Sumber foto: pinterest

Ketika Tuhan Ditempatkan di Kotak Suara

Tanggal: 21 Apr 2025 08:31 wib.
Pemilihan umum atau pemilu merupakan momen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah suara rakyat diuji, harapan masa depan dicanangkan, dan kebijakan-kebijakan strategis ditentukan. Namun, dalam proses yang seharusnya rasional ini, seringkali Tuhan seakan “ditempatkan” dalam kotak suara oleh segelintir orang. Pertanyaannya, bagaimana Tuhan bisa masuk dalam konteks politik dan pemilu?

Bicara tentang Tuhan dalam konteks pemilu, kita tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ajaran agama seringkali menjadi acuan dalam menentukan pilihan seseorang. Banyak politisi yang menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam kampanye mereka untuk meraih dukungan massa. Ini menciptakan dualisme: di satu sisi, Tuhan dijadikan representasi moralitas dan nilai-nilai luhur; di sisi lain, agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang sangat pragmatis. Dalam situasi ini, Tuhan seolah-olah diletakkan di dalam kotak suara, menjadi bagian dari sistem yang bisa dimanfaatkan untuk menggalang suara.

Bagi sebagian orang, mendorong agama dalam pemilu bisa dilihat sebagai cara untuk menciptakan pemimpin yang lebih baik. Namun, pendekatan ini justru dapat mengaburkan esensi dari nilai-nilai keagamaan itu sendiri. Salah satu pertanyaan yang perlu diajukan adalah, apakah keputusan politik kita sepenuhnya didasarkan pada ajaran Tuhan yang kita anut, ataukah lebih kepada pengaruh dari kepentingan-kepentingan tertentu? Ini adalah refleksi penting yang harus dilakukan agar pemilu tidak sekadar menjadi ajang untuk memperebutkan kekuasaan semata.

Di banyak negara, kita melihat fenomena bagaimana isu-isu keagamaan muncul sebagai alat pemecah belah dalam pemilu. Misalnya, sebagian calon legislatif akan secara terang-terangan mengaitkan diri mereka dengan Tuhan dan nilai agama untuk menarik suara dari kelompok tertentu. Mereka berusaha membangun citra sebagai "wakil Tuhan" yang bersih dan amanah. Dalam banyak kasus, hal ini berhasil mendatangkan dukungan dari masyarakat yang peduli akan integritas moral, tetapi di balik narasi itu, seringkali justru bersembunyi kepentingan politik yang lebih kompleks.

Konteks ini juga menimbulkan potensi polarisasi dalam masyarakat. Ketika Tuhan dijadikan alat untuk meraih kekuasaan, bisa jadi yang terjadi sebaliknya adalah perpecahan antara yang "beriman" dan yang "tidak beriman". Hal ini berbahaya karena ia menciptakan kesenjangan yang lebih besar dan saling menyalahkan antara kelompok yang berbeda. Dalam hal ini, Tuhan justru tidak hanya ada di dalam kotak suara, tetapi juga menciptakan kubu-kubu yang saling berjualan.

Lebih jauh, fenomena pemilu ini juga dapat menyebabkan kehilangan nilai-nilai spiritual universal yang seharusnya ditegakkan. Ketika Tuhan dijadikan alat legitimasi, nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan keadilan—yang seharusnya menjadi landasan beragama—mulai tergantikan oleh ambisi politik. Dengan kata lain, Tuhan yang seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik, malah dijadikan representasi bagi kepentingan individu atau kelompok.

Masyarakat sering kali terjebak dalam mitos bahwa dengan memilih calon yang menjadikan Tuhan sebagai simbol, mereka sudah berkontribusi untuk mengubah keadaan. Padahal, hak suara merupakan tanggung jawab yang jauh lebih besar dan kompleks dari sekadar menempatkan Tuhan di kotak suara. Pada akhirnya, tantangan bagi kita semua adalah bagaimana mendalami makna sejati dari setiap pilihan kita, tanpa melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved