Kudeta Sudan 2021: Demokrasi yang Dibelah Militer
Tanggal: 15 Mei 2025 20:23 wib.
Sudan telah menjadi sorotan dunia setelah terjadinya kudeta militer pada tahun 2021, yang mengguncang upaya transisi demokrasi di negara tersebut. Sejak jatuhnya rezim Omar al-Bashir pada April 2019, Sudan telah menjalani masa transisi yang dipenuhi harapan akan perubahan politik menuju sistem yang lebih demokratis. Namun, langkah maju ini terhambat oleh konflik internal dan ketegangan antara militer dan kelompok sipil yang menginginkan reformasi.
Kudeta militer yang terjadi pada 25 Oktober 2021 dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Ia mengambil tindakan ekstrem dengan mengeluarkan Menteri Pertahanan dan mengamankan para pemimpin sipil, termasuk Perdana Menteri Abdalla Hamdok. Langkah ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena sebelumnya kedua pihak—militer dan kelompok sipil—telah berkomitmen untuk berbagi kekuasaan dalam kerangka transisi. Setelah kudeta, Sudan terjebak dalam ketidakpastian dengan demonstrasi massal yang dipimpin oleh rakyat yang menuntut pemulihan pemerintahan sipil.
Kudeta ini tidak hanya mencederai harapan rakyat Sudan yang menginginkan demokrasi, tetapi juga mengundang kecaman luas dari masyarakat internasional. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, mengekspresikan penolakan mereka terhadap tindakan militer tersebut dan menyerukan adanya kembalinya pemerintah sipil. Selain itu, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa juga berkontribusi dalam upaya untuk mendesak dialog antara semua pihak yang terlibat.
Transisi di Sudan seharusnya menjadi momentum untuk memupuk prakarsa demokratis. Pembentukan Dewan Kedaulatan yang terdiri dari anggota militer dan sipil merupakan langkah awal yang diharapkan dapat menjaga stabilitas dan memfasilitasi reformasi. Namun, ketegangan antara kedua pihak terus meningkat, terutama setelah demonstrasi besar-besaran yang dihadapi dengan tindakan keras dari aparat keamanan. Bulan November 2021, laporan berbagai organisasi hak asasi manusia mencatat bahwa ratusan pengunjuk rasa terluka dan puluhan lainnya tewas.
Pasca kudeta, situasi ekonomi di Sudan semakin memburuk. Negara tersebut, yang kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan emas, kini terperosok dalam krisis keuangan dan pangan. Banyaknya pengungsi dan pengungsi internal akibat ketidakstabilan politik membuat crisis kemanusiaan semakin mendalam. Kebijakan ekonomi yang diusulkan oleh pemerintah sipil sebelumnya pun tak kunjung dilaksanakan karena kurangnya dukungan dari pihak militer.
Kudeta ini juga memunculkan tantangan bagi peran perempuan dalam proses transisi demokrasi. Banyak perempuan yang aktif terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Sudan, namun setelah kudeta, banyak dari mereka menghadapi ancaman dan kekerasan. Partisipasi perempuan dalam politik sangat penting untuk mencapai keseimbangan serta representasi yang adil dalam transisi demokrasi. Tanpa kehadiran mereka, impian untuk membangun Sudan yang lebih demokratis dapat terancam pudar.
Meskipun banyak rintangan, semangat rakyat Sudan untuk berjuang demi demokrasi tetap berkobar. Mereka terus melakukan demonstrasi dengan harapan akan kembalinya pemerintahan sipil dan mendorong terjadinya perubahan positif. Seiring berlalunya waktu, harapan baru muncul bahwa dialog antarpihak dapat dibangun demi mencapai kesepakatan yang akan membawa Sudan menuju masa depan yang lebih baik. Meski tantangan besar masih menghampiri, tekad rakyat Sudan untuk melawan kembali kudeta militer ini menunjukkan betapa kuatnya aspirasi mereka untuk bersatu dan berjuang demi demokrasi yang sejati.