Kasus Sumber Waras: Dari NJOP sampai Kronologinya

Tanggal: 24 Jul 2017 13:48 wib.
Dari nama jalan pada pada Sertifikat HGB No 2878 itulah Ahok bersikukuh kalau lahan yang dibelinya berada di Jl Kyai Tapa. Sebaliknya, bagi BPK “What’s in a name?”. “Apalah arti sebuah nama” begitu yang ditulis Shakespeare dalam “Romeo and Juliet”.



BPK tidak membaca nama jalan yang tercantum pada sertifikat, tetapi melihatnya dari “Peta Gambar Situasi” yang ada pada sertifikat tanah. Kemudian “Peta Gambar Situasi” pada sertifikat itu dibandingkan dengan lokasi fisik tanah. Dan, ternyata antara “Peta Gambar Situasi” sesuai dengan lokasi fsik tanah.

Jadi, sekalipun pada sertifikat tertulis “Jl Merdeka Utara”, tapi kalau Peta Gambar Situasi pada sertifikat  menunjukkan lokasinya berada di Ujung Berung dan lokasi fisik juga berada di Ujung Berung, maka BPK tidak kan menjadikan Jl Merdeka Utara sebagai acuan audit, tetapi Ujung Berung yang sesuai dengan Peta Gambar Situasi dan lokasi fisik lahan.

NJOP Jl Merdeka Utara pastinya berbeda dengan NJOP Ujung Berung pastinya berbeda. NJOP Jl Merdeka Utara sudah pasti lebih tinggi ketimbang NJOP Ujung Berung. Jadi, kalau membeli tanah di Ujung Berung dengan NJOP Jl Merdeka Utara sudah pasti pembelinya dirugikan.

Begitu juga dengan NJOP Jl Kyai Tapa dan NJOP Jl Tomang. NJOP Jl Kyai Tapa pastinya lebih tinggi dari NJOP Jl Tomang. Jadi kalau membeli lahan Jl Tomang dengan menggunakan NJOP Kyai Tapa, sudah pasti si pembeli dirugikan, sebaliknya si penjual diuntungkan.  

Kalau dari foto-foto yang diunggah sejumlah media, jelas masalahnya di mana! Dari sini bisa dinilai siapa yang benar, Ahok atau BPK?

Tapi, tunggu!

Sebelum proses pembelian, BPN melakukan pengukuran ulang. Dalam proses pengukuran ulang tersebut ada kemungkinan, dengan berbagai sebab, terjadi pergeseran batas lahan. Lahan SW yang sebelumnya tidak berbatasan dengan Jl Kyai Tapa, dengan kesepakatan antara Yayasan kesehatan SW dan Sin Ming Hui , bisa digeser menjadi berbatasan dengan Kyai Tapa.

Apakah ada pergeseran batas lahan pada saat proses pengukuran ulang? Inilah yang perlu diklarifikasi pada BPN. Sekalipun saat itu sertifikat baru belum terbit, tetapi sebenarnya wartawan bisa menanyakannya langsung pada BPN.

Sekali lagi, pergesaran lahan itu mungkin saja terjadi. Sayanya, ternyata tidak terjadi pergeseran lahan. Artinya lahan yang dibeli Ahok tetap tidak bersenggolan dengan Jln Kyai Tapa.

Sayangnya, persoalan tidak berhenti sampai di situ.

Pertanyaan selanjutnya, penapa dalam transaksi itu menggunakan NJOP Rp 20.7 juta per M2?

Dasar NJOP Rp 20.7 dijadikan patokan diperolah dari Dinas Pelayanan Pjak DKI yang diterima Dinkes DKI pada pada 29 Desemder 2014. Celakanya, data Dinas Pelayanan Pajak ini terdapat “cacat”.

“Cacat” itu bisa dilihat dari luas bumi/ tanah yang tertera pada PBB atas nama Sumber Waras yaitu 69.888 M2. Padahal pada sertifikat tertera 36.410 M2. Luas tanah 69.888 itu ternyata penggabungan antara sertifikat atas nama YKSW (36.410 M2) dan sertifikat atas nama Sin Ming Hui (33.478 M2). Sederhananya, luas tanah 69.888 M2 adalah luas tanah sebelum dipisah menjadi 2 sertifikat.

