumkan kebijakan darurat yang mengakhiri segala bentuk kegiatan politik. Pemimpin junta, Jenderal Prayuth, kemudian dilantik sebagai Perdana Menteri pada tahun 2014, menjadikan rezim militer berkuasa penuh atas semua aspek kehidupan politik dan sosial. Hal ini menimbulkan berbagai reaksi, baik di dalam negeri maupun internasional. Banyak negara dan organisasi internasional mengutuk junta militer karena melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang seharusnya dijunjung tinggi.
Salah satu dampak signifikan dari kudeta ini adalah pelarangan terhadap kegiatan politik dan partai-partai yang dianggap menentang junta. Kebebasan pers menjadi tertekan, dengan pembatasan yang ketat terhadap media. Setiap suara yang beroposisi terhadap junta militer bisa berakhir dengan penangkapan dan penahanan. Penggunaan kekerasan terhadap demonstran juga sering terjadi, menunjukkan betapa represifnya rezim ini dalam mempertahankan kekuasaannya.
Masyarakat Thailand merindukan kembali demokrasi yang telah dihentikan. Pemilihan umum baru diadakan pada tahun 2019, namun banyak yang berpendapat bahwa pemilu tersebut tidak benar-benar demokratis. Para pemilih masih berada di bawah kendali junta dan konstitusi yang diterapkan dianggap menguntungkan pihak militer. Hal ini menciptakan ketidakpastian bagi masa depan politik Thailand dan memicu skeptisisme di kalangan rakyat.
Kudeta Thailand 2014 dan berbagai aksi selanjutnya menunjukkan bahwa meskipun masyarakat mendambakan demokrasi, kekuatan militer sering kali muncul sebagai pemenang dalam konflik politik. Rakyat Thailand yang ingin berpartisipasi dalam proses demokrasi merasa terpinggirkan, sementara junta militer terus memperkuat cengkeramannya terhadap kekuasaan. Ketika rakyat menjadi penonton tak berdaya terhadap permainan politik elit, harapan akan perubahan yang lebih baik semakin menjauh.
Dalam beberapa tahun terakhir, meski ada tanda-tanda ketidakpuasan masyarakat yang terus meningkat, junta militer tetap menunjukkan ketahanan dalam mempertahankan kekuasaannya. Demonstrasi-demonstrasi kecil muncul di berbagai penjuru negara, tetapi sering kali direspons dengan tindakan keras oleh pihak berwenang. Isu-isu seperti kebebasan berekspresi, penghapusan hukum lese-majeste, dan keadilan sosial tetap menjadi tuntutan utama yang sulit diwujudkan di tengah kendali militer.
Perjalanan politik Thailand setelah kudeta 2014 melambangkan dilema yang kompleks antara aspirasi rakyat untuk demokrasi dan dominasi militer yang menolak untuk mundur. Situasi ini menyisakan banyak pertanyaan mengenai masa depan politik Thailand. Tanpa adanya reformasi yang signifikan dan pengakuan nyata terhadap hak-hak sipil, demokrasi di Thailand tampaknya akan tetap terhenti di jalurnya, terkurung dalam siklus perilaku politik yang dikuasai oleh junta militer.