Jokowi Menebar Ranjau, Agar Rakyat Demo dan Prabowo diganti Gibran
Tanggal: 4 Jun 2024 22:30 wib.
Oleh: Dr. Tonton Taufik Rachman
Banyak yang berasumsi bahwa Prabowo Subianto memanfaatkan anak Jokowi agar Jokowi bisa menggunakan kekuasaannya untuk mendukung kemenangan di pilpres 2024 kemarin.
Padahal menurut pandangan penulis, bahwa sebenarnya Jokowi memanfaatkan ambisi Prabowo yang ingin menjadi presiden Indonesia, agar membawa anaknya, Gibran, menjadi wakil presidennya.
Jokowi sudah mempersiapkan "ranjau-ranjau" di pemerintahan Prabowo-Gibran, agar rakyat banyak mendemonya, sehingga terjadi penurunan paksa Prabowo sebagai presiden, atau minimal membuat Prabowo pusing dan akibatnya menjadi sakit, sehingga harus digantikan oleh Gibran, anaknya.
Beberapa "ranjau" yang akan membuat rakyat banyak demo yaitu tentang:
1. UKT naik drastis tahun 2025, mahasiswa akan melakukan demo. Makin besar demo, makin senang Jokowi melihatnya dan mengharapkan Prabowo jatuh, dan Gibran akan menjadi presiden.
2. Tapera tahun 2027 akan diberlakukan, hanya 3 tahun sejak menjabat, 2024, dan akan ada demo lebih besar lagi, karena Tapera menyasar semua kalangan pekerja dan pengusaha, mulai dari UMKM sampai kelas konglomerat.
3. Jokowi memberikan saran untuk menampung semua kekuatan politik sehingga pemerintahannya menjadi "gemuk" dan makin banyak oknum yang korupsi. Sehingga membuat rakyat tidak percaya kepada pemerintahan Prabowo. Saran yang menjadi ranjau dikemudian hari.
4. Jokowi akan menggunakan pasukan buzzernya untuk selalu menyerang pemerintahan, ciri-cirinya yaitu adanya keinginan untuk menurunkan Prabowo sebelum jabatan berakhir.
Syahwat kekuasaan Jokowi yang ingin berkuasanya selamanya sangat terlihat dari beberapa perubahan aturan demokrasi demi lolosnya anaknya Gibran dan Kaesang. Perubahan-perubahan aturan demokrasi yang sudah disepakati sebelumnya dirubah seenaknya demi kepentingan keluarganya demi membangun dinasti politik Jokowi.
Kata-kata Jokowi yang sangat sombong ke salah satu kader PDI Perjuangan (PDIP), yaitu "Kalian (PDIP) hebat kalau bisa mengalahkan saya!". PDIP sebagai pengusung Jokowi sejak masih menjadi walikota merasa dikhianati, karena semua kemauan disetujui kecuali perubahan presiden menjadi 3 periode.
Politik adalah seni untuk berkuasa dengan cara apapun, mungkin itu yang ada dipikiran Jokowi. Semua bisa digerakan sesuai irama yang diinginkan, sampai pada saatnya rakyat berontakpun tidak memiliki lagi kekuatan. Karena rakyat yang memiliki keberanian dan inisiatif sangatlah sedikit. Pendidikan menengah atas di jaman Jokowi tidak ada kenaikan jumlah bangunan, ternyata ada maksud tertentu dibalik pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu hanya untuk mengurusi pendidikan atas, kurang mempedulikan pendidikan menengah atas.
"Bonus demografi" dengan banyaknya usia tenaga kerja akan menjadi "bencana demografi" di tahun 2030 karena pendidikan rakyat yang rendah semua. Selama pemerintah hanya fokus terhadap tampilan infrastruktur dan pendidikan tidak diutamakan, maka bencana demografi akan terjadi sangat memungkinkan.
Dan akhirnya dinasti Jokowi akan berkuasa lama dengan kemampuan berbohong kepada rakyat yang telah berlangsung turun-temurun.
Antisipasi dari Anggota DPR/MPR pun sebagai wakil rakyat terlambat, mereka terlena dengan uang yang diterima tiap bulan tanpa banyak bekerja.
Antisipasi kebijakan dari DPR/MPR yang terlambat yaitu:
1. Terlambat membuat UU Bansos, yang seharusnya dilarang membagikan bansos 2 bulan sebelum pilpres/pilkada.
2. Terlambat membuat UU Pemilu, carut marut proses pemilu akan selalu terjadi dimana aparat ikut mendukung salah satu capres/cawapres.
3. Terlambat menekan pemerintah untuk membuat UU yang menjaga proses demokrasi berjalan jurdil (jujur adil) dan luber (langsung umum bebas rahasia).
Kekecewaan rakyat akan menjadi bom waktu, sumbunya akan disulut oleh buzzer Jokowi dan akhirnya akan terjadi demo besar-besaran, dan Jokowi pun tertawa riang gembira, anaknya akan menjadi presiden.