Kalau Kriminalisasi Ulama Tidak Ada, Maka Inilah Masalahnya

Tanggal: 25 Jan 2018 13:37 wib.
"Pemerintah dituduh mengkriminalisasi ulama, pemerintah memusuhi umat Islam, itu tidak. Yang kami larang kalau ada organisasi agama yang mempunyai ideologi paham mengubah Pancasila," ujar Tjahjo Kumolo saat memberi pembekalan kepada peserta Rapim TNI-Polri di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada 23 Januari 2018 (Sumber: Kompas.com).

Menurutnya, pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI) melalui Undang-Undang Ormas karena landasan mereka bertentangan dengan dasar negara.

Tidak jelas, apakah pernyataan Tjahjo tersebut merupakan bantahan atas pidato Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikannya saat memberikan sambutan pada peringatan 50 tahun Pondok Pesantren Daar El-Qolam di Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang, pada 20 Januari 2018.

"Negara, pemerintah, penegak hukum jangan sedikit-sedikit mudah mengkriminalkan, memanggil, seolah-olah (ceramah) itu dianggap kejahatan. Saya yakin masih bisa tidak seperti itu, masih bisa menjalin hubungan baik," kata SBY sebagaimana yang dikutip Detik.com.

Tetapi, jika pernyataan Tjahjo tersebut dimaksudkan untuk membantah tudingan SBY sebagaimana yang tertulis dalam judul berita, maka komentar Tjahjo sama sekali tidak membantah tuduhan SBY.

Kriminalisasi yang dimaksud SBY adalah pemanggilan terhadap ulama seolah-olah ceramah dianggap sebagai sebuah kejahatan. Sementara, kriminalisasi yang dikatakan Tjahjo adalah pelarangan organisasi agama yang berideologi ingin mengubah Pancasila.

Apakah ada aktivis HTI yang dipanggil karena dalam ceramahnya menyampaikan gagasan untuk menggantikan ideologi Pancasila?

Jawabannya, tidak ada.

Jadi, kriminalisasi yang dimaksud SBY memang tidak terkait dengan HTI dan aktivitasnya yang dinilai anti-Pancasila, tetapi pemanggilan terhadap ulama-ulama yang ceramahnya dianggap sebagai sebuah kejahatan.

Apalagi, dalam pidatonya, SBY juga mengatakan, “Tentang pemimpin umat, ini saya dengar katanya beberapa ulama atau kiai merasa mudah sekali dikriminalisasi. Katanya begitu. Dianggap apa yang disampaikan itu adalah ujaran kebencian, hate speech. Polisi turun, penegak hukum turun. Ini kalau terus terjadi tidak baik. Tidak boleh terjadi di Indonesia, negara yang kita cintai ini".

Jelas, SBY tidak menyinggung soal ulama atau ceramah atau aktivitas yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Tetapi, ceramah ulama yang dianggap mengeluarkan ujaran kebencian atau hate speech.

Dengan demikian, karena komentar Tjahjo tidak bisa diterima sebagai bantahan atas pidato SBY, maka tudingan SBY tentang adanya kriminalsisai ulama belum terbantahkan.

Okelah, anggap saja Tjahjo tidak berkompeten untuk menjawab persoalan ini. Atau mungkin pemerintah belum sanggup menjelaskan tuduhan kriminalisasi terhadap ulama yang sudah berkembang sejak hampir setahun ini.

Sedangkan menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, klaim kriminalisasi ulama yang ditujukan kepada Polri merupakan upaya ofensif yang dilakukan oleh sekelompok pihak terhadap upaya Polri dalam menegakkan hukum.

"Nah, kalau kita lihat yang dikatakan kriminalisasi ulama tadi, kita lihat perbuatannya. Ada yang dikenakan pasal makar, pasal pornogarfi, pasal makar apakah ada fakatnya. Ya, faktanya ada. Ada rapatnya. Upaya untuk menggulingkan pemerintah yang sah,” ujar Tito (Sumber: Kompas.com)

Mendebatkan ada atau tidaknya kriminalisasi terhadap ulama pasti tidak akan ada ujungnya, sebab masing-masing pihak pasti memiiki argumen yang sama-sama kuat.

Masalah yang sebenarnya dan justru harus menjadi perhatian serius adalah bagaimana jika kriminalisasi terhadap ulama sebagaimana yang dituduhkan oleh SBY dalam pidatonya benar-benar tidak ada.

Artinya, ada ulama yang ditahan dan menjalani rangkaian proses hukum tersebut memang benar-benar melontarkan ujaran kebencian yang bermuatan SARA.

Kalau benar para ulama melakukan pelanggaran hukum yang berlaku di republik ini, pertanyaannya, situasi, kondisi, atau apa yang melatarbelakangi para ulama hingga mereka terdorong untuk menyampaikan atau mengucapkan ujaran-ujaran yang dianggap bermuatan kebencian?

Jika memang demikian, artinya ada situasi yang jauh lebih serius, atau bahkan jauh lebih berbahaya, ketimbang persoalan ada-tidaknya kriminalisasi terhadap ulama itu sendiri.

Kebencian merupakan lontaran dari sikap permusuhan. Sementara, sikap permusuhan terjadi karena adanya situasi yang saling bertentangan. Dan, kebencian merupakan wujud terkecil dari perlawanan.

Saat ini, situasi dan kondisi yang dihadapi oleh sebagian ulama tengah memburuk. Beberapa ulama, bahkan, mengalami berbagai intimidasi dalam menjalankan aktivitas keagamaannya.

Intimidasi terhadap ulama ini mulai terasa saat terjadinya aksi pembubaran ceramah Felix Siaw di Masjid Manarul Islam, Bangil, Pasuruan pada awal November 2017. Situasi yang dirasakan oleh sebagian ulama ini terus memuncak dengan ditolaknya ceramah Ustad Abdul Somad di Bali pada Desember 2017.

Situasi yang dirasakan oleh sebagian ulama jauh lebih buruk lagi jika mengikuti ujaran-ujaran penuh kebencian terhadap ulama yang diposisikan berlawanan dengan pemerintah Jokowi. Hampr setiap waktu media sosial dipenuhi hujatan-hujatan terhadap ulama dan agama yang dianutnya.

Sangat tidak masuk akal jika Jokowi dan lingkaran-lingkarannya tidak mengetahui gencarnya ujaran kebencian terhadap ulama dan agama yang diimaninya, mengingat para pelontar kebencian itu diketahui memiliki hubungan dengan Istana.

Pertanyaannya, apakah Jokowi tidak sanggup mengelola pendukungnya ataukah sengaja dibiarkan atau bahkan sengaja diarahkan?

Pertanyaan di atas tercetus kerena Jokowi sudah beberapa kali bertemu dengan para pendukungnya. Toh, perilaku para pendukungnya terhadap para ulama tidak mengalami perubahan.

Tetapi pertanyaannya kembali lagi, ada atau tidakkah kriminalisasi ulama sebagaimana yang dituduhkan oleh SBY?

Dan, jika mengikuti alur dalam artikel ini, akhirnya isu kriminalisasi ulama menjadi buah simalakama bagi pemerintah Jokowi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved