Kenaikan Gaji Hakim Tak Jamin Bebas Suap, Pakar Tekankan Perbaikan Integritas dan Seleksi Gaji Layak Bukan Satu-satunya Solusi
Tanggal: 15 Apr 2025 05:42 wib.
Tampang.com | Meskipun gaji yang layak menjadi syarat penting dalam membangun kekuasaan kehakiman yang independen, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai hal itu belum cukup untuk mencegah praktik suap di tubuh peradilan. Ia menekankan bahwa integritas dan seleksi yang ketat harus berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan hakim.
Kesejahteraan Hakim Penting, Tapi Tak Cukup
Feri menyatakan bahwa kenaikan gaji merupakan bentuk penghormatan negara terhadap martabat profesi hakim. Namun, ia menegaskan bahwa gaji tinggi bukan jaminan hakim akan bebas dari praktik suap.
“Kenaikan gaji standar hidup yang layak itu syarat membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka. Tapi bukan berarti kalau gaji memadai, mereka tidak bisa disuap,” jelasnya pada Senin (14/4/2025).
Ia mengingatkan, korupsi di dunia peradilan kerap terjadi bukan karena semata-mata persoalan ekonomi, tapi karena lemahnya pengawasan moral dan integritas.
Seleksi Hakim Harus Perhatikan Moralitas
Selain memperbaiki aspek kesejahteraan, Feri menilai sistem rekrutmen hakim juga perlu direformasi. Ia menyarankan agar seleksi tidak hanya mempertimbangkan kecerdasan intelektual, tetapi juga menilai integritas dan kejujuran calon hakim secara menyeluruh.
“Kesejahteraan harus ada, tetapi syarat untuk menjadi hakim juga harus diperbaiki,” katanya.
Ia menilai, integritas pribadi adalah benteng terakhir yang mampu menahan godaan suap, terlebih dalam sistem hukum yang rentan intervensi.
Skandal Suap Terbaru Kembali Guncang Peradilan
Pernyataan Feri muncul di tengah sorotan tajam terhadap dunia peradilan setelah Kejaksaan Agung menetapkan empat hakim sebagai tersangka kasus suap. Mereka diduga menerima uang dalam jumlah fantastis untuk memengaruhi putusan kasus ekspor minyak sawit mentah (CPO) milik tiga perusahaan besar.
Para tersangka antara lain Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, Hakim Djuyamto, serta dua hakim dari PN Jakarta Pusat, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Arif dituduh menerima Rp 60 miliar dan membagikan sebagian kepada tiga hakim lainnya senilai Rp 22,5 miliar.
Reformasi Hukum Harus Menyeluruh
Kasus ini menambah panjang daftar hakim yang terjerat suap dalam beberapa tahun terakhir, termasuk dugaan korupsi di Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Surabaya. Hal ini mencerminkan bahwa krisis integritas dalam peradilan masih menjadi tantangan serius.
Meskipun wacana kenaikan gaji hakim kembali muncul, seperti yang sempat disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk mengurangi godaan korupsi, Feri Amsari menekankan bahwa upaya perbaikan sistem dan integritas tak boleh diabaikan.
“Standar hidup layak adalah kewajiban negara. Tapi reformasi sistem seleksi dan pengawasan integritas jauh lebih mendesak untuk mencegah suap,” tegas Feri.
Dengan kombinasi kesejahteraan dan seleksi berbasis integritas, diharapkan sistem peradilan di Indonesia bisa terbebas dari praktik kotor dan benar-benar menjadi benteng keadilan bagi masyarakat.