Dinasti Politik Mewabah di Daerah, Demokrasi Lokal Tergerus?
Tanggal: 13 Mei 2025 21:42 wib.
Tampang.com | Jelang Pilkada 2024, fenomena lama kembali muncul dengan wajah baru: dinasti politik. Dari anak gubernur hingga keponakan bupati, banyak kandidat kepala daerah yang merupakan bagian dari keluarga penguasa. Masyarakat mulai bertanya: apakah demokrasi di daerah hanya jadi panggung elite keluarga?
Oligarki Lokal Berkedok Demokrasi?
Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga pemantau pemilu mencatat bahwa lebih dari 25% kepala daerah memiliki hubungan darah dengan pejabat publik sebelumnya. Politik kekeluargaan ini kerap dibungkus narasi “melanjutkan visi-misi orang tua” atau “memiliki pengalaman sejak dini di pemerintahan”.
“Ini bukan soal kualitas pribadi, tapi soal struktur kekuasaan yang makin eksklusif. Masyarakat tak lagi punya banyak pilihan,” jelas Alfiandra, peneliti dari Pusat Kajian Politik UI.
Akses Politik Rakyat Biasa Kian Sulit
Tak bisa dimungkiri, modal politik dan akses kekuasaan menjadi pembeda besar. Kandidat dari keluarga pejabat punya jejaring, dana, dan popularitas yang jauh di atas rata-rata. Sementara kandidat dari kalangan akar rumput kerap terganjal birokrasi dan kekurangan dukungan.
“Demokrasi kehilangan semangat dasarnya: memberi ruang bagi semua orang untuk bersuara dan berkompetisi secara adil,” tambah Alfiandra.
Netralitas Aparat dan Media Daerah Juga Dipertanyakan
Ketika kandidat berasal dari keluarga penguasa, kekhawatiran muncul soal netralitas aparat, termasuk ASN, dan media lokal. Tak jarang media enggan mengkritik atau mengungkap dugaan pelanggaran karena relasi kekuasaan yang rumit.
“Situasi ini menumbuhkan ketakutan dan apatisme. Warga enggan berpartisipasi karena merasa semua sudah diatur,” kata Alfiandra.
Solusi: Reformasi Pilkada dan Peningkatan Partisipasi Politik Rakyat
Pengawasan publik, transparansi dana kampanye, dan pendidikan politik harus diperkuat. Tanpa itu, Pilkada hanya akan jadi panggung dinasti, bukan kontestasi demokratis. KPU dan Bawaslu perlu tegas menindak pelanggaran, serta menjamin ruang yang adil bagi semua calon.
“Kalau dibiarkan, dinasti politik akan mewariskan bukan cuma jabatan, tapi ketimpangan dan ketidakadilan,” tutup Alfiandra.