Kalau Penggunaan Kata "Pribumi" Sudah Lumrah, Kenapa Anies Baswedan Dipidanakan

Tanggal: 20 Okt 2017 09:55 wib.
Gegara isi pidatonya yang memilih diksi "pribumi", Anies Baswedan resmi dilaporkan oleh inisiator Gerakan Pancasila Jack Boyd Lapian dengan didampingi oleh organisasi sayap PDI Perjuangan, Banteng Muda Indonesia pada 17 Oktober 2017.

Menurut pelapornya, Anies diduga melakukan tindak pidana dengan mengatakan "pribumi" dalam pidato perdana yang disampaikannya di Balai Kota DKI Jakarta.

Masih menurut pelapor, penggunaan kata pribumi dan nonpribumi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta dilarang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998.

"Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri,"kata Anies dalam pidatonya yang menuai konroversi tersebut (Sumber: LIPUTAN6.COM).

Jika dikaitkan dengan UU No. 40/2008, konten dari "Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme"sama sekali tidak menunjukkan adanya unsur diskriminatif baik terhadap ras maupun etnis. Karenanya,isi pidato Anies tidak melakukan satu pun pasal-pasal yang ada pada UU yang terbit di masa Presiden SBY tersebut.

Sementara dalam salah satu poinnya Inpres No.26/1998 memerintahkan kepada Menteri, pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur, Bupati/Walikota untuk, "Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan."

Pertanyaannya, apakah istilah pribumi dalam pidato Anies termasuk dalam perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan?

Tidak, istilah pribumi dalam pidato Anies bukan termasuk yang disebut dalam inpres keluaran Presiden BJ Habibie tersebut. Penggunaan istilah pribumi dalam pidato Anies malah lebih mirip dengan istilah pribumi yang disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri saat penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Padang pada 27 September 2017.

"Di balik ilmu pengetahuan selalu ada ideologi politik. Contohnya, sejarah kolonial Belanda yang semakin menancapkan kekuasaannya di Hindia Belanda dengan politik etis, yang juga dijalankan melalui bidang pendidikan.

Politik etis atau politik balas budi dimulai pada tahun 1901, yang seolah membuka akses pendidikan bagi rakyat pribumi. Padahal, maksud politik yang sebenarnya adalah agar kolonialisme tetap bertahan, dengan diperkuat oleh tenaga cakap pribumi yang dibayar dengan murah". Begitu penggalan isi pidato Megawati yang menyebut kata "pribumi (Sumber: PDIPerjuangan.ID)

Sama seperti Anies, dalam pidatonya tersebut Megawati menggunakan istilah "rakyat pribumi". Sebab, jika melihat catatan sejarah, memang hanya "rakyat pribumi" yang lebih tepat untuk menyebut satu kelompok masyarakat Indonesia yang paling tertindas pada era penjajahan.

Saat mengucapkan pidatonya yang menyebut "pribumi", Megawati bukanlah pejabat negara sehingga tidak bisa dikenai Inpres No. 26/1998. Isi pidato mantan Presiden Kelima itu pun tidak melanggar UU No. 40/2008 sebab tidak ada unsur diskriminatif yang terkandung dalam isi pidatonya.

Begitu juga istilah "pribumi" yang diucapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sekalipun JK mengucapkan istilah "pribumi" dan membandingkannya dengan Tionghoa.

"Pertama kebijakan tahun 1973, di situ muncul pengusaha-pengusaha pribumi, yang masuk ke devisa, termasuk bapak saya. Dan banyak pengusaha yang senior banyak muncul," ungkap JK usai menutup Kongres Ekonomi Umat (KEU) 2017 di Hotel Sahid, Jakarta, pada 24 April 2017 (Sumber: Detik.com).

"Jadi kenapa kita kekurangan pengusaha dibandingkan Tionghoa? Sederhana sekali karena pengusaha Tionghoa kalau (punya) anak lima, lima-limanya pengusaha. Karena dulu tidak bisa jadi tentara, pegawai pemerintah. Jadi mereka membuka toko, jadi pengusaha," kata dia.

Dan, dalam berbagai kesempatan, JK berulang kali mengucapkan "pribumi". Kendati demikian, karena tidak melanggar satu pun aturan, JK tidak pernah dilaporkan dengan alasan telah melanggar Inpres No. 26/1998 dan UU No. 40/2008.

Lantas, bagaiman dengan Menteri Kelautan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti yang mengeluarkan kebijakan afirmatif yang diarahkan pada program pembangunan konglomerasi pribumi yang selama ini dinilai tertinggal jauh dari pengusaha non-pribumi.

"Sekarang, pemerintah akan menggulirkan program membangun konglomerasi pribumi, membangun perusahaan pribumi, supaya kuat," kata dia dalam keterangan tertulis pada 18 Januari 2017 (Sumber: TEMPO.CO).

Apakah Susi berbuat diskriminatif dengan kebijakannya itu?

Jika hanya mempersempit pandangan pada kata pribumi dan non-pribumi, maka kebijakan Susi jelas-jelas telah melanggar aturan main sebagaimana yang disebutkan dalam Inpres No. 26/1998 dan UU No. 40/2008.

Tetapi, kebijakan tersebut diambil Susi berdasarkan pada komitmen pemerintah Jokowi dalam memperbaiki ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Sebab, menurut catatan, saat ini, 53 persen tanah negara dikuasai rasio 0,0003 penduduk Indonesia. Sementara satu korporasi besar non-pribumi bisa menguasai hingga 12-20 juta hektare tanah negara.

Jadi, ada situasi ketimpangan di negara ini terkait dengan penguasaan sumber daya. Untuk itu pemerintah Jokowi tengah berupaya mempersempitnya. Karenanya, Susi pun menegaskan affirmative policy harus dilakukan sehingga pemerintah punya keberpihakan.

"Bukan kami menganggap non-pribumi atau non-Indonesia asli itu bukan bangsa Indonesia, bukan itu. Namun, melihat situasi dan kondisi saat sekarang, di mana satu persen penduduk menguasai 70 persen ekonomi Indonesia," tegasnya.

Dalam situasi yang terjadi di negara ini, mau tidak mau, identivikasi dengan menggunakan istilah pribumi dan no pribumi tidak bisa dihilangkan. Sebab, dengan menghilangkannya justru akan menimbulkan sejumlah kerancuan.

Karenanya sangat mengherankan jika sejumlah media dengan terburu-buru menghapus kata "pribumi" yang terkait dengan ucapan Presiden Jokowi.

Justru penghapusan tersebut menimbulkan kesan buruk terhadap pemerintah Jokowi. Setidaknya, meragukan komitmen pemerintah Jokowi dalam memperbaiki ketimpangan ekonomi.

Jika pidato Anies dipersoalkan kerena dianggap melanggar aturan main, maka kebijakan pemerintah Jokowi justru lebih dianggap melanggar Inpres No. 26/1998 dan UU No. 40/2008.

Dalam situasi yang semakin memanas seperti seperti sekarang ini, semua pihak harus berkepala dingin. Dalam situasi seperti ini, panjang-pendeknya sumbu pastinya akan menentukan setiap tindakan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved