Kecurangan Pemilu di Bawah Komando Jokowi
Tanggal: 30 Mar 2024 04:50 wib.
Ketua Umum Tim Hukum Nasional Anies-Muhaimin, Ari Yusuf Amir, mengatakan gugatan hasil Pilpres 2024 ke MK untuk mengungkap dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM selama pesta demokrasi 2024. Artinya, dugaan kecurangan terstruktur terjadi dari atas sampai jajaran bawah penyelenggara atau pemerintahan, sistematik berdasarkan petitah dalam sistem dan masif atau menyebar hampir ke seluruh daerah kecurangannya.
Baik tim Anies dan Ganjar melihat terjadi kecurangan TSM baik di masa sebelum pencoblosan, saat pencoblosan dan setelah pencoblosan. Pelanggaran TSM ini berfokus pada dugaan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power yang dilakukan Presiden Jokowi untuk memenangkan Prabowo dan Gibran memenangkan Pilpres dalam satu putaran.
Presiden Jokowi disebut melakukan nepotisme secara terstruktur, sistematis dan masif. "Anggaran negara dihabiskan, etika diabaikan, demokrasi dirusak, demi apa ini dilakukan? Jawabannya hanya untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 2 dalam satu putaran," bunyi gugatan paslon 03.
Terdapat empat hal utama yang menjadi indikasi atas tuduhan tersebut.
Pertama, pencalonan Gibran yang menyalahi etika dan hukum . Gibran mendapat karpet merah berkat putusan MK yang mengubah syarat cawapres.
Tim Anies dan Ganjar menduga ada unsur nepotisme dalam putusan itu, mengingat sidang putusan itu dipimpin Anwar Usman yang merupakan paman Gibran. Asumsi ini diperkuat dengan putusan MKMK yang mengenakan sanksi etik kepada Anwar karena melakukan pelanggaran berat atas prinsip ketidakberpihakan.
Kedua, KPU belum mengubah aturan PKPU mengenai syarat cawapres ketika menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres. DKPP menyatakan pimpinan KPU melanggar kode etik atas kebijakan itu.
Seharusnya, sebelum menerima pendaftaran Gibran, KPU mengubah PKPU dengan berkonsultasi dengan DPR terkait putusan MK yang mengubah syarat cawapres. Ada dugaan campur tangan kekuasaan dari langkah KPU itu. "Jika PKPU diubah sebelum pendaftaran Gibran, ada kemungkinan munculnya hambatan dalam proses konsultasi dengan DPR," bunyi berkas tersebut.
Ketiga, Jokowi diduga melakukan abuse of power dengan mempolitisasi bantuan sosial atau bansos dari segi waktu, jumlah, hingga penerima. Menjelang kampanye, Jokowi menginstruksikan percepatan pencairan bansos beras berbarengan dengan proses Pilpres dimulai Januari 2024 dengan menaikkan anggaran perlindungan sosial mencapai Rp 496,8 triliun.
Dalam catatan tim hukum Ganjar-Mahfud, Jokowi menyerahkan bansos pangan dan modal kepada masyarakat di 32 titik selama kurun 23 Oktober 2023 hingga 12 Februari 2024. Lokasi paling banyak dikunjungi adalah kawasan Jawa Tengah. Pembagian bansos dianggap sebagai upaya memenangkan paslon nomor urut 2.
Keempat, pengerahan aparat birokrasi, penegak hukum hingga aparat desa untuk mendukung paslon 02. Tim Amin mencontohkan pengerahan kepala desa di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah untuk memenangkan Prabowo-Gibran di sebuah restoran di Kecamatan Panakan pada 3 Februari 2024. Pengerahan aparat desa juga dianggap disertai ancaman kepada masyarakat yang tidak mendukung pemenangan paslon 02.
Di berkas gugatan. Tim Hukum Ganjar-Mahfud menampilkan tabel perolehan suara paslon Prabowo-Gibran menjadi nol atau seharusnya tidak dihitung. Alasannya, perolehan suara capres-cawapres itu merupakan hasil kecurangan yang bersifat TSM.