Ditolaknya Gatot Nurmantyo oleh Amerika Bukan Lantaran Dokumen "PKI" dan Ormas Radikal
Tanggal: 24 Okt 2017 19:50 wib.
Sore, 22 Oktober 2017, media ramai menyoroti ditolaknya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memasuki wilayah Amerika Serikat oleh US Custom and Border Protection.
Gatot beserta rombongan berencana memenuhi undangan Panglima Angkatan Bersenjata AS. Jenderal Joseph F. Dunford untuk menghadiri Chiefs of Defense Conference on Countering Violent Extremist Organization yang digelar pada 23-24 Oktober di Washington DC.
Karuan saja, peristiwa yang terbilang langka ini memunculkan sejumlah spekulasi, termasuk spekulasi yang digelontorkan oleh warganet.
Jika dicermati, ada 3 spekulasi yang paling mendominasi linimasa. Pertama, pandangan tentang keterkaitan Gatot Nurmantyo dengan sejumlah ormas yang dinilai radikal. Kedua, penolakan tersebut terkait dengan dirilisnya sejumlah dokumen tentang peristwa pasca-30 September 1965. Dan, ketiga, penangkalan ini dikaitkan dengan Pilpres 2019.
Spekulasi tersebut kemudian berkembang menjadi tudiuhan-tuduhan Gatot, terutama yang menyangkut kelompok Islam radikal. Bersamaan dengan itu, tudingan yang menyebut Gatot sebagai tokoh yang berada di balik aksi-aksi ormas radikal pun semakin menguat.
Sejak awal beredarnya pemberitaan mengenai dicegahnya Gatot Nurmantyo ke AS sudah terbilang teramat sangat ganjil. Bagaimana tidak ganjil kalau penangkalan yang dlakukan terhadap Gatot begitu dramatis.
Pada Sabtu 21 Oktober, Gatot beserta delegasinya siap berangkat dengan menggunakan maskapai Emirates. Tetapi, beberapa saat sebelum keberangkatan, datang pemberitahuan dari maskapai bahwa Panglima TNI beserta delegasi tidak boleh memasuki wilayah AS.
Hajatan besar yang digear oleh Angkatan Bersenjata AS itu pastinya sudah dimatangkan jauh hari sebelum hari pelaksanaan. Demikian juga dengan para undangan yang pastnya sudah melewati sekian tahap proses penyaringan.
Kemudian, undangan kepada TNI pun pastinya sudah dikirim beberapa hari sebelum 23 Oktober 2017. Karenanya sangat aneh jika pemberitahuan otoritas AS disampaikan kepada Gatot hanya beberapa saat sebelum pesawat take-off.
Memang benar, ada beberapa pemimpin militer Indonesia yang dicegah datang ke AS atas tuduhan pelanggaran HAM. Karena itu, para petinggi militer tersebut tidak diberi visa oeh AS.
Tetapi, sesuai informasi yang dipublikasikan media, Jenderal Gatot mendapatkan visa untuk mengunjungi wiayah AS. Dengan demikian, oleh otoritas AS, Gatot dinyatakan bersih dari tuduhan sebagai pelanggar HAM.
Kalau Gatot masih berhak mendapatkan visa dari AS, artinya jabatan Gatot sebagai Panglima TNI tidak bisa dikaitkan dengan dipublikasikannya 39 dokumen oleh Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive) di George Washington University. Dalam ketiga puuh dokumen tersebut diinformasikan jika Angkatan Bersenjata Repubik Indonesia (ABRI) disebut sebagai pelakunya.
Jika menyimak dokumen yang diunggah oleh nsarchive.gwu.edu, dokumen-dokumen terkait pembunuhan massal tersebut merupakan catatan-catatan para diplomat AS yang bertugas di Indonesia.
“Terdapat berbagai jenis dokumen dalam arsip Kedutaan Besar AS di Jakarta, mulai dari operasi sehari-hari Kedubes sampai pengamatan-pengamatan tentang politik, ekonomi, kebijakan asing dan urusan militer Indonesia, serta konflik antara AS dan Sukarno, antara AD dan PKI; Gerakan 30 September dan pembunuhan massal sesudahnya, dan konsolidasi rejim Suharto,” tulis nsarchive.gwu.edu.
Dari keteragan tersebut dapat disimpulkan jika sebagian dari dokumen yang dirilis oleh National Security Archive bekerja sama dengan National Declassification Center (NDC) tidak ada bedanya dengan dokumen yang dibocorkan oleh situs Wikileaks. Jadi, “levelnya” masih unconfirmed rumour.
Dengan levelnya ini, obrolan di warung kopi pun akan didokumentaskan. Obrolan di warkop itu dicatat oleh diplomat AS untuk kemudian diinformasikan ke Kedubes AS di Jakarta. Kemudian obrolan warkop itu dilaporan ke negaranya.
Kalau begitu, apa mungkin menangkalan terhadap Pangima TNI dengan hanya bermodalkan informasi yang sebagiannya berkelas unconfirmed rumour?
Dan, kalau pun ABRI dinyatakan bersalah sebagai pelaku pembantaian massal, seharusnya para pemimpin militer pada masa 1965-1966 dilarang masuk ke AS, meski pun dokumen rahasia miik NSA ini belum dirilis.
Bahkan, kunjungan tokoh sentral dalam operasi penumpasan PKI, Jenderal HM Soeharto, pada 1982 mendapat sambutan hangat dari Presiden Ronald Reigen.
Jadi, peristiwa pembantaian massa yang terjad pada 1965-1966 tidak menjadi alasan bagi otoritas AS untuk menolak petinggi militer Indonesia untuk masuk ke wilayahnya. Gampangnya, kalau Soeharto saja boleh masuk, apalagi Gatot.
Kemudian, apakah penolakan tersebut ada terkait rumor soal hubungan Gatot Nurmantyo dengan ormas Islam radikal?
Spekulasi ini paling mudah membantahnya. Sebab, kedekatan (kalau memang mau dianggap sebagai kedekatan) setidaknya sudah terjalin sejak 4 November 2016. Padahal, menurut Kapuspen TNI Mayjen TNI Wuryanto, dalam kapasitasnya sebagai, Pengima TNI, Gatot Nurmantyo, masih bisa mengunjungi AS pada Februari 2017.
Lagi pula, kedekatan hubungan Gatot dengan ormas Islam radikal hanyalah opini yang dinarasikan oleh pihak-pihak tertentu. Padahal, dalam berbagai kesempatan, Gatot kerap kali melontarkan kecaman terhadap ulama-ulama yang kerap melontarkan ujaran “keras”.
Di sisi lain, dengan safarinya ke sejumlah ulama dan pesantren, Gatot menunjukkan kedekatannya dengan ormas-ormas yang dianggap moderat.
Begitu pula dengan spekuasi yang menyebut penolakan tersebut terkait dengan dukungan AS kepada Gatot pada Pipres 2019. Katanya, dengan penolakan tersebut AS tengah membangun persepsi jika Gatot adalah musuh Amerika. Dengan begitu, Gatot akan mendapat dukungan dari kelompok-kelompok anti-Amerika.
Dalam sejumlah rilis survei, nama Gatot Nurmantyo telah masuk bursa capres/cawapres untuk Pilpres 2019. Meski demikian tingkat popularitas dan elektablitas Gatot masih jauh di bawah Jokowi dan Prabowo.
Gatot baru layak dijagokan jika tren popularitas dan elektablitasnya mengalami kenaikan. Untuk itu baru bisa diamati setelah Gatot memasuki masa pensiun pada Maret 2018 nanti.
Tetapi, spekulasi yang terkait Pilpres 2019 ini menjadi masuk akal jika dikaitkan dengan unsur dramatisasi penolakan atas kunjungan Gatot yang bersifat mendadak.
Lewat dramatisasi ini, AS ingin menjajagi reaksi masyarakat Indonesia atas penangkalan terhadap Gatot. Dari stulah dapat dilihat besaran sentimen positif dan negatif terhadap Gatot. Jika sentimen positif lebih besar dari sentimen negatif, maka elektabilitas Gatot pun akan melesat.
Sebaiknya, meski popularitas Gatot terdongrak dengan peristiwa ini, jika sentimen negatif lebuh besar dari sentimen positif, maka elektabitas Gatot pun tidak akan meningkat.
Di era komunikasi digital ini, mengukur sentimen masyarakat tidak begitu sulit. Cukup dengan memasang aplikasi khusus, segala bentuk unggahan dapat dipantau dan dianalisa.
Pada masa Pemilu 2014, PiliticaWave memantau sentimen media, terhadap sejumlah capres. Saat itu Kompasiana menjadi satu-satunya “media keroyokan” yang dipantau.
Dari pengamatan sepintas, penangkalan terhadap Gatot oleh AS tidak membuahkan persepsi jika Gatot merupakan musuh AS. Kelompok yang diperkirakan akan memakan persepsi ini malah memilih sibuk dengan isu reklamasi Teluk Jakarta, polemik “pribumi”, dan membantah serangan terhadap Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Lagi pula, dalam kondisi terpolarisasi seperti sekarang ini, “merek dagang” sudah tidak diperlukan lagi.
Bagi AS, juga negara-negara lainnya, mengukur kekuatan elekabilitas setiap kandidat capres sangat diperlukan. Dari hasil pengukuran tersebut, bisa diputuskan tindakan-tindakan lanjutannya.
Sementara, dari faktor timing-nya, pengukuran lewat dramatisasi ini sangat tepat mengingat dalam seminggu sebelumnya bangsa Indonesia terseret dalam polemik “pribumi” yang didramatisasi oleh kelompok yang sebarisan dengan Jokowi.
Kalau pun dramatisasi “undangan” ini benar, belum tentu juga AS mendukung pencapresan Gatot. Karena bisa juga sebaliknya, AS tidak mendukung Gatot.
Tetapi, apa pun itu, karena tidak diladasi oleh informasi yang memadai, semua spekulasi terkait ditolaknya Gatot oleh AS sangat dangkal dan begitu mudah dipatahkan.
Sama seperti spekulasi, alasan apa pun yang menyangkut dtolaknya Gatot Nurmantyo tidak akan dapat dterima oleh akal sehat. Tidak heran jika lewat situs id.usembassy.gov, Kedubes AS untuk Indonesia tidak menyampaikan alasannya.