Dinasti Politik, Keluarga Rajapaksa Ingin Kembali Berkuasa di Sri Lanka
Tanggal: 19 Sep 2024 17:16 wib.
Puluhan anak muda tampak riang gembira berenang dan bermain air di kolam renang Istana Kepresidenan Sri Lanka di Colombo. Beberapa di antara mereka bahkan menggosok badan menggunakan sabun disertai sorak-sorai.
Pemandangan ini disiarkan ke seluruh dunia pada 13 Juli 2022, beberapa jam setelah massa menyerbu istana kepresidenan sehingga memaksa pemimpin saat itu, Gotabaya Rajapaksa, mengungsi ke luar negeri.
Peristiwa itu adalah momen kemenangan bagi mereka dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Selama berbulan-bulan, Gotabaya menolak seruan lengser meskipun kakak laki-lakinya, Mahinda Rajapaksa, telah berhenti sebagai perdana menteri guna meredakan kemarahan publik. Rangkaian aksi protes massa yang disebut aragalaya atau perjuangan dalam bahasa Sinhala mencapai puncaknya pada Juli 2022.
Kekuasaan dinasti politik Rajapaksa Selama bertahun-tahun, keluarga Rajapaksa yang dipimpin oleh Mahinda—mengendalikan politik Sri Lanka. Pada masa jabatan pertamanya, Mahinda Rajapaksa tampil sebagai pemimpin Sri Lanka pada akhir perang saudara melawan pemberontak Macan Tamil.
Kemenangan tersebut membantunya meraih predikat “penyelamat” nasional di antara mayoritas etnis Sinhala. Mahinda bahkan disetarakan dengan seorang kaisar.
Ketika Mahinda semakin berkuasa, begitu pula dengan keluarganya. Dia menunjuk adik laki-lakinya, Gotabaya, sebagai menteri pertahanan posisi yang digunakan dengan kejam, kata para kritikus. Dua saudara lainnya Basil dan Chamal naik jabatan menjadi menteri keuangan dan ketua parlemen.
Keluarga ini memiliki basis pendukung nasionalis yang mayoritas adalah etnis Sinhala. Sehingga selama bertahun-tahun mereka selamat dari tuduhan korupsi, kesalahan ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, dan penindasan terhadap kebebasan berpendapat.
Hal ini berubah pada tahun 2022, ketika sejumlah kebijakan memicu krisis ekonomi terburuk yang pernah terjadi di negara ini. Selang 17 tahun setelah Mahinda pertama kali menjadi presiden, rakyat Sri Lanka merayakan kejatuhan keluarga Rajapaksa. Mereka yakin bahwa keluarga tersebut telah tamat. Tetapi apakah itu benar?
Dua tahun setelah Mahinda lengser dan mengungsi, putra Mahinda Rajapaksa, Namal, mendaftarkan diri dalam pemilihan presiden yang akan diselenggarakan pada 21 September mendatang.
“Kenyataan bahwa orang-orang yang diusir setelah aragalaya [protes massa] ikut serta dalam pemilu sudah cukup buruk,” kata Lakshan Sandaruwan.
Namal bukanlah satu-satunya keluarga Rajapaksa yang kembali ke panggung politik.
Gotabaya Rajapaksa pria yang diusir para demonstran ke luar negeri tidak tinggal lama dalam pengasingannya. Dia kembali hanya 50 hari setelah kepergiannya yang “memalukan”. Pertama ke Singapura dan kemudian ke Thailand. Sekembalinya ke Sri Lanka, dia diberi hak istimewa sebagai mantan presiden: sebuah bungalow mewah dan keamanan, yang semuanya dibiayai uang negara.
Ranil Wickremesinghe adalah politikus oposisi yang ditunjuk sebagai presiden selama dua tahun sisa masa jabatan Rajapaksa. Partai Sri Lanka Podu Jana Peramuna (SLPP) yang dipimpin keluarga Rajapaksa memiliki kursi mayoritas atau dua pertiga di parlemen memberikan dukungan kepada Wickremesinghe.
Selama menjadi presiden, Wickremesinghe berfokus pada pembangunan ekonomi Sri Lanka. Namun, ia dituduh melindungi keluarga Rajapaksa karena mengizinkan mereka untuk berkumpul kembali. Dia juga dituding melindungi keluarga Rajapaksa dari gugatan hukum sebuah tuduhan yang ia bantah.
Beberapa jam setelah Wickremesinghe menjadi presiden, militer dikerahkan untuk membubarkan kerumunan massa di Galle Face, Kota Kolombo, yang menjadi pusat protes. Puluhan tentara menyerbu lokasi tersebut guna membongkar tenda-tenda dan barang-barang milik para demonstran.
“Ranil melindungi keluarga Rajapaksa dari kemarahan rakyat. Dia memastikan kelangsungan parlemen, kabinet, dan pemerintah yang dipimpin oleh SLPP. Dia tidak melakukan apa pun untuk menghentikan korupsi, dan bahkan menekan kemajuan penyelidikan terhadap anggota keluarga Rajapaksa,” kata analis politik, Jayadeva Uyangoda.
“Dia juga melindungi mereka dari tekanan internasional yang meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dan tuduhan-tuduhan yang berkaitan dengan perang," imbuhnya.
Hal ini telah membuat marah banyak orang Sri Lanka yang hidup dalam krisis keuangan dan mengalami lebih banyak kesulitan. Apalagi reformasi untuk menghidupkan kembali ekonomi yang stagnan tidak berjalan sesuai harapan banyak orang. Meskipun tidak ada kelangkaan BBM atau pemadaman listrik, tapi harga-harga telah meroket. Pemerintah juga telah menghapus subsidi untuk kebutuhan pokok seperti listrik serta memotong pengeluaran bantuan sosial.
Sementara itu, pajak telah meningkat karena Wickremesinghe telah meningkatkan tarif pajak secara tajam. Beberapa ekonom mengatakan bahwa langkah-langkah yang menyakitkan ini diperlukan untuk memulihkan stabilitas makro-ekonomi Sri Lanka karena negara ini sedang berusaha merestrukturisasi utang internasionalnya sembari tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan dana talangan yang disetujui Dana Moneter Internasional (IMF).
Cadangan devisa negara ini telah meningkat menjadi sekitar US$6 miliar (Rp91,6 triliun) dari hanya US$20 juta (Rp305 miliar) pada puncak krisis, dan inflasi sekitar 0,5%. Namun, dampak nyata yang dirasakan oleh jutaan masyarakat Sri Lanka sangatlah buruk.
Ini adalah pemikiran yang ingin diubah oleh Namal Rajapaksa ia ingin memenangkan kembali basis pendukungnya. Kampanyenya berpusat pada warisan ayahnya, Mahinda, yang masih dianggap sebagai pahlawan oleh sebagian rakyat Sri Lanka.
Padahal, di luar negeri ada beberapa seruan internasional untuk mengadili Mahinda atas kejahatan perang. PBB memperkirakan bahwa 100.000 orang termasuk 40.000 warga sipil Tamil dibunuh oleh militer Sri Lanka pada tahap akhir konflik. Namun, Mahinda Rajapaksa tidak pernah dihukum atas kesalahan apapun dan menolak tuduhan tersebut.
Gambar Mahinda menghiasi demonstrasi kampanye Namal dan unggahan media sosialnya menampilkan ilustrasi yang menunjukkan dia bersama ayahnya ketika dia masih muda. Ia bahkan berusaha mencari kemiripan dengan ayahnya, menumbuhkan kumis dan mengenakan selendang merah khas Mahinda.
Banyak dari unggahan kampanyenya yang bernada menantang: “Kami tidak takut akan tantangan; bahkan, kami menyambutnya. Itu adalah sesuatu yang saya pelajari dari ayah saya.”
Unggahan lain menyebutnya sebagai “patriotik, berani dan berpikiran maju”.
“Menurut saya, Namal Rajapaksa berpikir bahwa dengan mewakili warisan ayahnya akan memungkinkan dia melindungi basis suara ayahnya dan mendapatkan keuntungan darinya,” kata Prof Uyangoda.
“Ini adalah salah satu cara untuk membangun kembali basis pemilih SLPP yang hancur.”
Namun, banyak pemilih yang tampaknya tidak percaya dan jajak pendapat menunjukkan bahwa Namal bukanlah pesaing serius untuk posisi teratas.
Satu komentar pada sebuah unggahan kampanye di akun Instagram Namal cukup pedas: “Pewaris terakhir dari keluarga Rajapaksa yang mencoba peruntungan di kursi kepresidenan? Bisnis keluarga yang cukup besar, bukan?”
Reaksi di lapangan lebih pedas.
“Saya tidak akan pernah memilih Namal Rajapaksa. Tahun-tahun sulit yang telah kami jalani adalah kutukan bagi keluarga itu,” kata HM Sepalika, seorang penduduk desa yang telah dimukimkan kembali di Vavuniya di bagian utara, kepada BBC Sinhala.
“Orang-orang di negara ini berkumpul dan melakukan perjuangan ini karena mereka tidak menginginkan (keluarga) Rajapaksa. Tetapi mereka masih memiliki begitu banyak keserakahan dan nafsu untuk berkuasa sehingga mereka mencoba untuk kembali dan meminta orang-orang untuk memilih mereka,” kata Nishanthi Harapitiya, seorang pelayan toko di Hambantota.
Yang lain mengatakan mereka tidak bisa menganggap serius Namal.
“Mengapa dia harus meminta suara kita? Dia adalah seorang anak kecil yang tidak memiliki pengalaman. Siapa yang akan memilihnya? Kecuali jika seseorang memilihnya karena kasihan pada ayahnya, dia tidak dapat terpilih sebagai presiden,” kata Mohammed Aladeen, seorang pedagang dari Kattankudy di bagian timur Sri Lanka.
Perhatian saat ini sebagian besar terfokus pada tiga kandidat: pemimpin oposisi Sajith Premadasa dari aliansi Partai Rakyat Nasional yang beraliran kiri; Anura Kumara Dissanayake; dan Wickremesinghe, yang mencalonkan diri sebagai kandidat independen.
Namun, Namal Rajapaksa mungkin akan bermain politik untuk jangka panjang. Pemilihan umum baru-baru ini telah menunjukkan bahwa keluarga atau sekutu dari orang kuat yang sempat tidak populer dapat membangkitkan kembali dinasti politik—seperti Bongbong Marcos di Filipina atau bahkan Prabowo Subianto di Indonesia.
“Dia ingin tetap relevan secara politik, melindungi basis pemilih SLPP, dan aktif secara politik hingga tahun 2029,” kata Prof Uyangoda.
Lakshan Sandaruwan, mahasiswa yang ikut serta dalam demonstrasi tersebut, setuju.
“Namal mengikuti jajak pendapat untuk mempersiapkan amunisi yang diperlukan untuk tahun 2029, bukan untuk menjadi presiden saat ini,” katanya.
“Tetapi jika rakyat tidak bertindak cerdas, rakyat sendiri yang akan menciptakan presiden Rajapaksa lagi.”