Sumber foto: detik.news.com

Gak Nyangka! Ini yang Bisa Terjadi Jika Trump Jadi Presiden AS Lagi

Tanggal: 16 Jul 2024 17:04 wib.
Serangan terhadap calon presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terjadi di Pennsylvania Sabtu (13/07) waktu Amerika Serikat. Penembakan Trump diperkirakan berdampak terhadap pasar keuangan global dan bisa mengubah peta persaingan pemilihan presiden (pilpres) AS November mendatang 

Kronologi yang terjadi yakni berawal saat Trump tengah berpidato di depan pendukungnya di Pennsylvania. Mengenakan kemeja putih dan blazer gelar serta topi "Make America Great Again" (MAGA) cerah, Trump yang asik berbicara di depan para pemilih Partai Republik tengah berbicara soal imigrasi ilegal.

Namun pukul 18:08 waktu setempat (sekitar pukul 06:08 Minggu waktu RI) suara tembakan tiba-tiba terdengar. Pidato Trump tiba-tiba terpotong dengan suara tembakan empat kali berturut-turut.

Menyusul penembakan Trump, Strategi Global Utama, LPL Financial, Charlotte, North Carolina, Quincy Crosby menyampaikan bahwa terjadi penguatan terhadap indeks dolar AS (DXY).

Dikutip dari Reuters, jika terjadi skenario di mana ada ancaman lebih luas yang ditujukan kepada pejabat AS, pasar saham bisa membuka dengan penurunan yang signifikan, memerlukan intervensi likuiditas dari bank sentral AS (The Fed).

Sementara itu, kepala bidang investasi di Cresset Capital, Chicago, Jack Ablin mengatakan bahwa kekerasan politik memperkenalkan tingkat ketidakstabilan potensial yang baru.

Ini adalah ketidakpastian dan volatilitas, dan tentu saja pasar tidak suka itu. Ini bukan lingkungan yang diinginkan oleh siapa pun,'' ujar Ablin.

Ablin juga menyampaikan bahwa Trump akan mendorong untuk menurunkan suku bunga segera.

Sedangkan kepala strategis di Interactive Brokers, Greenwich, Steve Sosnick mengatakan bahwa situasi saat ini diperkirakan tidak akan memiliki dampak besar pada pasar saham.

Suku Bunga The Fed Era Trump

Trump memimpin AS pada Januari 2017 hingga Januari 2021 atau selama empat tahun.

Pada awal ia memerintah, suku bunga The Fed berada di angka 0,50-0,75% dan mencapai puncaknya pada Desember 2018 hingga Juni 2019 yakni di level 2,25-2,50%.

Tingginya suku bunga tersebut bersamaan dengan inflasi yang menyentuh angka 2,7% (year on year/yoy) pada Februari 2017 hingga Juli 2018. Oleh karena itu suku bunga dinaikkan dengan cukup signifikan dan dalam waktu yang cukup singkat.

Kemudian suku bunga mengalami penurunan mulai dari Agustus 2019 dan konsisten di level yang cukup rendah yakni 0,00-0,25% pada Maret 2020 akibat pandemik Covid-19.

Pemangkasan suku bunga The Fed pada 2019 merupakan pertama kalinya dalam 11 tahun terakhir.

The Fed untuk pertama kalinya menurunkan suku bunga pada semester II-2019 karena tren ekonomi (lemahnya inflasi dan prospeknya), tetapi juga karena perubahan dalam keseimbangan risiko.

Ekonomi AS di Bawah Kepemimpinan Trump

Secara umum, ekonomi AS telah berkembang dengan langkah stabil di bawah pemerintahan Trump dan Biden. Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan ukuran dari semua barang dan jasa yang diproduksi di negara tersebut, telah tumbuh sebesar 6,8% selama pemerintahan Trump, ketika pandemi memaksa ekonomi mengalami resesi tajam dan tiba-tiba.

Kendati demikian, ekonomi pulih dengan cepat berkat sebagian besar pada stimulus triliunan dolar dan sudah mulai tumbuh lagi pada saat Trump meninggalkan jabatannya.

Inflasi pun cenderung terkendali dan rendah pada era Trump. Posisi tertinggi tercapai pada Juni/Juli 2018 yang hampir menyentuh level 3%. Sementara pada era Biden, inflasi cenderung melonjak terkhusus setelah pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina.

Saat ini memang inflasi sudah jauh melandai bahkan berada di level 3% yoy, namun angka ini masih belum berada di target The Fed yakni di level 2%. Inflasi sempat terbang ke 9,1% (yoy) pada Juni 2022.

Ekspor Indonesia ke AS Selama Era Trump

Ekspor Indonesia ke AS melonjak 15,3% di era Trump dari US$ 16,14 miliar pada 2016 menjadi US$ 18,62 miliar pada akhir 2020. Kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan empat tahun terakhir era Barack Obama yang hanya naik 8,52%.

Dampak Perekonomian RI Pasca Penembakan Trump

Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menyampaikan bahwa penembakan Trump ini pada dasarnya akan menguntungkan Trump dan ia memiliki peluang menang ke depan.

Analis di Signum Global Advisors, Rob Casey, memaparkan bahwa percobaan pembunuhan ini telah menyulut api semangat dan loyalitas para pendukung Trump. Di mata mereka, Trump sudah menjadi martir politik, setelah berjuang melalui puluhan tuntutan pidana selama dua tahun terakhir.

Acara ini berpotensi meningkatkan dukungan mantan presiden Trump dengan menyoroti semangatnya, memotivasi pendukungnya, dan membangkitkan simpati,'' ujarnya dikutip Financial Times, dikutip Senin (15/7/2024).

Pasca insiden ini, sejumlah pihak mulai menyatakan dukungan untuk Trump. Salah satunya adalah CEO Tesla Elon Musk dan manajer hedge fund, miliarder Bill Ackman.

Jajak pendapat yang dilakukan oleh NBC News, CBS News, dan Fox News. Trump masih unggul sejauh ini.

Dalam jajak pendapat NBC News, Trump memimpin Biden, 45% berbanding 43%. Trump juga memimpin 2 poin dalam survei terakhir NBC pada bulan April.

Tauhid menegaskan bahwa dalam pengambilan kebijakan, ia akan berfokus untuk menekan inflasi dan konsekuensinya adalah kebijakan suku bunga akan jauh lebih lama di level yang tinggi sehingga suku bunga diperkirakan belum akan turun pada September 2024.

Oleh karena itu, Tauhid memperkirakan bahwa rupiah masih akan cukup sulit untuk stabil dan bergerak di bawal level Rp16.000/US$ dalam beberapa bulan ke depan.

Sejalan dengan Tauhid, ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal menyampaikan bahwa kemenangan Trump bisa jadi akan membuat The Fed gamang untuk menurunkan rate, mengingat kebijakan ala Trump yang sering memicu inflasi. Oleh karena itu, The Fed akan menunggu sampai akhir tahun untuk menurunkan rate-nya, dan terbuka kemungkinan untuk bisa jadi menunda penurunannya sampai tahun depan.

Sedangkan untuk rupiah, hal ini akan membawa rupiah ke keseimbangan baru di Rp16.000an.

CIO Mandiri Manajemen Investasi, Ernawan R Salimsyah menyampaikan kepada CNBC Indonesia bahwa volatilitas di pasar masih akan terus hadir hingga November 2024.

Saham-saham yang berada di sektor keuangan, layanan kesehatan, asuransi, dan minyak akan mendapatkan daya tarik yang lebih dibandingkan sektor lainnya.

Lebih lanjut, Ernawan menegaskan bahwa dampak peristiwa ini ke pasar domestik yakni sifatnya akan cenderung negatif, bukan struktural. Oleh karena itu, koreksi yang dalam akan menjadi kesempatan kesempatan yang baik bagi investor untuk melakukan pembelian.

Sementara itu, Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indarastomo mengungkapkan bahwa dengan semakin besarnya peluang Trump untuk menang dalam pemilihan tahun ini, maka hal ini akan menjadi angin segar bagi pasar keuangan Indonesia.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved