Jimly: Seharusnya Kaesang Tidak Bisa Ikut Pilkada Serentak 2024, Mahfud: Mahkamah Agung Tidak Bisa Membatalkan Isi Undang-Undang

Tanggal: 17 Jul 2024 20:20 wib.
Jimly Ashiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menegaskan bahwa Kaesang, putra Presiden Joko Widodo, seharusnya tidak bisa ikut pilkada serentak 2024.

MA mengubah ketentuan syarat calon kepala daerah dari yang berusia paling rendah 30 tahun untuk tingkat provinsi dan 25 tahun tingkat kota/kabupaten "terhitung sejak penetapan pasangan calon" pada 22 September 2024 menjadi "terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih" yang kemungkinan akan berlangsung pada awal tahun 2025.

Seperti peristiwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Joko Widodo, keputusan MK yang langsung berlaku saat itu juga, adalah hal kejanggalan. Keputusan itu seperti hanya untuk seseorang yang berkepentingan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, membuat penegasan bahwa putusan MA tidak berlaku di Pilkada Serentak 2024. Menurut Jimly, masalah syarat pencalonan tidak boleh diubah di tengah jalan dan seharusnya tetap berlaku untuk Pilkada 2029. Ini menunjukkan pentingnya menjaga konsistensi dalam kebijakan penyelenggaraan pemilihan umum.

Hal ini juga disampaikan oleh Mahfud MD, yang menyoroti ketidaksesuaian Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Pasal tersebut mengatur batas minimal usia calon kepala daerah, yang kemudian diubah oleh MA dalam putusannya.

Menurut Mahfud, putusan MA yang mengubah ketentuan syarat pencalonan tersebut bersifat destruktif. Perubahan ini akan berdampak pada pelaksanaan Pilkada di tahun 2024, serta mempengaruhi tata kelola pemilihan umum secara keseluruhan.

Pakar hukum tata negara, Mahfud MD mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia kepala daerah membuat kacau. Sebab, dalam tata hukum putusan MA mengikat, sehingga KPU tidak bisa menghindar walaupun secara kewenangan salah.

"Oleh sebab itu, ini bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum. Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud dalam podcast ;Terus Terang; di kanal YouTube Mahfud MD Official.

"Mahkamah Agung tidak bisa membatalkan isi undang-undang, seharusnya oleh Legislative Review, diubah oleh lembaga legislatif atau Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi, bukan oleh Mahkamah Agung,"pungkas Mahfud MD.

Menko Polhukam periode 2019-2024 itu turut mengkritisi pernyataan mantan hakim agung, Gayus Lumbuun, yang menyebut ini tinggal dibicarakan ke DPR. Padahal, tidak bisa karena DPR sendiri sudah ada dalam UU soal syarat 30 tahun saat mendaftar.

Ia menilai, kecurigaan masyarakat memang menjadi konsekuensi logis dari tindakan-tindakan selama ini yang dilakukan melalui eksekutif atau yudikatif. Yang mana, cacat, melanggar etik berat, sehingga membuat masyarakat mengasosiasikan ini jadi curiga.

"Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu, itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang," ujar Mahfud.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved