Sumber foto: pinterest

Konstituante Gagal: Demokrasi Tanpa Arah

Tanggal: 17 Mei 2025 15:00 wib.
Konstituante merupakan istilah yang sering digunakan dalam konteks penyusunan undang-undang dasar (UUD) sebuah negara. Dalam sejarah Indonesia, Konstituante menjadi sangat penting karena diharapkan dapat menyusun UUD yang sesuai dengan aspirasi dan ideologi bangsa. Namun, perjalanan Konstituante di Indonesia dapat dikatakan sebagai contoh kegagalan yang signifikan dalam mencapai tujuan tersebut. Dalam artikel ini, kita akan membahas apa yang menyebabkan Konstituante dianggap gagal dan dampaknya terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia.

Perlu diingat bahwa Konstituante dibentuk setelah berakhirnya UUD Sementara 1950. Saat itu, Indonesia menghadapi banyak tantangan, baik dari segi ideologi maupun politik. Berbagai kelompok memunculkan ideologi yang berbeda-beda, mulai dari nasionalisme, sosialisme, hingga agama. Pertentangan ini membuat proses penyusunan konstitusi berjalan lambat dan penuh ketegangan. Konstituante yang diharapkan dapat menyatukan berbagai pandangan justru terjebak dalam perdebatan yang tidak kunjung selesai.

Salah satu faktor yang menjadi penyebab kegagalan Konstituante adalah ketidakmampuan untuk menemukan titik temu di antara berbagai ideologi yang ada. Para anggota Konstituante terdiri dari berbagai latar belakang politik dan sosial, yang tidak jarang saling berseberangan. Hal ini membuat diskusi dan perdebatan berjalan cenderung stagnan, karena setiap kelompok lebih fokus pada kepentingan ideologi masing-masing daripada mencari solusi yang dapat diterima secara luas.

Di tengah ketidakpastian dan krisis, banyak pihak mulai mempertanyakan relevansi Konstituante. Justru pada saat itu, krisis politik yang terjadi semakin memperburuk keadaan. Banyak yang beranggapan bahwa proses democratic pada Konstituante seharusnya mencerminkan aspirasi rakyat, tetapi kenyataannya justru lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik elit yang ingin menjadikan ideologi tertentu sebagai dasar konstitusi. Hal ini menyebabkan munculnya ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang tidak merasa terwakili.

Penundaan dalam pengesahan konstitusi membuat situasi menjadi semakin rumit. Sejak tahun 1957, Konstituante tidak berhasil menyelesaikan tugasnya, yang membuat Indonesia semakin terjebak dalam ketidakpastian politik. Akibatnya, pada tahun 1960, Presiden Soekarno mengambil langkah-langkah untuk membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945 yang disempurnakan. Keputusan ini menunjukkan bahwa ketidakberdayaan Konstituante menjadi alat untuk mengembalikan kekuasaan yang terpusat kepada presiden, menimbulkan konsekuensi terhadap penguatan otoritarianisme politik di Indonesia.

Dengan demikian, kegagalan Konstituante bukan hanya sekadar masalah penyusunan UUD, tetapi juga berdampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam suasana politik yang mengutamakan kekuasaan elit mengesampingkan aspirasi masyarakat, demokrasi yang seharusnya berkembang malah menjadi mandek. Ideologi yang seharusnya memperkaya proses demokrasi justru menjadi alat pemecah belah yang memperparah polarisasi di masyarakat.

Gagalnya Konstituante menimbulkan pelajaran penting tentang pentingnya subsidiaritas dan inklusivitas dalam merumuskan dasar-dasar konstitusi. Proses tersebut harus melibatkan partisipasi berbagai elemen masyarakat agar dapat terjalin kesepahaman yang kuat dan mengurangi konflik horizontal antara ideologi yang berbeda. Ketidakmampuan untuk melakukan hal ini menghasilkan situasi di mana demokrasi menjadi kehilangan arah. Konstituante yang tidak pernah terwujud seharusnya menjadi pengingat bahwa penyusunan UUD adalah proses yang harus dikawal dengan serius agar dapat mewujudkan cita-cita bersama.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved