Dinilai Langgar Pemenuhan 30 Persen Keterwakilan Perempuan, KMPKP Adukan KPU
Tanggal: 23 Jun 2024 09:04 wib.
Sejumlah organisasi dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) pada Jumat (21/6) melaporkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dan seluruh anggota KPU, yaitu Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Mochammad Afifudin, Betty Epsilon Indroos, Idhal Holik dan August Mellaz ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jumat (21/6) karena dianggap tidak memenuhi batas minimal keterwakilan perempuan.
Kuasa hukum KMPKP yang juga peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal menyatakan ketua dan seluruh anggota KPU periode 2022-2027 seharusnya mengakomodasi paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada daftar bakal calon legislatif di Pemilu DPR dan DPRD untuk 2024.
Menurut Kuasa hukum KMPKP, ketentuan ini merupakan perintah eksplisit dari Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Namun, pihak KPU dianggap telah melanggar perintah hukum tersebut dengan menggunakan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 sebagai acuan pemenuhan keterwakilan 30 persen dalam Pemilu 2024.
Haykal menambahkan bahwa pengabaian hukum tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan melanggar perintah hukum Putusan Mahkamah Agung (MA) dan putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyatakan bahwa tindakan KPU yang tidak menindaklanjuti secara sah dan menyakinkan merupakan suatu pelanggaran administratif Pemilu.
Perludem juga telah bergabung dalam koalisi dengan lembaga swadaya masyarakat lainnya seperti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), INFID, Netgrid, ICW dan Institute Perempuan. Mereka juga mendesak Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap bagi Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan dua anggota KPU Idham Holik dan Mochammad Afifuddin. Di samping itu, lembaga tersebut juga mengkritisi KPU karena menggunakan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 seharusnya tidak dilakukan pembulatan ke bawah, yang menyebutkan pembulatan terhadap jumlah calon legislatif perempuan seharusnya dilakukan ke atas.
Menurut perhitungan dari KMPKP, diperkirakan jumlah caleg perempuan yang berkurang mencapai 267 orang di DPR akibat tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Jika ditotal dengan caleg DPRD provinsi dan kabupaten/kota, jumlahnya bisa lebih dari 8 ribu perempuan yang kehilangan haknya menjadi calon anggota legislatif. Hal ini akan berdampak pada perwakilan perempuan yang semestinya diwakili dalam lembaga legislatif.
Pengajar hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, juga memberikan pendapatnya terkait masalah ini. Menurut beliau, KPU wajib melaksanakan putusan pengadilan karena harus bekerja sesuai dengan kerangka hukum pemilu, termasuk menjalankan putusan pengadilan, baik Putusan MK, Putusan MA, ataupun putusan pengadilan lainnya yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pengabaian atas putusan pengadilan, menurut Titi, bisa mengakibatkan ketidakpastian hukum dan timbulnya gugatan hukum atas ketidakpuasan atas sikap KPU yang mengabaikan putusan pengadilan tersebut. Jika KPU terus membangkangi putusan pengadilan, dampaknya harus dibayar mahal oleh negara seperti pembatalan hasil pemilu dan memerintahkan pemungutan suara ulang di dapil 6 Pemilu DPRD Provinsi Gorontalo yang telah terjadi.
Namun, KPU juga perlu diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi terkait permasalahan ini. Kemungkinan adanya kekurangan informasi atau permasalahan teknis dalam pelaksanaan aturan tersebut juga perlu dikaji lebih dalam. Diharapkan lembaga terkait dapat menemukan solusi yang adil dan tepat agar pemenuhan keterwakilan perempuan dalam pemilihan umum di masa depan dapat terjamin dengan baik. Hal ini akan membantu agar sistem demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan lebih baik dan terwujudnya representasi yang adil bagi semua pihak.