JK Sejalan dengan Anies- Sandi Kasus Reklamasi Jakarta
Tanggal: 3 Nov 2017 04:59 wib.
Tampang.com - MANTAN Ketua Tim Sinkronisasi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Sudirman Said membantah pandangan yang menurutnya keliru atas sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres JK) yang seolah-olah mendukung kelanjutan reklamasi. ”Ada pandangan bahwa wapres (kedengarannya wapres, Red) setuju melanjutkan sebagian reklamasi, itu sama sekali tidak benar. Yang terjadi begini, semenjak saya diangkat menjadi tim sukses Anies-Sandi, kajian daripada itu (reklamasi, Red) bagaimana seharusnya tentu ada dan juga langsung ada sikap politik. Jadi rencana wapres itu sama seperti rencana Anies-Sandi,” ujarnya di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (2/11).
Mantan Menteri ESDM itu juga memastikan bahwa sikap tersebut akan tetap sama mulai saat ini hingga ke depan bahwa kebijakan reklamasi bukanlah suatu kebijakan yang tepat untuk diteruskan. Menurutnya, sebagai gubernur baru terpilih, maka Anies masih perlu pengkajian tentang reklamasi.
Namun ia juga menjelaskan bahwa pulau yang telah dibuat tidak mungkin dibongkar lagi, sehingga jalan keluarnya adalah dimanfaatkan sebaik mungkin. ”Yang diinginkan adalah agar pulau hasil reklamasi yang telanjur ada dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat Jakarta, bukan pemodal,” katanya.
Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai proyek reklamasi harus segera dihentikan. Proyek itu lebih banyak kerugiannya dibanding keuntungannya. ”Proyek reklamasi Teluk Jakarta harus segera dihentikan pemerintah. Sebab, ditinjau dari berbagai aspek terkait, akan mendatangkan lebih banyak kerugian dibanding manfaat bagi negara dan rakyat,” ujarnya.
Menurut Marwan, proyek tersebut bisa berdampak signifikan pada perubahan lingkungan Jakarta. Proyek ini dinilai tidak bisa menjadi solusi untuk membuat Jakarta tidak tenggelam.
Pakar Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin juga angkat bicara. Dia mengatakan, reklamasi bukan solusi agar Jakarta tidak tenggelam, tapi malah menenggelamkan Jakarta. "Reklamasi Teluk Jakarta memiliki dampak merusak lingkungan, menambah beban biaya APBD, serta menghilangkan hak hidup dan mata pencarian nelayan," ujarnya.
Margarito Kamis, akademisi hukum tata negara mengatakan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berhak menolak melanjutkan reklamasi Teluk Jakarta. Reklamasi yang dilakukan sekarang ini seolah-olah perintah Keputusan Presiden (Keppres) No 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995. Padahal, Keppres 52 itu memerintahkan lain, bukan seperti reklamasi Teluk Jakarta yang sekarang bermasalah. ”Karena itu, Anies berhak menolak melanjutkan reklamasi,” katanya.
Karena itu, dia menegaskan, dari segi hukum Anies punya alasan yang cukup untuk tidak melanjutkan reklamasi. ”(Sikap, Red) itu sama dengan tunduk kepada Keppres 52,” tegasnya.
Margarito menjelaskan, reklamasi di Teluk Jakarta dasarnya Keppres 52 yang memerintahkan reklamasi Pantai Utara Jakarta. ”Kalau perintahnya reklamasi Pantai Utara tapi reklamasi teluk, itu segi hukumnya bagaimana?” katanya.
Margarito juga menilai dari sisi kelembagaan sebenarnya ada masalah dengan reklamasi itu. ”Ini sebenarnya otorisasinya ke gubernur,” tandasnya.
Kemudian gubernur diperintahkan ke sejumlah kelembagaan, membentuk badan pengarah, pelaksana dan tim pengendali. Sementara Bappenas dalam keppres itu diperintahkan untuk memberi pengarahan pada kelembagaan dan badan pelaksana. Kalau Bappenas sadar ada masalah, seharusnya memerintahkan reklamasi dilaksanakan oleh badan pelaksana dan pihak ketiga. ”Apakah badan pelaksana itu ada? Merekalah yang bisa melaksanakan kerja sama dengan pihak ketiga,” jelasnya.
Dia menambahkan, gubernur dalam perintah Keppres 52 itu harus membuat peraturan dan tata cara reklamasi. Persoalannya, ujar Margarito, apakah ada atau tidak peraturan yang dibuat tersebut. ”Dari segi itu soal kelembagaan ada masalah. Gubernur bertanggung jawab bentuk tim pelaksana, pengarah pengendali dan buat pergub soal syarat dan tata cara reklamsi,” katanya.
Margarito menambahkan, dalam keppres itu pula yang direklamasi bukan teluk tapi pantai sampai kedalaman delapan meter. Namun, yang terjadi sekarang tidak sesuai dengan perintah keppres. ”Perintahnya A dijalankan B,” tegasnya.
Nah, lanjut Margarito, sekarang yang menjadi persoalan juga apakah ada kepastian bahwa hukum tidak akan lapuk ketika menghadapi pembesar. Menurut dia, kalau mau menegakkan hukum sebenarnya sangat sederhana.
Dia menegaskan, andai pemerintah punya keberanian cabut saja Keppres 52. Dari segi tata negara, presiden punya kewenangan untuk mencabut keppres. ”Presiden sah punya kewenangan mengganti dengan keppres lain untuk mengatur kewenangan,” katanya.