Sumber foto: IDN Times/Aryodamar

Kebakaran Gedung Kejagung: Bukti Hangus, Hukum Lumpuh

Tanggal: 21 Mei 2025 09:47 wib.
Pada malam 22 Agustus 2020, kobaran api melahap Gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Asap pekat membumbung tinggi dari bangunan yang selama ini menjadi simbol penegakan hukum tertinggi di tanah air. Alih-alih menjadi tragedi biasa karena korsleting atau keteledoran, kebakaran ini justru membuka ruang kecurigaan publik terhadap integritas hukum di negeri ini.

Kebakaran Gedung Kejagung bukan sekadar insiden fisik—ia adalah tragedi simbolik yang menyiratkan betapa rapuhnya institusi hukum. Gedung yang seharusnya menjadi tempat menjaga dan menyimpan bukti hukum justru terbakar habis, dengan banyak dokumen penting ikut lenyap. Pertanyaan yang menggema: apakah ini murni kecelakaan, atau bagian dari skenario penghilangan barang bukti?

Pihak Kejaksaan sempat memberikan penjelasan bahwa dokumen perkara penting tidak terdampak karena sudah terdigitalisasi. Tapi publik tak mudah percaya. Apalagi setelah Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan enam tersangka dalam kasus kebakaran ini. Menurut hasil penyelidikan, api berasal dari tukang bangunan yang bekerja menggunakan lampu halogen dan bahan mudah terbakar seperti thinner di lantai enam. Sangat tidak masuk akal jika gedung vital negara dikerjakan tanpa pengawasan dan standar keamanan ketat.

Yang lebih mencurigakan, bahan-bahan bangunan yang mudah terbakar tersebut digunakan justru di gedung utama, bukan bangunan tambahan. Bukankah seharusnya perbaikan atau renovasi pada bangunan strategis dilakukan dengan protokol ketat? Mengapa tidak ada sistem proteksi kebakaran otomatis yang bisa langsung berfungsi? Pertanyaan-pertanyaan ini menggiring opini publik ke arah yang lebih gelap: apakah ada kesengajaan dalam insiden ini?

Apalagi, pada saat yang bersamaan, Kejagung tengah menangani sejumlah kasus besar yang melibatkan tokoh penting dan korporasi kelas kakap. Kebakaran seolah memberi jalan keluar yang “alami” untuk menghapus jejak, menghilangkan barang bukti, atau memuluskan jalan kompromi di bawah meja. Kepercayaan publik terhadap institusi hukum yang selama ini sudah keropos, makin runtuh.

Tragedi kebakaran Gedung Kejagung adalah bukti nyata bahwa hukum kita bukan hanya bisa lumpuh karena tekanan politik, tetapi juga bisa hangus terbakar bersama bangunan yang menaunginya. Ini bukan sekadar krisis fisik, melainkan krisis moral dan transparansi. Ketika institusi penegak hukum saja tak bisa menjaga rumahnya sendiri dari api, bagaimana bisa rakyat percaya bahwa mereka bisa menjaga keadilan?

Publik menuntut lebih dari sekadar penangkapan tukang bangunan atau teknisi lalai. Yang dibutuhkan adalah transparansi, audit forensik terbuka, dan keberanian untuk membongkar kemungkinan sabotase internal. Karena jika tidak, sejarah hanya akan mencatat kebakaran itu sebagai bagian dari pola lama: ketika hukum terbakar, keadilan ikut terkubur.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved