Sumber foto: pinterest

Kudeta Myanmar 2021: Demokrasi yang Dipatahkan Ulang

Tanggal: 14 Mei 2025 18:44 wib.
Kudeta Myanmar 2021 mengubah wajah politik negara yang telah berjuang menuju demokrasi. Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, melancarkan tindakan yang mengejutkan, dengan menangkap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan anggota partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Ini bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari sejarah panjang konflik antara militer dan pemerintahan sipil di Myanmar.

Sejak mendapatkan kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, Myanmar mengalami berbagai bentuk pemerintahan, dari kediktatoran militer hingga pemerintahan demokratis yang baru muncul. Namun, meskipun telah mengadopsi reformasi demokrasi pada tahun 2011, yang mengarah pada pemilihan umum yang relatif bebas dan adil, militer masih memiliki kekuasaan signifikan dan mempertahankan kontrol atas sektor-sektor vital, termasuk pertahanan dan keamanan.

Kudeta di Myanmar pada 2021 ini mengekspos sifat rapuh demokrasi yang telah tumbuh selama satu dekade terakhir. Militer mengklaim bahwa pemilihan umum yang digelar pada November 2020, di mana NLD memenangkan mayoritas suara, sarat dengan kecurangan. Namun, klaim tersebut tidak memiliki bukti yang kuat dan banyak pengamat internasional menilai pemilihan tersebut sebagai salah satu yang paling adil dalam sejarah Myanmar baru-baru ini.

Sejak kudeta, protes massal meletus di seluruh negeri, menandakan penolakan masyarakat terhadap kembali ke pemerintahan militer. Pasukan keamanan menanggapi dengan kekerasan yang brutal, menyebabkan ribuan kematian dan banyak orang ditangkap. Pembunuhan tanpa pandang bulu dan penangkapan yang sewenang-wenang terjadi di berbagai lokasi, dari kota-kota besar hingga daerah pedesaan. Tindakan keras ini telah memicu perdebatan internasional tentang hak asasi manusia dan perlunya tindakan terhadap junta militer, termasuk sanksi dan pengucilan diplomatik.

Sementara itu, berbagai kelompok masyarakat sipil, termasuk pengacara, ilmuwan, dan pegiat hak asasi manusia, telah mendirikan perlawanan terhadap junta militer. Salah satu inisiatif paling berani adalah pembentukan "Pemerintahan Persatuan Nasional" atau NUG, yang berupaya menjadi suara rakyat dan melawan legitimasi militer. Meskipun sulit dan penuh tantangan, kelompok ini berusaha menarik perhatian internasional untuk mendapatkan dukungan terhadap perjuangan mereka demi mengembalikan demokrasi di Myanmar.

Dampak kudeta ini tidak hanya merugikan masyarakat Myanmar tetapi juga mempengaruhi stabilitas kawasan. Negara-negara tetangga, termasuk Thailand dan Cina, memperlihatkan kepentingan tersendiri terhadap situasi di Myanmar. Krisis pengungsi yang disebabkan oleh konflik di Myanmar juga memicu khawatirnya negara-negara ASEAN dan dunia internasional. Beberapa negara mulai menghadapi arus pengungsi yang semakin meningkat, mengingat lebih dari 1,5 juta orang kini mengungsi dari rumah mereka akibat kekacauan yang diciptakan oleh militer.

Di tengah situasi yang semakin memburuk, masyarakat Myanmar berusaha untuk membangun kembali harapan mereka akan demokrasi. Meskipun tantangan yang dihadapi luar biasa dan langkah-langkah balasan dari militer sangat mengancam, semangat perjuangan rakyat Myanmar untuk pemerintahan yang adil dan transparan tidak padam. Berbagai aksi protes terus dilanjutkan, menunjukkan betapa kuatnya aspirasi untuk mengejar kehidupan yang lebih baik dan bebas dari kekuasaan otoriter. Melalui berbagai media dan platform, suara mereka terus menggema, menambah dukungan global untuk mengakhiri kekuasaan militer dan mengembalikan perjuangan menuju demokrasi yang telah dipatahkan lagi.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved