Genosida Kamboja: Ketika Rakyat Sendiri Dibantai
Tanggal: 14 Mei 2025 20:37 wib.
Genosida Kamboja merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terburuk di abad ke-20. Antara tahun 1975 dan 1979, rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot melancarkan sebuah kampanye brutal yang mengakibatkan kematian sekitar dua juta orang, atau hampir seperempat dari populasi Kamboja pada saat itu. Alasan di balik tindakan keji ini adalah untuk menciptakan masyarakat agraris yang utopis dan membuang semua unsur kapitalis serta pengaruh asing yang dianggap merusak.
Pol Pot, seorang pemimpin yang keyakinan ideologisnya terinspirasi oleh ideologi komunis dan Maoisme, mengambil alih kekuasaan di Kamboja setelah mengalahkan pemerintah yang didukung oleh Amerika Serikat. Dengan slogan "Kembali ke Alam", Pol Pot dan rezim Khmer Merah bertekad untuk menghapus semua yang dianggap sebagai warisan dari era sebelumnya, termasuk pendidikan, agama, dan urbanisasi. Mereka menerapkan kebijakan sosial ekstrem, termasuk pengungsian massal dari kota-kota ke desa-desa.
Salah satu karakteristik paling mencolok dari pemerintahan Khmer Merah adalah ketidakpedulian mereka terhadap hak asasi manusia. Dengan tangan besi, mereka menjalankan kebijakan yang kejam. Setiap individu yang dicurigai tidak setia, termasuk intelektual, dokter, akademisi, dan bahkan mereka yang mampu berbicara dalam bahasa asing, dianggap sebagai ancaman. Penangkapan massal dan penyiksaan menjadi hal yang umum. Para tahanan seringkali diinterogasi dengan kekerasan sebelum dieksekusi di tempat-tempat yang dikenal sebagai "ladang pembantaian".
Salah satu ladang pembantaian yang paling terkenal adalah Choeung Ek, yang terletak di dekat Phnom Penh. Di situs ini, ribuan orang dieksekusi dan dibuang ke dalam kuburan massal. Banyak yang tidak memiliki kesempatan untuk membela diri, dan banyak yang bahkan tidak tahu mengapa mereka ditangkap. Metode eksekusi yang digunakan sangat brutal, dengan banyak korban yang dibunuh dengan cara yang sadis, termasuk menggunakan alat pertanian untuk menghindari suara tembakan yang mencolok.
Rezim Khmer Merah juga menerapkan kebijakan agraris yang ekstrem, memaksa penduduk kota untuk bekerja di ladang dengan kondisi yang mengerikan. Ini menciptakan kelaparan yang meluas, di mana banyak orang mati karena kelaparan dan penyakit. Kelaparan ini diperparah oleh penarikan makanan dari desa-desa untuk memenuhi tuntutan pemerintah, yang terus berusaha untuk mengejar cita-cita pertanian yang tidak realistis.
Dalam konteks global, genosida ini sering disalahpahami atau kurang diperhatikan, terutama dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa serupa di belahan dunia lainnya. Upaya untuk mengganti pemerintahan Khmer Merah oleh Vietnam pada tahun 1979 membawa akhir bagi kekejaman ini, tetapi tidak menghapus jejak luka yang ditinggalkan. Pengetahuan mengenai genosida Kamboja terus berkembang, dengan banyak pelapor dan saksi yang berjuang untuk memastikan bahwa sejarah ini tidak dilupakan.
Pengadilan bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan yang terlibat dalam genosida Kamboja telah berlangsung selama beberapa dekade, dengan sebagian besar pemimpin Khmer Merah diadili dalam pengadilan internasional. Namun, warisan dari kekejaman ini tetap dirasakan di Kamboja. Masyarakat masih berjuang untuk mengatasi dampak emosional dan fisik yang ditinggalkan oleh masa lalu yang kelam ini.
Kamboja hingga saat ini terus berusaha untuk bangkit dari trauma genosida yang dilakukan oleh rezim Pol Pot dan Khmer Merah. Pembelajaran dari sejarah kelam ini diharapkan dapat menginspirasi generasi masa depan untuk menghormati hak asasi manusia serta menolak segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.