Dengan sengkarut tanah itu, siapa yang salah? Ahok tidak salah. Dinkes DKI tidak salah. BPK juga tidak salah. Kesalahan jelas ada pada Dinas Pajak yang memproduksi data tanpa berdasarkan data pada sertifikat tanah atas nama Sumber Waras.

Pertanyaannya, kenapa Pemprov DKI tetap meneruskan transaksi di atas kesemrawutan data? Kenapa tidak menunggu sampai data tersebut diluruskan oleh instansi terkait. Ini masalah yang harus dijelaskan oleh Ahok. Kenapa transaksi pembelian tanah RS terburu-buru? Ada apa sebenarnya?

Bukan hanya itu. Masih ada “sesuatu” pada Skandal SW jika melihat kronologinya. (Diedit dari Kompas.com ) Menelisik Peran Ahok dalam Kasus Pembelian Lahan RS Sumber Waras  

http://megapolitan.kompas.com/read/2015/11/24/09300481/Menelisik.Peran.Ahok.dalam.Kasus.Pembelian.Lahan.RS.Sumber.Waras?page=all

12 Mei 2014, Ahok sebagai Plt Gubernur itu pertama kali menyampaikan niatnya membangun RS khusus kanker dan jantung kepada media. Alasannya, RS Kanker Dharmais dan Harapan Kita yang pasiennya membeludak. Bahkan, Pemprov DKI mengaku telah mempersiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk pembelian lahan RS Sumber Waras.

16 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat kerja sama dengan PT Ciputra Karya Utama dengan NJOP Rp 15 juta per M2. 

Pada 27 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras bersurat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia menjual lahan tersebut.

Sudah jelas. Jadi Ahok yang mengincar lahan itu sejak Mei 2014. Hanya dalam hitungan 13 hari, keinginan Ahok itu mampu membuat YKSW membatalkan kerja sama jual belinya dengan PT Ciputra. Karena Pemprov DKI membeli lahan tersebut dengan Rp 20.7 juta per M2, maka YKSW mendapat keuntungan lebih dengan selisih sekitar Rp 5 juta per M2.

Apa hanya sampai disitu?

Tidak, masih ada yang menarik lainnya. Di-copas dari Kompas.com. AhokTentang Ciputra Bangun Mal di Lahan RS Sumber Waras  

http://megapolitan.kompas.com/read/2015/08/11/17341851/Ahok.Tentang.Ciputra.Bangun.Mal.di.Lahan.RS.Sumber.Waras

Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, Pemprov DKI sedari awal berencana membangun RS Jantung dan Kanker. Ia menyebut pemilihan lahan milik RS Sumber Waras dilatarbelakangi ketidaksetujuan Pemprov atas rencana PT Ciputra Karya Utama yang hendak mengubah lahan itu menjadi mal.

Menurut Heru, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menyatakan tak setuju dengan rencana PT Ciputra Karya Utama itu. Atas dasar itu, Ahok, sapaan Basuki, kemudian menawarkan RS Sumber Waras agar melepaskan tanahnya itu ke Pemprov DKI.

Ternyata, penjelaskan Heru yang kini menjadi bakal cawagub Ahok ini dibantah oleh  Direktur Utama RS Sumber Waras, Abraham Tejanegara,

Di-copas dari Kompas.com Kronologi Pembelian Lahan Sumber Waras Menurut Pihak Rumah Sakit 

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/16/13463251/Kronologi.Pembelian.Lahan.Sumber.Waras.Menurut.Pihak.Rumah.Sakit

Sebab, sejak November 2013, RS Sumber Waras tengah melakukan pengikatan jual beli dengan PT Ciputra Karya Utama (CKU).

Dalam perjanjian jual beli, kata dia, PT CKU akan menjadikan lahan tersebut sebagai wisma susun.

Namun, karena dalam waktu yang ditentukan PT CKU tidak dapat memenuhi perjanjian tersebut, maka proses jual beli pun dibatalkan. Selain itu, proses jual beli pun dibatalkan karena Pemprov DKI tidak mengizinkan pembangunan wisma susun tersebut.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved