Gerakan Rakyat dan PDI-P Kompak Tolak Pilkada Lewat DPRD, Tegaskan Hak Pilih Rakyat
Tanggal: 30 Des 2025 16:43 wib.
Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menuai penolakan dari berbagai pihak. Kali ini, penolakan tegas datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan organisasi kemasyarakatan Gerakan Rakyat, yang sama-sama menilai usulan tersebut berpotensi mencederai demokrasi dan menggerus hak politik rakyat.
Politikus PDI-P Guntur Romli menegaskan bahwa partainya tetap konsisten mendukung pilkada langsung, di mana rakyat memiliki hak penuh untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Menurutnya, pemilihan melalui DPRD bukanlah solusi yang tepat, meskipun dibungkus dengan alasan efisiensi anggaran.
“Kami hormati sikap partai lain, tapi PDI Perjuangan tetap ingin pilkada langsung, tidak melalui DPRD,” ujar Guntur Romli.
Efisiensi Bukan Alasan Cabut Hak Politik Rakyat
Guntur menilai, alasan efisiensi tidak dapat dijadikan dalih untuk mencabut hak dasar rakyat dalam menentukan pemimpinnya. Ia bahkan menyoroti bahwa wacana efisiensi kerap tidak konsisten jika dibandingkan dengan kondisi pemerintahan saat ini.
“Efisiensi tidak bisa dijadikan dalih untuk mengambil hak politik rakyat. Kabinet saat ini juga gemuk, tidak ada efisiensi. Harusnya efisiensi dimulai dari pemotongan fasilitas dan biaya elite-elite pemerintahan, bukan dengan mengkebiri hak politik rakyat,” tegasnya.
Menurut Guntur, pilkada tidak langsung merupakan bentuk kemunduran demokrasi dan dapat membawa Indonesia kembali ke praktik politik era Orde Baru sebelum Reformasi.
“Pilkada tidak langsung itu tanda kemunduran demokrasi, bahkan putar balik ke arah Orde Baru. Apalagi saat ini suasana masih prihatin, banyak bencana. Pilkada kalau melihat putusan MK masih 2031, buat apa dilempar sekarang, justru semakin menyakiti perasaan rakyat,” imbuhnya.
Gerakan Rakyat: Demokrasi Tak Boleh Dipersempit
Penolakan serupa juga disampaikan oleh Ormas Gerakan Rakyat. Ketua Umum Gerakan Rakyat Sahrin Hamid menegaskan bahwa organisasinya menolak keras usulan pilkada melalui DPRD karena dinilai berisiko mempersempit partisipasi rakyat dan memperkuat dominasi elite politik.
“Biaya politik bukan alasan yang sah untuk mencabut hak demokratis rakyat. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan, memindahkan pilkada ke DPRD justru berisiko mempersempit partisipasi rakyat dan memperkuat politik elite,” ujar Sahrin melalui akun Instagram resminya, @sahrinhamid, Jumat (26/12/2025).
Pernyataan tersebut telah diizinkan untuk dikutip oleh SINDOnews. Sahrin menekankan bahwa demokrasi tidak boleh dipersempit hanya menjadi persoalan efisiensi anggaran.
“Demokrasi tidak boleh disederhanakan hanya soal efisiensi. Kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan ditarik kembali ke ruang-ruang tertutup kekuasaan,” katanya.
Kekhawatiran Menguatnya Politik Elite
Baik PDI-P maupun Gerakan Rakyat menilai, pilkada melalui DPRD berpotensi memperkuat politik transaksional dan elite-oriented. Mekanisme pemilihan tidak langsung dinilai rawan lobi politik tertutup dan mengurangi transparansi dalam proses demokrasi.
Dalam konteks kepercayaan publik yang masih rapuh terhadap lembaga perwakilan, pemindahan kewenangan memilih kepala daerah dari rakyat ke DPRD justru dinilai kontraproduktif. Alih-alih memperbaiki demokrasi, langkah tersebut dikhawatirkan memperlebar jarak antara rakyat dan pemimpin daerah.
Isu Lama yang Kembali Mengemuka
Wacana pilkada melalui DPRD sejatinya bukan isu baru. Namun, kemunculannya kembali di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang masih penuh tantangan dinilai kurang tepat oleh sejumlah pihak. Apalagi, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa agenda pilkada nasional masih berjalan hingga 2031.
Penolakan dari partai politik besar dan organisasi masyarakat ini menunjukkan bahwa isu pilkada tidak hanya soal teknis pemilu, tetapi menyangkut prinsip dasar demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Rakyat Tetap Subjek Demokrasi
Sikap PDI-P dan Gerakan Rakyat menegaskan satu hal penting: rakyat harus tetap menjadi subjek utama dalam demokrasi, bukan sekadar objek kebijakan elite. Pilkada langsung dipandang sebagai hasil Reformasi yang harus dijaga, bukan dikembalikan ke mekanisme tertutup.
Dengan penolakan yang semakin luas, wacana pilkada melalui DPRD diprediksi akan terus menuai kritik dan perdebatan publik dalam waktu ke depan.