Jokowi Mau Gebuk PKI yang Mana?

Tanggal: 19 Mei 2017 10:31 wib.
Saat bersilaturahmi dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa di Istana Merdeka, Jakarta yang digelar pada Rabu 17 Mei 2017, Presiden Jokowi Widodo mengungkapkan kegusarannya atas kebangkitan PKI.

"Saya dilantik jadi Presiden yang saya pegang konstitusi, kehendak rakyat. Bukan yang lain-lain. Misalnya PKI nongol, gebuk saja. TAP MPR jelas soal larangan itu," ujar Jokowi seperti yang dikutip KOMPAS.COM.

Bukannya PKI sudah tidak ada lagi? Dan, sebelum TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 dicabut, PKI atau partai yang berideologikan kumunisme tidak akan ada lagi. Jadi, siapa yang mau digebuk Jokowi?

Jokowi pun tidak perlu risau dengan tuduhan sebagai keturunan kader PKI. Cukup dengan dengan logika sederhana “Kalau Ayah Kandung Jokowi PKI, Berarti Ia lebih Hebat dari Agen Mossad” tudingan tersebut terbantahkan.

Kalau PKI yang bakal jadi sasaran gebuk adalah Partai Komunis Indonesia atau partai yang berhaluan komunis pastinya Jokowi hanya akan menggebuk angin. Tetapi, kalau yang dimaksud adalah kelompok yang dalam gerakannya menggunakan pola-pola PKI, Jokowi akan dengan mudah menemukan dan menggebuk kelompok tersebut.

Komunis memang tidak harus PKI. Dan komunisme dapat kembali bereinkarnasi tanpa harus memugar kembali PKI yang telah menjadi puing-puing. Komunisme bisa menyusup ke mana saja. Komunisme bisa di-install-kan pada siapa saja.

Secara garis besar, saat ini ada kelompok terorganisir, semi terorganisir, dan tidak terorganisir yang menggunakan pola-pola PKI. Untuk mencapai tujuannya, kelompok-kelompok ini menggunakan pola-pola seperti yang pernah dipraktekkan oleh PKI. Misalnya, memusuhi kelompok Islam dan memposisikan Islam sebagai ancaman bagi NKRI, mengumbar serentetan fitnah keji terhadap TNI dan menganggap TNI sebagai ancaman terhadap pemerintah.

Selain itu, kelompok ini mengklaim sebagai pemilik sah NKRI, sebaliknya, kelompok lawan diposisikan sebagai anti-NKRI, anti-Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal Ika, korup, kotor, bidoh, dan berbagai sebutan buruk lainnya. Dan, akibat pola-pola PKI yang dimainkan kelompok ini, saat ini bangsa Indonesia sedang dalam situasi terpecah belah.

Sebagaimana pola yang dilakukan oleh PKI, kelompok-kelompok yang dikenal sebagai pendukung Ahok yang rerata juga pendukung Jokowi ini terus menerus menebar permusuhan kepada kelompok masyarakat yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingannya.

Beberapa hari yang lalu, dalam sebuah aksi dukungan untuk Ahok,seorang orator menghujat, memaki, dan menghinadinakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan dengan sedemikian nistanya. Serangan brutal terhadap JK tersebut tidak hanya dilontarkan oleh orator pendukung Ahok, tetapi juga oleh kader terbaik PDIP, Adian Napitupulu, yang dalam kesempatan berbeda berupaya memposisikan JK sebagai seorang pengkhianat. Karuan saja, perilaku  Ahoker tersebut memancing kemarahan warga Sulawesi Selatan.

Di lain kesempatan seorang Ahoker yang juga diketahui sebagai pendukung Jokowi melakukan aksi bakar lilin tunggal di Padang. Bagi, para Ahoker, aksi tersebut tidak bermasalah. Para Ahoker menganggap aksi tersebut merupakan hak bagi setiap warga Indonesia. Para Ahoker pun kemudian membandingkannya dengan aksi bakar lilin lainnya.

Wajar jika para Ahoker tidak mempermasalahkan aksi bakar lilin tunggal, sebab aksi bakar lilin tunggal tersebut sesuai dengan kepentingannya. Maka tidak mengherankan jika para Ahoker bersorak-sorai dan memviralkan aksi bakar lilin tunggal di Padang yang diduga dilakukan oleh Nurul Indra ini. Bahkan, para Ahoker pun mengecam semua pihak yang bereaksi keras atas ulah pembakar lilin tunggal tersebut.

Para Ahoker tidak mempermasalahkan jika aksi bakar lilin tunggal tersebut telah mengusik masyarakat Padang dan Minang. Dalam status yang diunggah lewat akun Facebooknya, Nurul menuliskan, “Aku tidak takut. Aku berani karena sendiri jika dengan aku sendiri saja mereka masih nafsu pengen mengintimidasi, membubarkan maka akan kuteriaki. Cemen lu beraninya keroyokan,”

Serentetan kalimat Nurul yang menganggap masyarakat Padang berjiwa pengecut ini kemudian disebarluaskan, baik lewat media sosial maupun lewat situs-situs yang dikenal sebagai pendukung militan Jokowi-Ahok. Para Ahoker dan juga pendukung Jokowi yang menyebarluaskan penghinaan Nurul tidak mau peduli jika ulah Nurul tersebut telah memprovokasi masyarakat Padang. Apalagi kemudian diketahu kalau Nurul bukan warga Padang. Dan, ia datang hanya untuk melakukan aksi bakar lilin tunggalnya. Apakah aparat keamanan tidak mencium adanya kejanggalan dalam peristiwa di Padang tersebut,

Di kesempatan lain, para pendukung Ahok melakukan aksi bakar lilin di Bandung. Menariknya, lokasi yang dipilih berdekatan dengan tempat Bobotoh Persib Bandung menggelar acaranya. Saat itulah para Ahoker yang merasa dirinya paling benar mengecam Bobotoh yang dianggapnya mengganggu acara bakar lilin yang mereka lakukan. Para Ahoker yang ini tidak mau tahu jika acara Bobotoh telah mendapat izin dan sudah direncanakan sejak lama. Sebaliknya, acara bakar lilin Ahoker tidak berizin.

Dari sekian peristiwa bakar lilin saja, apakah Jokowi belum juga mencium adanya upaya untuk memancing-mancing Indonesia ke dalam konflik horisontal? Di Yogyakarta, massa pendukung Ahok nyaris bentrok dengan warga setempat. Di Surabaya, jamaah sebuah masjid sudah menyiapkan bermeter-meter kain kafan sebagai simbol “Kami Siap Mati”. Apakah Jokowi sudah mendapat informasi ini?

Selain mengklaim sebagai pemilik sah NKRI dan ke-Indonesia-an lainnya, kelompok Ahoker juga berteriak-teriak mengusir kelompok lainnya untuk keluar dari tanah air dan hengkang ke Arab. Kalau Jokowi menyatakan untuk menghentikan aksi penolakan, perilaku para Ahoker lebih dari sekadar penolakan. Mereka sudah melakukan pengusiran terhadap warga negara Indonesia dari tanah airnya sendiri.

Indonesia beruntung, situasi yang terus memanas ini terjadi jelang bulan puasa yang jatuh pada 27 Mei 2017. Seperti tahun-tahun sebelumnya, suhu politik mereda selama bulan puasa. Tetapi, sejak hari ini sampai hari pertama puasa, potensi terjadinya bentrokan fisik cukup besar.

Potensi terjadinya konflik horisontal semakin menguat jika aparat keamanan masih memilih untuk berdiam diri atau cenderung memihak kepada salah satu kelompok. Warga Sulawesi Selatan sudah mengeluarkan ancaman akan bergerak sendiri jika Polri tidak menindakpelaku pengujatan serta penghinadinaan terhadap JK. Semalam, 17 Mei 2017, kantor redaksi The Jak digeruduk massa karena dinilai menistakan Rizieq Shihab.

Muncul pertanyaan, apakah Jokowi sudah mendapat informasi cukup tentang situasi nasional? Setibanya dari kunjungannya ke Tiongkok, Jokowi menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh lintas agama yang juga dihadiri oleh Kapolri dan Panglima TNI. Hanya saja, ormas Islam yang diundang oleh Jokowi masih berkutat di antara Nahlatul Ulama. Muhammadiyah, dan MUI. Dan selama 6 bulan terakhir Jokowi sudah sekian kali menggelar pertemuan dengan ketiga organisasi tersebut.

Jokowi sama sekali belum pernah mengadakan pertemuan dengan kelompok-kelompok Islam yang berseberangan dengan Ahok (juga Jokowi). Dengan demikian, masukan yang didapat Jokowi pun pastinya kurang menyeluruh tentang situasi yang belakangan terjadi. Padahal, Luhut Binsar Panjaitan diketahui mencari “second opinion” dengan menemui Emha Ainin Nadjib (Cak Nun) di Yogyakarta pada 17 Maret 2017. Menariknya, Menko Kemaritiman tersebut bukan mengundang, tetapi mendatangi kediaman Cak Nun yang dikenal kritis terhadap kepemimpinan Jokowi.

Kalau tidak membuka lebar-lebar dialog dengan berbagai elemen bangsa, maka Jokowi tidak akan mendapat gambaran utuh tentang persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini. Di sisi lain, Jokowi sudah tidak bisa lagi memercayai begitu saja informasi yang dipasok oleh intitusi intelijen.

Jokowi pasti ingat ketika mendapat informasi intelijen yang keliru tentang jumlah massa Aksi 411 yang berunjuk rasa pada 4 November 2017. Menurut informasi intelijen yang didapat Jokowi, jumlah massa berkisar 18.000 pendemo. Kemudian, setelah aksi, Jokowi mendapat revisi. Bukan 18.000, tapi 30,000 pendemo.

Kok bisa Jokowi menelan bulat-bulat revisi yang disampaikan kepadanya? Apakah Jokowi tidak membandingkan jumlah massa Aksi 411 dengan penuhnya penonton di GBK yang berkapasitas 100.000 kursi?

Jika memperhatikan pemberitaan sejak Oktober 2016. Terbaca jika masa kritis kekuasaan Presiden RI Jokowi berlangsung di sekitar 4 November 2016. Saat itu, lewat sejumlah media, terbaca dengan jelas kesibukan (jika tidak disebut sebagai kepanikan) Jokowi. Jokowi menggelar sejumlah pertemuan di sana-sini. Saat itu pun, sejumlah Polda meningkatkan statusnya menjadi Siaga 1. Dan yang paling mencolok adalah kemisteriusan keberadaan Jokowi.

Setelah Aksi 411, tensi kembali mengendur. Bahkan saat Aksi 212 di mana dilakukan penangkapan terhadap sejumlah terduga pelaku makar, situasi tetap tenang. Saat Aksi 212 tidak ada pemberitaan tentang dinaikkannya status menjadi Siaga 1. Jokowi pun tetap beraktivitas di Istana sebagaimana biasanya.

Tetapi, jelang 20 Mei 2017 tensi kembali menegang. Kalau negara tidak mengambil langkah-langkah untuk meredamnya, dipastikan kerusuhan massal akan meletus di sejumlah daerah. Melihat situasi yang meruncing ini, pertanyaannya, siapa yang mau digebuk Jokowi?
Copyright © Tampang.com
All rights reserved