Sumber foto: Google

DPR Gesit Sahkan Revisi UU TNI: Demokrasi dalam Ujian?

Tanggal: 22 Mar 2025 14:34 wib.
Tampang.com | Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berlangsung dengan sangat cepat, hampir tanpa perdebatan publik yang mendalam. Dalam hitungan minggu, aturan yang memungkinkan perwira aktif TNI menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun lebih dulu telah resmi disahkan.

Cepatnya proses legislasi ini bukan hanya soal efisiensi kerja parlemen, tetapi juga mencerminkan ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Apakah revisi ini benar-benar berdasarkan kebutuhan negara yang mendesak, atau ada kepentingan tertentu yang sedang diakomodasi?

Kembali ke Dwifungsi Militer?

Reformasi 1998 membawa pesan kuat: supremasi sipil harus dijaga, dan militer tidak boleh lagi memiliki peran ganda dalam politik dan pemerintahan. Namun, revisi UU TNI ini justru membuka kembali ruang bagi militer untuk memasuki ranah sipil.

Kini, perwira aktif TNI dapat menempati posisi strategis di lembaga-lembaga sipil, termasuk kementerian dan institusi hukum. Langkah ini bertentangan dengan semangat reformasi yang selama dua dekade terakhir berusaha menata ulang hubungan sipil-militer secara lebih proporsional. Jika batas antara militer dan sipil kabur, maka kita bisa melihat kembalinya konsep "dwifungsi" militer dalam bentuk baru.

DPR: Wakil Rakyat atau Mesin Stempel?

Cepatnya pengesahan revisi UU TNI juga memunculkan pertanyaan: apakah DPR masih berfungsi sebagai lembaga yang mewakili rakyat, atau hanya sekadar "mesin stempel" kepentingan tertentu?

Seharusnya, parlemen menjadi arena perdebatan publik, tempat rakyat diwakili dan kepentingan nasional didiskusikan secara matang. Namun, dalam kasus ini, DPR tampaknya lebih memilih untuk langsung mengesahkan revisi tanpa proses panjang yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, maupun organisasi pro-demokrasi. Minimnya transparansi dalam penyusunan undang-undang ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi.

Risiko bagi Demokrasi

Di negara-negara demokratis, perubahan besar yang berkaitan dengan peran militer dalam pemerintahan selalu melewati kajian akademik yang mendalam, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan diuji dalam ruang publik secara terbuka. Namun, pola legislasi di Indonesia kini menunjukkan kecenderungan mengkhawatirkan: politik akomodasi kepentingan lebih dominan dibandingkan perdebatan substansial.

Jika pengangkatan perwira aktif ke posisi sipil hanya bersifat sementara dan dalam konteks tertentu, dampaknya mungkin tidak terlalu besar. Namun, jika ini menjadi pola baru, supremasi sipil dalam pemerintahan bisa semakin lemah. Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil sering kali berujung pada melemahnya institusi demokrasi, berkurangnya transparansi, dan meningkatnya kontrol politik yang lebih represif.

Evaluasi dan Perlawanan Sipil

DPR masih memiliki kesempatan untuk mengevaluasi kembali revisi UU ini. Jika ada pihak yang merasa revisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi, judicial review bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, masyarakat sipil juga harus lebih aktif mengawal kebijakan ini agar tidak menjadi kemunduran bagi reformasi. Legislasi yang terburu-buru berisiko melahirkan kebijakan yang tidak matang dan berpotensi merugikan demokrasi jangka panjang.

DPR mungkin berbangga dengan kecepatan mereka dalam mengesahkan revisi ini. Namun, apakah demokrasi kita juga bisa berbangga dengan hasil akhirnya? Jawabannya hanya akan terlihat dalam perjalanan waktu.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved