Kapolri sebut Maknyuss Beras Subsidi, Mensos: Bukan!
Tanggal: 27 Jul 2017 00:07 wib.
tampang.com - Seperti tidak ada habisnya kekisruhan yang terjadi, kali ini semua mata tertuju pada kekisruhan tentang beras "maknyuss" yang gudangnya sempat digerebek oleh kepolisian. Kapolri bahkan sempat menyebutkan bahwa beras tersebut merupakan beras subsidi. Berbeda dengan Kapolri, Menteri Sosial (mensos) Khofifah Indar Parawansa menyampaikan bahwa beras Maknyus dan Ayam Jago yang digerebek bukanlah beras bersubsidi. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Kapolri sebelumnya yang menyebut beras tersebut adalah beras subsidi.
"Mereka menjual beras medium seharga beras premium. Beras subsidi dikemas seolah-olah barang premium supaya harganya tinggi sekali," kata Jenderal Tito Karnavian, Kamis (20/7) malam.
Khofifah telah konfirmasi ke Bulog terkait kasus ini ke Bulog. Pihaknya memastikan, beras yang digerebek di gudang beras PT IBU bukanlah jenis beras subsidi.
"Bukan, saya sudah konfirmasi ke direksi Bulog. Kalau dia diambil dari gudang Bulog saya bisa pastikan itu rastra, tapi kalau dibeli di petani sangat mungkin IR 64 yang dapat subsidi pupuk dan subsidi benih," kata Khofifah di Gedung DPR Jakarta, Senin (24/7).
Selain itu, berkaitan dengan statemen Kapolri mengenai beras maknyusss, ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dradjad Wibowo, malah menyatakan dan berharap Presiden Joko Widodo menegur keras Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam perkara perberasan.
Menurut Dradjad, perusahaan seperti produsen beras merek Maknyuss, yakni PT Indo Beras Unggul (PT IBU), seharusnya diberi penghargaan. Sebab, setelah mempelajari usaha yang dilakukan PT IBU dalam berbisnis, bagi Dradjad, yang dilakukan PT IBU merupakan sebuah inovasi tata niaga petani yang brilian.
“Bapak Presiden yang terhormat, kisruh beras ini membuat pemerintahan Bapak menjadi terlihat anti-petani dan anti-perusahaan pertanian,” tutur Dradjad dalam pesan tertulisnya (26/7).
Dradjad mengatakan, pada saat dia di Institut Pertanian Bogor mempelajari ekonomi pertanian agribisnis, tata niaga pertanian sering menjadi salah satu titik paling lemah dalam pembangunan pertanian. Bahkan sering menjadi kontribusi negatif terhadap kesejahteraan petani. Sering kali petani harus membayar input tani yang terlalu mahal atau menerima harga jual hasil tani yang terlalu murah.
Akibatnya, rumus taninya, atau Indeks Nilai Tukar Petani, cenderung jelek bagi petani. Dia mengatakan penyebabnya antara lain karena rantai tata niaga yang terlalu panjang dan pemain tata niaga yang eksploitatif. "Kalaupun berbuat salah, PT IBU cukup diberi pembinaan. Bukan malah dihukum dengan tuduhan-tuduhan yang membuat alumnus pertanian seperti saya bertanya-tanya, Pak Mentan dan Pak Kapolri ini paham pertanian tidak ya?” ucap Dradjad.
Dradjad menambahkan, PT IBU memang bukan penolong petani yang tanpa kepentingan. Mereka hanya perusahaan hilir beras yang mencari keuntungan. Namun yang mereka lakukan adalah sebuah inovasi tata niaga. Hasilnya, mereka sanggup membeli harga yang lebih mahal dari petani, sekaligus sanggup menjual dengan harga yang lebih mahal kepada konsumen.
“Artinya, mereka mampu menciptakan permintaan sekaligus margin yang cukup besar sebagai imbalan bagi inovasinya. Petani juga diuntungkan, meskipun saya yakin IBU lebih diuntungkan dibanding petani,” tutur Dradjad terkait dengan beras Maknyuss.