Sumber foto: pinterest

Jokowi 3 Periode: Mimpi atau Mimpi Buruk Demokrasi?

Tanggal: 21 Mei 2025 09:51 wib.
Presiden Joko Widodo, yang akrab disapa Jokowi, telah menjadi sorotan banyak pihak terkait isu amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Diskusi ini kembali merebak di tengah persiapan pemilu yang semakin mendekat, memunculkan berbagai opini baik di kalangan masyarakat, politisi, maupun pengamat politik. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah rencana ini merupakan mimpi yang akan membawa kemajuan bagi bangsa atau justru menjadi mimpi buruk bagi demokrasi Indonesia?

Sejak Jokowi menjabat pada tahun 2014, banyak prestasi yang telah diraih, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas layanan publik. Namun, tak jarang muncul kekecewaan dan kritik terkait dengan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan penanganan kasus-kasus sosial yang dinilai kurang memadai. Melihat pencapaian tersebut, segelintir penguasa dan pendukungnya mulai menggencarkan wacana tentang amandemen konstitusi yang memungkinkan Jokowi untuk terus menjabat selama tiga periode. Ini tentu menuai pro dan kontra di masyarakat.

Para pendukung amandemen berargumen bahwa presiden yang menjabat lebih dari dua periode akan membawa kontinuitas dalam pembangunan, sehingga program-program yang telah dicanangkan bisa terus berjalan tanpa terputus. Mereka berpendapat bahwa kepemimpinan Jokowi yang telah mengenal berbagai tantangan dalam pemerintahan menjadi modal berharga dalam menghadapi dinamika politik dan ekonomi ke depan.

Di sisi lain, para penentang beranggapan bahwa penambahan masa jabatan presiden akan merusak tatanan demokrasi yang sudah dibangun selama ini. Indonesia, yang kuat dengan tradisi reformasi, seharusnya menjaga prinsip pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Mereka menekankan bahwa perpanjangan jabatan presiden dapat menciptakan peluang bagi otoritarianisme, yang jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang diemban oleh rakyat.

Amandemen konstitusi untuk memperpanjang jabatan presiden juga menghadapi aspek legalitas. Menurut konstitusi yang berlaku, masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode. Oleh karena itu, setiap upaya untuk melakukan amandemen harus melibatkan proses yang demokratis dan transparan, dengan melibatkan partisipasi publik serta mempertimbangkan pandangan dari berbagai elemen masyarakat.

Isu ini semakin memanas ketika beberapa partai politik mulai menunjukkan dukungan terhadap wacana amandemen. Sikap dan langkah yang diambil oleh pemerintah dan partai-partai besar dapat mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia. Diskusi yang sehat dan konstruktif diperlukan agar niat untuk merubah konstitusi tidak terjebak dalam kepentingan sesaat atau ambisi pribadi.

Masyarakat Indonesia, yang telah mengalami berbagai perubahan dan reformasi dalam sejarahnya, sangat menyadari pentingnya momen ini. Mereka berharap bahwa apapun keputusan yang diambil, harus berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi yang menghormati hak-hak sipil, serta menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Wacana jabatan presiden yang berlanjut hingga tiga periode tidak hanya akan menentukan masa depan Jokowi, tetapi juga masa depan demokrasi Indonesia secara keseluruhan.

Pada akhirnya, pertarungan antara visi pembangunan dan komitmen terhadap demokrasi sedang berlangsung. Masyarakat diharapkan dapat cerdas dalam menyikapi semua jawaban atas tantangan yang ada di depan, serta berkontribusi dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah. Apakah Jokowi akan mampu mengubah mimpi ini menjadi kenyataan, atau justru menjadi mimpi buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia?
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved