Krisis Rohingya: Ketika Agama Dijadikan Alat Politik
Tanggal: 6 Mei 2025 14:46 wib.
Tampang.com | Krisis Rohingya telah menjadi salah satu isu kemanusiaan paling mendesak di dunia saat ini. Di tengah konflik berkepanjangan di Myanmar, etnis Rohingya, yang mayoritas beragama Islam, menjadi subyek penindasan sistematis. Dalam beberapa tahun terakhir, jutaan orang Rohingya terpaksa mengungsi dari tanah air mereka akibat kekerasan yang dipicu tidak hanya oleh masalah etnis tetapi juga oleh penggunaan agama sebagai alat politik.
Sejak tahun 2012, ketegangan antara etnis Rohingya dan kelompok mayoritas Buddha di Myanmar semakin meruncing. Serangkaian kekerasan yang terjadi, termasuk serangan terhadap desa-desa Rohingya, telah menyebabkan sejumlah besar warga Rohingya terpaksa meninggalkan rumah mereka. Banyak yang mencari perlindungan di negara-negara tetangga, seperti Bangladesh, yang kini menampung salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia.
Pemerintah Myanmar, dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, secara resmi mengklasifikasikan Rohingya sebagai "migrant" dan bukan sebagai warga negara. Dalam konteks ini, etnis Rohingya dijadikan sebagai kambing hitam untuk menarik dukungan politik dari kalangan nasionalis Buddha yang merasa terancam oleh keberadaan komunitas Muslim. Ini telah memperburuk ketegangan antara etnis yang berbeda dan menciptakan stigma negatif terhadap Rohingya di mata masyarakat Myanmar.
Agama berperan signifikan dalam konflik ini. Di satu sisi, ajaran Buddha mengajarkan kasih sayang dan toleransi, tetapi di sisi lain, ada interpretasi keras yang dipakai oleh sebagian kelompok nasionalis Buddha untuk membenarkan tindakan kekerasan terhadap Rohingya. Ideologi ini sering kali dipicu oleh propaganda yang menyebarkan ketakutan dan kebencian terhadap komunitas Muslim. Pemerintah Myanmar, alih-alih menanggapi dengan pendekatan membangun perdamaian, justru memanfaatkan situasi ini untuk mempertahankan kekuasaan mereka dan mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah domestik lainnya.
Sejalan dengan perkembangan ini, peran organisasi internasional dan negara-negara lain dalam penanganan krisis Rohingya juga patut diperhatikan. Jingga di salah satu pertemuan PBB, Malaysia dan Indonesia, dua negara mayoritas Muslim, memberikan suara keras untuk mendukung pemulihan hak-hak Rohingya. Namun, respons global sering kali tampak lambat dan tidak memadai, mengingat urgensi situasi yang dihadapi oleh jutaan pengungsi Rohingya. Anehnya, dalam konteks ini, isu kemanusiaan telah kerap kali dikesampingkan oleh politik internasional.
Di tengah krisis ini, etnis Rohingya berjuang untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga mendapatkan pengakuan dan hak yang telah dirampas dari mereka. Mereka sering kali dipandang sebagai pengungsi yang tidak diinginkan di negara-negara yang menjadi tujuan mereka. Banyak yang menghadapi diskriminasi dan kekerasan, bahkan ketika mereka berusaha menyelamatkan diri dari situasi yang lebih buruk di Myanmar.
Krisis Rohingya juga mencerminkan tantangan yang lebih luas tentang bagaimana identitas, agama, dan politik bisa saling berinteraksi. Dalam banyak kasus, di seluruh dunia, agama telah disalahgunakan untuk membenarkan tindakan diskriminatif dan kekerasan. Etnis Rohingya adalah contoh konkret dari bagaimana kebencian yang dipicu oleh politik dapat melestarikan siklus kekerasan dan penganiayaan. Dampak dari ketegangan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Rohingya tetapi juga oleh integrasi sosial di Myanmar secara keseluruhan.
Sebagai krisis yang terus berlanjut, situasi bagi etnis Rohingya di Myanmar menunjukkan betapa kompleksnya masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang terjebak dalam kancah politik dan konflik antar agama. Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan ini, harapan untuk masa depan yang damai terasa semakin samar, dan kesempatan untuk mencapai rekonsiliasi tampaknya semakin menyusut.