G30S 1965: Kudeta yang Tak Pernah Usai
Tanggal: 17 Mei 2025 15:02 wib.
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 merupakan salah satu momen paling dramatis dalam sejarah Indonesia. Kudeta ini secara resmi dikenal sebagai upaya pengambilalihan kekuasaan oleh sekelompok militer yang berasosiasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun telah berlalu puluhan tahun, dampak dari peristiwa ini masih terasa hingga saat ini.
Pada malam 30 September 1965, enam jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh pasukan yang mengklaim bahwa mereka sedang berupaya menyelamatkan negara dari ancaman kudeta. Mereka menganggap bahwa situasi politik saat itu sangat tidak stabil dan bahwa PKI berada di balik pengaruh yang sangat besar terhadap pemerintahan. Kudeta ini berlangsung singkat, namun konsekuensi yang muncul dari peristiwa tersebut sangat luas dan menyakitkan bagi bangsa ini.
Pemerintah Soekarno, yang pada saat itu merupakan Presiden RI, mengalami guncangan hebat setelah peristiwa G30S. Dalam waktu singkat, angkatan bersenjata Indonesia, terutama Angkatan Darat, bergerak untuk memulihkan ketertiban dan mengamankan kekuasaan. Jenderal Suharto, yang saat itu merupakan seorang jenderal muda, mengambil peran penting dalam menanggapi situasi ini. Suharto mulai memimpin operasi yang ditujukan untuk mengatasi dan menumpas kekuatan PKI yang diindikasikan terlibat dalam kudeta tersebut.
Setelah G30S, terjadi pemburuan masif terhadap para anggota maupun simpatisan PKI. Diperkirakan, ratusan ribu orang tewas dalam kampanye anti-komunis ini yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Banyak di antara mereka yang ditangkap, disiksa, atau bahkan dibunuh tanpa proses pengadilan yang jelas. Pembantaian ini tidak hanya menyasar para anggota PKI, tetapi juga masyarakat sipil yang dianggap memiliki hubungan atau dukungan, meski minim, terhadap ideologi komunis.
Dalam konteks sejarah, G30S dan tindak lanjutnya menciptakan perubahan besar dalam struktur pemerintahan Indonesia. Suharto, yang pada akhirnya mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, kemudian mengumumkan pelbagai kebijakan yang menekankan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Era Orde Baru yang dimulai Suharto memiliki citra sebagai rezim yang anti-komunis, dengan pengawasan ketat terhadap segala bentuk aktivitas politik yang dianggap terlibat dengan komunisme.
Peristiwa G30S dan penumpasan PKI sering kali menjadi topik yang sensitif di Indonesia, terutama dalam konteks pendidikan sejarah. Masih banyak kontroversi dan perdebatan mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada malam 30 September, serta pengaruh yang ditimbulkan terhadap masyarakat Indonesia. Penyangkalan, pengakuan, serta minimnya pengarsipan dokumen yang akurat sering kali mengaburkan kebenaran sejarah peristiwa ini.
Kudeta G30S telah meninggalkan jejak yang tidak terhapus dalam memori kolektif bangsa Indonesia. Generasi saat ini dan yang akan datang masih berusaha memahami kompleksitas dari peristiwa ini, termasuk bagaimana ideologi, politik, dan kekerasan saling terkait dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Meskipun peristiwa tersebut terjadi lebih dari setengah abad yang lalu, dampaknya masih relevan dan terus menjadi bahan refleksi bagi masyarakat serta kalangan akademis.
Sejarah G30S bukan hanya cerita tentang kudeta yang berlangsung singkat; ia adalah bagian dari narasi yang lebih besar tentang transformasi sosial dan politik di Indonesia, tentang bagaimana sebuah negara berjuang menemukan identitas dan arah di tengah ketegangan ideologis yang berkepanjangan. Ketidakpastian dan trauma yang menyertai peristiwa ini masih membekas, menempatkan G30S sebagai suatu kudeta yang tak pernah usai dalam ingatan kolektif rakyat Indonesia.