Gaet Deddy Mizwar, SBY Jadikan Prabowo Follower-nya
Tanggal: 16 Nov 2017 11:18 wib.
Di tengah ketidakpastian pencalonan Deddy Mizwar dalam Pilgub Jabar 2018, Partai Demokrat melakukan manuver tajam dengan menyerobot Wakil Gubernur Jawa Barat itu dari tangan Gerindra.
Deddy yang sudah sekian lama menunggu kepastian dari Gerindra pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang datang padanya. Tanpa berpikir panjang lagi, Deddy yang telah sekian lama tercatat sebagai kader Gerindra ini pun kemudian berencana mendaftarkan dirinya sebagai kader Demokrat.
Bagaimana pun juga, Deddy memiliki peluang besar untuk memenangi Pilgub Jabar 2019. Selain tingkat elektabilitasnya yang kokoh bertengger di posisi kedua di bawah Ridwan Kamil, sebagai pesohor yang kerap wara-wiri di layar kaca dan layar perak, Deddy memiliki tingkat popularitas tertinggi di banding kandidat lainnya.
Karenanya, manuver Demokrat dalam Pilgub Jabar 2018 mau-tidak mau telah memaksa Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menghitung ulang strateginya, bukan hanya untuk Pilkada Serentak 2018, tetapi juga untuk Pemilu 2019.
Demi Memenangkan Emil, Dedi Terpaksa Disingkirkan
Sebagaimana yang telah diduga sebelumnya, Pilgub Jabar 2018 tidak lepas dari polarisasi yang menghadap-hadapkan kutub pendukung Jokowi dengan kutub pendukung Prabowo.
Sejak jauh hari, kutub pendukung Jokowi telah mengarahkan dukungannya pada Dedi Mulyadi dan Ridwan Kamil alias Emil. Sementara, kutub pendukung Prabowo solid mendukung Deddy Mizwar.
Sesuai aturannya, Pilgub Jabar 2018 tidak mengenal sistem putaran kedua. Artinya, peraih suara terbanyak secara otomatis akan ditetapkan sebagai pemenangnya. Di sinilah duduk persoalannya.
Menariknya, jika memperhatikan sejumlah rilis survei terkait Pilgub Jabar 2018, tingkat elektabilitas kutub Jokowi hanya terbagi menjadi dua: ke Emil dan ke Dedi. Sementara, tingkat elektabilitass kutub Prabowo terbagi ke Deddy, Dede Yusuf, Ahmad Syaiku, Netty Heryawan, Aa Gym, Desi Ratnasari, dan Bima Arya.
Tetapi, jika elektabiitas masing-masing cagub digabung berdasarkan kutubnya, elektabilitas kutub pendukung Prabowo hanya kalah tipis dari elektabilitas kutub pendukung Jokowi.
Artinya, persaingan dalam Pilgub Jabar 2018 sangat ketat. Salah mengambil langkah dapat mengakibatkan kekalahan.
Dengan demikian, jika suara pendukung kutub Jokowi masih terpecah sementara suara kutub pendukung Prabowo tetap solid, maka peluang kutub Jokowi untuk memenangi Pilgub Jabar 2018 lebih kecil ketimbang pesaingnya.
Karena itulah demi melapangkan peluang kemenangan kutub Jokowi, maka Dedi yang memiliki elektabilitas lebih kecil dari Emil terpaksa harus disingkirkan. Tanpa Dedi, kini suara kutub pendukung Jokowi mengarah ke satu calon: Ridwan Kamil.
Rebut Deddy Mizwar, SBY Coba Gerus Pamor Prabowo
Di Jawa Barat, perolehan suara Jokowi dalam Pilpres 2014 kalah dibanding raihan suara Prabowo. Selain itu, rembetan ketegangan situasi selama masa Pilgub DKI Jakarta pastinya mempengaruhi emosi sebagian warga Jawa Barat.
Euforia kemenangan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang dijagokan kutub pendukung Prabowo atas pasangan Ahok-Djarot yang didukung penuh oleh kutub pendukung Jokowi juga menjalari pendukung Prabowo di Jabar.
Kemenangan pasangan Anies-Sandi dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 dan kemenangan pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 di Jabar membuat posisi Prabowo berada di atas angin.
Dan, Prabowo akan lebih mengangkasa lagi jika memenangi Pilgub Jabar 2018 yang digelar bebarengan dengan dimulainya tahun politik ini. Lewat Pilgub Jabar 2018 ini, elektabilitas Prabowo pun akan kembali menguat.
Menguatnya elektabilitas Prabowo merupakan ancaman bagi kutub pendukung Jokowi, termasuk kubu purnawirawan jenderal pro-Wiranto. terlebih, elektabilitas Jokowi pun masih berada di tingkat rawan.
Strategi meredam peluang kemenangan Prabowo dalam Pilpres 2019 pun digelar. Deddy Mizwar yang selama ini identik dengan Gerindra dan Prabowo pun kemudian diserobot.
Lagi-lagi SBY menunjukkan kecerdasan politiknya. Dengan diserobotnya Deddy, SBY mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, elektabilitas Deddy yang tinggi, terlebih jika menghitung elektabiitas kutub Prabowo, akan memberikan kemenangan kepada SBY dan Demokrat.
Kedua, dengan menggaet Deddy dan kemudian menggalang koalisi bersama PKS dan PAN, SBY mencoba merangkul kembali kelompok Islam pasca keputusan Demokrat yang menerima Perppu Ormas.
Ketiga, SBY mencoba menggerus pamor Prabowo yang mendominasi kutub lawan Jokowi. Dengan menggerus pamor Prabowo, maka SBY telah mengecilkan peluang kemenangan Prabowo dalam Pilpres 2019.
Strategi Ciamik SBY untuk Kembali Hadang Pencapresan Prabowo
Posisi SBY dengan Partai Demokrat yang dimotorinya sebenarnya sangat unik. Meski para pendukungnya mengarah pada kutub Prabowo, tetapi SBY dan partainya memilih untuk tetap netral.
Dalam pilihan politiknya, bahkan SBY memilih untuk tidak mengarahkan partainya mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Padahal, Hatta tidak lain dan tidak bukan merupakan besannya sendiri, mertua dari anak kandungnya sendiri, kakek kandung dari cucu kandungnya sendiri, dan ayah kandung dari menantunya sendiri.
Karenanya tidak mengherankan jika pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta 2017, SBY kembali membawa Demokrat mengambil posisi netral.
Dan, jika menelusuri rekam jejaknya, SBY bukan saja tidak pernah mendukung Prabowo, mantan Presiden RI Keenam itu bahkan merupakan salah seorang seteru abadi Prabowo.
Pada 1998, SBY merupakan salah seorang dari tujuh perwira tinggi ABRI yang menandatangani rekomendasi pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliterannya.
Pada 2009, dalam pidato yang dibacakannya beberapa jam setelah aksi teror di Rirtz-Marriott, SBY menyebut adanya drakula yang belum tersentuh hukum atas kejahatannya di masa lalu. Penyebutan kata “drakula” itu kemudian dianggap mengarah ke sosok Prabowo.
Kemudian, pada 2013, kader-kader muda Demokrat, Ketua Pusat Pengembangan Strategis dan Kebijakan DPP Ulil Abshar Abdalla, Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM Rachlan, Biro Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat M Husni Thamrin, dan Ketua Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum Didi Irawadi Syamsuddin.dibrtitakan berupaya menghadang pencapresan Prabowo (Sumber: KOMPAS.COM)
Diserobotnya Deddy pun kemungkinan tidak lepas dari upaya SBY untuk menggerogoti kekuatan Prabowo yang saat ini tengah berada di atas angin dalam menyongsong Pemilu 2019, khususnya Pilpres 2019.
Kemenangan Prabowo dalam Pilpres 2019 pastinya sangat tidak diharapkan oleh para purnawirawan jenderal Wiranto, di mana SBY menjadi salah seorang di antaranya.
Di Pilgub Jabar 2018, Prabowo hanya Follower
Sampai mendekati tiga bulan jelang waktu penutupan pendaftaran pasangan cagub-cawagub Jabar 2018, dukugan parpol sudah mengerucut ke dua nama: Emil dan Deddy.
Emil didukung oleh Nasdem, Golkar, PPP, dan PKB. Sebaliknya, Deddy bakal didiklarasikan oleh Demokrat, PKS, dan PAN.
Di sisi lain, meski memiliki 20 kursi DPRD Jabar atau memenuhi ambang batas minimal pengajuan pasangan jagoannya dalam Pilgub Jabar 2018, PDIP tidak memiliki kader atau calon yang layak diterjunkan.
Kalau pun PDIP nekad maju dengan siapa pun calonnya, dipastikan hanya akan menemui kekalahannya. Bukan hanya itu, majunya PDIP dengan jagoannya sama saja dengan membelah suara kutub pendukung Jokowi. Karenanya PDIP dipastikan akan mendukung Emil. Terlebih Emil sejak 2012 sudah memiliki kedekatan dengan PDIP.
Sementara, selain jumlah kursi yang dimilikinya tidak memenuhi ambang batas minimal pencalonan, Gerindra pun tidak memiliki calon lain selain Deddy yang sudah diserobot oleh Demokrat.
Dengan maju sebagai kader Demokrat dan disebut-sebut sebagai pendirinya, Deddy lebih identik dengan SBY. Kemenangan Deddy adalah kemenangan SBY. Sama seperti kemenangan Anies-Sandi yang lebih identik dengan kemenangan Prabowo dan Gerindra ketimbang PKS.
Sebaliknya, kekalahan Deddy yang berarti kemenangan kutub Jokowi pastinya tidak dikehendaki oleh Prabowo. Kemenangan Emil di tahun politik pastinya berpengaruh negatif pada pencapresan Prabowo.
Dalam posisi yang tidak menguntungkan ini, Prabowo tidak mungkin mendukung Emil yang sama artinya dengan melawan pendukungnya sendiri. Dengan demikian Prabowo akan mengarahkan dukungannya kepada Deddy atau bergabung bersama sekutu politiknya: Demokrat, PKS, dan PAN.
Mendukung Deddy memang membuat posisi Prabowo hanya sebagai follower dari SBY. Tetapi, menjadi pengikut SBY jauh lebih baik ketimbang mengekor Jokowi atau memilih netral yang membuat Prabowo hanya menjadi penonton di tengah gemebyar Pilgub Jabar 2018.
Persoalannya bagi Prabowo, pekerjaannya untuk memenangi Pilpres 2019 semakin berat karena ia terlebih dulu harus mempertahankan “tongkat komando” yang tengah dicoba drebut oleh SBY.
Dan, perebutan “tongkat komando” antara Prabowo dengan SBY ini tidak kalah menarik dari pertarungan Emil Vs Deddy. Jika Deddy menang dalam Pilgub Jabar 2018, siapa yang mengangkat tangan Deddy itulah yang memenangi perebutan “tongkat komando”.