Sumber foto: pinterest

Krisis Demokrasi Global: Saat Otoritarianisme Bangkit Lagi

Tanggal: 15 Mei 2025 20:24 wib.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena mencolok yang mencerminkan krisis demokrasi di berbagai belahan dunia. Otoritarianisme, yang sebelumnya dianggap sebagai warisan sejarah yang telah ditinggalkan, kini kembali bangkit dengan kekuatan yang mengkhawatirkan. Di tengah kebangkitan ini, muncul pula fenomena populisme yang memperburuk situasi dan mengguncang fondasi demokrasi yang telah dibangun selama beberapa dekade.

Otoritarianisme muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem politik yang ada. Di banyak negara, kekecewaan terhadap elit politik dan institusi demokrasi telah memicu gelombang populisme. Para pemimpin populis menggunakan retorika yang sederhana dan seringkali emosional untuk menarik dukungan massa, sementara pada saat yang sama, mereka merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi. Dengan mengklaim bahwa mereka mewakili 'suara rakyat', banyak pemimpin populis menjalankan agenda yang semakin memperkuat kekuasaan mereka, sering kali melalui cara-cara yang otoriter.

Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa krisis demokrasi tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara yang selama ini dianggap sebagai bastion demokrasi. Misalnya, beberapa negara maju saat ini menghadapi tantangan internal akibat meningkatnya sentimen anti-establishment, sehingga mempermudah munculnya pemimpin-pemimpin otoriter yang mampu memanipulasi sistem untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Salah satu ciri khas dari era otoritarianisme modern adalah penggunaan teknologi untuk mengendalikan informasi. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat untuk memperkuat demokrasi, sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan propaganda dan desinformasi. Otoritarianisme baru ini tidak hanya bergantung pada kekuasaan militer atau penegakan hukum, tetapi juga pada kontrol digital yang memungkinkan pemerintah untuk mengawasi dan meredam dissent. Dalam banyak kasus, kritik terhadap pemerintah cepat ditanggapi dengan represif, membungkam suara-suara yang menuntut akuntabilitas.

Populisme, di sisi lain, memberi ruang bagi otoritarianisme untuk tumbuh dengan subur. Ketika para pemimpin populis berjanji untuk memenuhi tuntutan rakyat dan menyelesaikan masalah akut, mereka seringkali mengabaikan institusi demokrasi yang penting. Revisi undang-undang untuk memperpanjang masa jabatan, pengendalian terhadap media, dan intimidasi terhadap oposisi merupakan beberapa langkah yang diambil untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka. Keterlibatan masyarakat dalam proses politik harus dibangkitkan, tetapi hal ini sering kali terhalang oleh agenda egois para pemimpin otoriter.

Fenomena ini semakin rumit dengan adanya polarisasi sosial yang tajam. Ketika masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, pendekatan otoritarian sering kali dianggap sebagai solusi cepat untuk mengatasi konflik tersebut. Pemimpin populis mampu memanfaatkan situasi ini dengan menampilkan diri sebagai penyelamat yang siap mengatasi masalah, sementara mereka sesungguhnya justru memperburuk keadaan. Ketidakpuasan yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi, ketidakadilan sosial, dan isu lingkungan sering kali menjadi batu loncatan bagi tumbuhnya populisme yang otoriter.

Krisis demokrasi global yang sedang terjadi saat ini menunjukkan bahwa otoritarianisme tidak hanya merupakan masalah yang terbatas pada negara-negara dengan tradisi otoriter. Sebaliknya, ini adalah tantangan sistemik yang dengan cepat menyebar di seluruh dunia. Keberlanjutan dan kesehatan demokrasi memerlukan komitmen kolektif untuk melawan arus otoritarianisme dan mendukung prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif, partisipatif, dan transparan. Dengan meningkatnya ancaman bagi demokrasi, penting bagi masyarakat sipil dan lembaga-lembaga demokratis untuk bersatu dan mempertahankan nilai-nilai yang menjadi fondasi dari sebuah negara yang bebas dan adil.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved