Sumber foto: pinterest

Konfrontasi Malaysia: Nasionalisme atau Nekadisme?

Tanggal: 17 Mei 2025 14:58 wib.
Konfrontasi Malaysia yang berlangsung antara tahun 1963 hingga 1966 adalah sebuah peristiwa bersejarah yang menyoroti kompleksitas hubungan antarnegara di Asia Tenggara, terutama antara Indonesia dan Malaysia. Istilah "konfrontasi" sendiri menggambarkan sikap agresif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, yang saat itu dipimpin oleh Soekarno. Peristiwa ini tidak hanya berakar pada isu-isu politik dan territorial, tetapi juga memiliki nuansa nasionalisme yang kuat.

Soekarno, sebagai sosok kunci dalam sejarah Indonesia, memiliki visi besar untuk membangun negara yang berdaulat dan merdeka. Dalam konteks Konfrontasi Malaysia, keberadaan Malaysia yang baru terbentuk pada tahun 1963 menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Soekarno melihat pembentukan Malaysia sebagai sebuah upaya neokolonialis oleh Inggris dalam mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Posisi ini menimbulkan reaksi keras dari Soekarno, yang merasa bahwa pembentukan Malaysia akan mengancam integritas dan kemandirian Indonesia.

Nasionalisme yang diusung Soekarno semakin menguat ketika ia memandang konfrontasi sebagai bentuk pembelaan terhadap "Masalah Borneo," yang mencakup wilayah Sabah dan Sarawak. Soekarno percaya bahwa kedua wilayah tersebut seharusnya menjadi bagian dari Indonesia. Dalam pandangannya, nasionalisme bukan sekadar istilah kosong, tetapi sebuah panggilan untuk membela tanah air dari ancaman luar. Oleh karena itu, Soekarno mengenakan sikap agresif dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk melawan kekuatan asing yang dianggap mengganggu kedaulatan Indonesia.

Namun, beberapa kalangan menganggap tindakan Soekarno dalam konfrontasi ini sebagai bentuk nekadisme. Kebijakan luar negeri yang agresif dan cenderung unilateral mengakibatkan konflik militer yang berkepanjangan. Ketegangan semakin meningkat dengan adanya berbagai insiden, seperti serangan militer yang dilancarkan oleh pasukan Indonesia ke wilayah Malaysia. Dalam pandangan ini, beberapa pengamat menilai bahwa pendekatan yang diambil oleh Soekarno dalam menghadapi Malaysia mengabaikan diplomasi yang mungkin lebih efektif dalam mencapai tujuan politiknya.

Di tengah hiruk pikuk konfrontasi ini, sentimen nasionalisme memang sangat terasa di kalangan masyarakat. Propaganda yang mengedepankan semangat juang dan keberanian rakyat untuk melawan penjajahan mendapatkan dukungan luas. Rakyat Indonesia banyak yang merasa bangga dengan tindakan yang diambil pemerintah, meski di sisi lain, konflik ini juga membawa dampak negatif, seperti kerugian ekonomi dan kerusakan infrastruktur. Dapat dikatakan bahwa nasionalisme Soekarno dalam menghadapi Malaysia merupakan pisau bermata dua; di satu sisi, ia mampu membangkitkan semangat nasional yang tinggi di kalangan rakyat, tetapi di sisi lain, kebijakan ini menuntut pengorbanan yang tidak sedikit.

Berbagai skenario internasional juga turut mempengaruhi konfrontasi ini. Terlebih, situasi Perang Dingin dan ketegangan antara kubu Barat dan Timur memberikan latar belakang yang lebih luas terhadap konflik Indonesia dan Malaysia. Sementara itu, dukungan negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan Cina terhadap Indonesia membuat posisi Soekarno semakin kuat dalam konteks geopolitik. Namun, di balik dukungan tersebut, ada juga konsekuensi yang harus ditanggung Indonesia, seperti terisolasi dari sejumlah negara Barat dan meningkatnya ketegangan diplomatik.

Dalam suasana seperti itu, konfrontasi Malaysia menunjukkan bahwa nasionalisme dan nekadisme bisa saling berpaut. Saat Soekarno memperjuangkan cita-cita besar untuk Indonesia, ia juga terjebak dalam dilema yang memerlukan pertimbangan matang dalam strategi. Dengan demikian, pertanyaan tentang apakah konfrontasi ini merupakan tindakan nasionalisme yang murni atau justru sekadar nekadisme masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan dan pengamat politik hingga hari ini.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved