Di Mana Kesalahan Jenderal Gatot Nurmantyo Saat Tampil di Rosi?
Tanggal: 8 Mei 2017 15:45 wib.
Bisa dibilang, sejak awal November 2016, Jenderal Gatot Nurmantyo tidak pernah lepas dari kontroversi. Berkali-kali nama Panglima TNI itu menjadi judul headline berbagai media. Kali ini, Gatot kembali menuai polemik setelah tampil talk show Rosi yang ditayangkan Kompas TV pada Kamis 4 Mei 2016.
Pada program yang membincangkan artikel “Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President” yang ditulis Allan Nairn tersebut, Gatot mengatakan upaya makar tidak akan mungkin dilakukan kelompok Islam untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Ditambahkan lagi oleh jenderal kelahiran Tegal ini, kabar soal upaya makar dalam aksi unjuk rasa bela agama itu adalah berita bohong atau hoaks untuk menakuti rakyat Indonesia.
Pernyataan Gatot inilah yang kemudian menuai kontroversi. Banyak pihak yang menganggap pernyataan mantan KSAD bertentangan dengan fakta. Bahkan, lebih dari itu, pernyataan Gatot dipandang bertentangan dengan sikap Polri yang serius menangani kasus dugaan rencana makar.
Gegara anggapan adanya perbedaan pandangan antara Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI dengan Polri, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto berencana akan memanggil Gatot dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (Sumber: Kompas.com).
Pertanyaannya, apa yang salah dari pernyataan Gatot dalam “Rosi” sehingga menimbulkan kontroversi? Dan, adakah perbedaan pandangan antara TNI dengan Polri dalam menyikapi kasus dugaan perencanaan makar?
Jika menyimak pernyataan Gatot dalam “Rosi” sebagaimana yang dapat disaksikan lewat Youtube, sebenarnya pernyataan Gatot soal makar sama sekali tidak bertentangan dengan tindakan Polri. Dalam video tersebut secara jelas memperlihatkan kalau Gatot mengatakan rencana makar tidak sama dengan aksi demonstrasi. Secara singkat dapat dilihat pada menit-menit akhir di mana Gatot mengatakan bahwa makar berbeda dengan aksi demo.
Pernyataan Gatot tersebut jelas sesuai dengan tindakan Polri dalam menangani aksi demonstrasi yang dimotori oleh GNPF MUI dan kasus dugaan rencana makar yang dilakukan oleh Ahmad Dhani, Adityawarman, Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Rachmawati Soekarnoputri, dan lainnya. Dalam tindakannya, Polri pun membedakan antara aksi unjuk rasa dengan rencana makar.
Logikanya sangat sederhana, kalau Polri menganggap aksi demonstrasi, khususnya Aksi 212 sama dengan upaya makar, pastinya Polri pun sudah menangkap peserta Aksi Bela Islam. Faktanya, Polri hanya menangkap terduga pelaku makar, tetapi tidak melakukan penangkapan terhadap peserta Aksi 212. Artinya, penegasan Gatot yang mengatakan aksi makar berbeda dengan aksi demonstasi sejalan dengan tindakan Polri dalam mengungkap dugaan makar dan juga mengamankan jalannya aksi demonstrasi.
Bisa dibilang, sejak awal November 2016, Jenderal Gatot Nurmantyo tidak pernah lepas dari kontroversi. Berkali-kali nama Panglima TNI itu menjadi judul headline berbagai media. Kali ini, Gatot kembali menuai polemik setelah tampil talk show Rosi yang ditayangkan Kompas TV pada Kamis 4 Mei 2016.
Pada program yang membincangkan artikel “Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President” yang ditulis Allan Nairn tersebut, Gatot mengatakan upaya makar tidak akan mungkin dilakukan kelompok Islam untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Ditambahkan lagi oleh jenderal kelahiran Tegal ini, kabar soal upaya makar dalam aksi unjuk rasa bela agama itu adalah berita bohong atau hoaks untuk menakuti rakyat Indonesia.
Pernyataan Gatot inilah yang kemudian menuai kontroversi. Banyak pihak yang menganggap pernyataan mantan KSAD bertentangan dengan fakta. Bahkan, lebih dari itu, pernyataan Gatot dipandang bertentangan dengan sikap Polri yang serius menangani kasus dugaan rencana makar.
Gegara anggapan adanya perbedaan pandangan antara Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI dengan Polri, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto berencana akan memanggil Gatot dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (Sumber: Kompas.com).
Pertanyaannya, apa yang salah dari pernyataan Gatot dalam “Rosi” sehingga menimbulkan kontroversi? Dan, adakah perbedaan pandangan antara TNI dengan Polri dalam menyikapi kasus dugaan perencanaan makar?
Jika menyimak pernyataan Gatot dalam “Rosi” sebagaimana yang dapat disaksikan lewat Youtube, sebenarnya pernyataan Gatot soal makar sama sekali tidak bertentangan dengan tindakan Polri. Dalam video tersebut secara jelas memperlihatkan kalau Gatot mengatakan rencana makar tidak sama dengan aksi demonstrasi. Secara singkat dapat dilihat pada menit-menit akhir di mana Gatot mengatakan bahwa makar berbeda dengan aksi demo.
Pernyataan Gatot tersebut jelas sesuai dengan tindakan Polri dalam menangani aksi demonstrasi yang dimotori oleh GNPF MUI dan kasus dugaan rencana makar yang dilakukan oleh Ahmad Dhani, Adityawarman, Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Rachmawati Soekarnoputri, dan lainnya. Dalam tindakannya, Polri pun membedakan antara aksi unjuk rasa dengan rencana makar.
Logikanya sangat sederhana, kalau Polri menganggap aksi demonstrasi, khususnya Aksi 212 sama dengan upaya makar, pastinya Polri pun sudah menangkap peserta Aksi Bela Islam. Faktanya, Polri hanya menangkap terduga pelaku makar, tetapi tidak melakukan penangkapan terhadap peserta Aksi 212. Artinya, penegasan Gatot yang mengatakan aksi makar berbeda dengan aksi demonstasi sejalan dengan tindakan Polri dalam mengungkap dugaan makar dan juga mengamankan jalannya aksi demonstrasi.
Dan, hoax yang dimaksud oleh Gatot bukan kasus dugaan makar yang tengah ditangani Polri, tetapi artikel Nairn yang menyebut Gatot dan sejumlah jenderal aktif terlibat dalam rencana kudeta terhadap Presiden Jokowi. Jadi, sangat jelas,
Karenanya sangat lucu kalau Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang dikenal sebagai pendukung Ahok ini mengungkapkan kekecewaannya dan menuding Gatot telah mendiskreditkan POLRI, TNI dan Pers. Bukan hanya itu, TPDI yang juga diketahui sebagai pendukung Jokowi ini pun meminta agar Gatot segera mencabut pernyatannya itu karena pernyataan yang demikian dapat menjatuhkan wibawa Presiden, wibawa TNI, Polri, dan media.
Jika mengikuti media, termasuk media sosial, bukan hanya TPDI yang menuding pernyataan Gatot dalam “Rosi” bertentangan dengan sikap Polri dalam menangangi kasus dugaan makar. Menariknya, tudingan miring terhadap Gatot bukan hanya dilontarkan oleh TPDI, tetapi juga oleh sejumlah pendukung Ahok lainnya yang rerata merupakan pendukung Jokowi. Sampai-sampai ada salah seorang pendukung Ahok yang melontarkan makian yang sedemikan kasaran terhadap TNI.
Kalau disimak, sebenarnya, baik tulisan Allan Nairn yang menjadi pokok bahasan dalam Rosi sudah banyak ditulis dalam sejumlah artikel di Kompasiana, seperti yang dikumpulkan di “Benarkah Inbestigasi Allan Nairn Bersumber dari Informasi Intelijen?” Demikian juga dengan jawaban Gatot dan pengamat militer Salim Said tentang ketidakmungkinan TNI melancarkan aksi kudeta.
Menariknya, penilaian miring terhadap Gatot juga muncul setalah jenderal bintang empat itu tampil dalam Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan TV One pada 8 November 2016 atau 4 hari setelah digelarnya Aksi 411. Pandangan miring kepada Gatot itu disebabkan kerana Panglima TNI dinilai tidak menyoroti kerusuhan kecil yang terjadi usai Aksi 411, tetapi lebih kepada ancaman besar yang sedang mengintai NKRI.
Ketika itu Gatot menguraikan tentang posisi Indonesia di tengah konflik Laut Tiongkok Selatan. Menurutnya, selain karena potensi pengembangan sumber energi, Indonesia juga menjadi incara bangsa-bangsa lain karena letak geografisitu dan luas wilayah yang dimilikinya.
Sekali lagi, apa yang salah dari pemaparan Gatot dalam ILC tersebut? Sama seperti jawaban-jawaban yang diberikannya saat tampil di Rosi,.pemaparan Gatot soal ancaman yang dihadapi Indonesia pun tidak salah. Apakah Jepang dan juga negara-negara lainnya yang terlibat dalam perang dunia menduduki Indonesia hanya karena sumber daya alamnya? Jawabannya, bukan.
Dalam “Target Tokyo: Kisah Jaringan Mata-mata Sorgi” yang diterbitkan oleh Erlangga pada 1988 dikisahkan tentang Richard Sorge yang dikirim oleh Sovyet untuk memata-matai pergerakan tentara Jepang. Dalam buku yang mengungkap kisah nyata mata-mata Sovyet/ Comintern disebutkan jika Sovyet memprediksi Jepang akan menduduki kawasan Siberia guna menguasai sumber daya alamnya.
Faktanya, Jepang tidak menyerang Siberia, sebaliknya negara matahari terbit itu memilih Asia Tenggara, termasuk Indonesia untuk didudukinya. Jadi dalam situasi global yang tengah memanas, khususnya di kawasan Laut Tiongkok Selatan, sangat wajar kalau Panglima TNI memaparkan adanya ancaman besar terhadap Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, Gatot juga kerap mengungkapkan tentang ancaman proxy war terhadap bangsa ini. Menariknya, tidak sedikit dari anak bangsa ini yang meremehkannya. Lebih menariknya lagi, para peremeh itu diketahui berasal dari kelompok pendukung Presiden Jokowi. Ada apa dengan para pendukung Jokowi (yang sebagian besar merupakan pendukung Ahok) yang memandang adanya proxy war sebagai bualan Gatot?
Anehnya, upaya untuk menghadap-hadapkan Panglima TNI dengan Presiden RI juga dilancarkan oleh orang-orang yang ada di lingkungan istana sendiri. Hal ini teraba dari publikasi Reuters yang menyebut Jokowi telah menegur Gatot terkait masalah hubungan Indonesia-Australia yang dipicu kasus “Pancagila”. Wartawan Reuter mengaku mendapatkan informasi tersebut dari “orang” Istana.
Sebagai pribadi, personel TNI, Polri dan juga rakyat Indonesia pastinya memiliki penilaiannya berbeda terhadap pemerintahan Jokowi. Ada yang menilai Jokowi telah berhasil menjalankan tugasnya sebagai Presiden RI dan layak untuk dilanjutkan sampai 2024. Ada yang berpendapat Jokowi telah gagal dan tidak pantas untuk kembali memimpin Indonesia. Tetapi, ada juga yang sudah tidak sabar lagi untuk menunggu pergatian presiden pada Pilpres 2019. Tetapi, seuai aturan, TNI dilarang terlibat dalam politik praktis. Dan, Gatot sudah menjalankan tugasnya menjaga anak buahnya untuk tidak cawe-cawe dalam urusan politik praktis.
Dalam menangani ancaman kerusuhan yang ditimbulkan oleh gelar Pilkada DKI 2017, misalnya, TNI dan Polri telah menjalankan tugasnya dengan baik. Kalau memang Gatot dan sejumlah jenderal aktif lainnya ingin merebut kekuasaan pastinya dapat menggunakan Pilkada DKI 2017 sebagai pintu masuknya. Fakntanya, Pilkada DKI 2017 berjalan dengan aman.
Apa yang terjadi di Jakarta jelang 19 April 2017? Sepanas apa situasi Jakarta ketika itu yang dapat menjalar ke berbagai daerah di Indonesia? Sebagai warga biasa yang tidak memiliki akses informasi “dunia bawah tanah” pastinya tidak tahu persis. Apalagi media pun sama sekali tidak merekamnya . Bisa jadi saat itu Jakarta adem-adem saja meski ada dua kelompok besar dari sejumlah daerah di Indonesia yang saling berhadapan
Tetapi, timbul pertanyaan, bagaimana dengan kemunculan USS Vinson di Selat Sunda 4 hari jelang perhelatan Pilkada DKI 2017? Apakah kemunculan mendadak kapal induk bertenaga nuklir yang rencanya akan dikirim ke Korea itu ada kaitannya dengan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence yang datang di Jakarta sehari setelah Pilkada? Kalau memang benar masuknya USS Vinson ke perairan Indonesia terkait dengan kedatangan Pence pastinya tidak akan membuat heran media karena kedatangan Pence sudah lama dijadwalkan.
Faktanya, sejumlah media, seperti The New York Times, CNN, Foxnews mengungkapkan keherannya. New York Times menuliskan keherannya dengan judul “Aircraft Carrier Wasn’t Sailing to Deter North Korea, as U.S. Suggested. Sementara, CNN mengungkapkan kebingungan lewat judul “Where in the world is the USS Carl Vinson?”
“Nyasarnya” USS Vinson di perairan Indonesia di tengah memanasnya situasi nasional tersebut sedikit banyak mengingatkan pada kedatangan Kapal Induk USS Blelleau Wood di perairan Jakarta ketika krisis1998. Meski tanpa adanya pemberitaan tentang nyasarnya kapal induk Amerika di Selat Sunda, panasnya situasi ibu kota pun sudah bisa teraba dari bentrokan antara personel FPI dengan Banser di Kramat Lontar, Jakarta sehari jelang Pilgub DKI.
Jika aparat keamanan, termasuk intelijen lalai dalam menjalankan tugasnya, bentrokan FPI-Banser tersebut dapat menimbulkan konflik yang lebih besar. Faktanya, tidak terjadi bentrok susulan. Dan, putaran kedua Pilgub DKI 2017 dapat berjalan dengan aman. Maka sangat mengherankan kalau ada sejumlah kelompok yang terus menerus membuat situasi tetap memanas. Ironisnya, orang-orang di sekitar Presiden juga menjadi bagian dari kelompok yang mempertahankan kegaduhan di republik ini.
Meski situasi kembali mendingin, tetapi potensi terjadinya konflik belum benar-benar dapat dipadamkan. Terakhir, masyarakat Melayu di Kalimantan Barat menyuarakan protes kerasnya atas pidata Guberur Kalbar Cornelis MH yang dinilai telah menghina Islam. Cornelis yang juga kader PDIP, partai pendukung Jokowi dan Ahok ini pun mengalami pengusiran saat kunjungannya di Aceh pada 6 Meli 2017.
Situasi panas ini kemungkinan akan sulit dikendalikan mengingat ada satu kelompok masyarakat yang mengkalim kelompoknya sebagai pemilik sah dari NKRI dan Pancasila, Sebaliknya, kelompok ini memposisikan kelompok lainnya sebagai pengkhianat NKRI dan Pancasila.
Jika klaim sebagai pemilik sah dari NKRI ini terus menerus dikobarkan oleh satu pihak, maka potensi terjadinya people power yang berujung pada chaos akan semakin sulit dihindari. Jika chaos sampai terjadi, tidak ada satu pun pihak yang keluar sebagai pemenangnya. “Menang jadi arang, kalah jadi abu”, begitu kata pepatah.
Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi arang dan siapa yang bakal menjadi abu? Dalam situasi tegang seperti ini, masing-masing kelompok sudah mendata identitas lawan-lawannya. Kalau pergantian kekuasaan berjalan secara normal. Hukuman hanya akan dijatuhkan kepada pentolannya saja. Tetapi, kalau pergantian kekuasaan itu terjadi setelah terjadinya guncangan besar, maka hukuman bukan hanya dijatuhkan kepada lokomotif penggeraknya saja, tetapi juga dengan gerbong-gerbong yang berada di belakangnya.
Hukuman bagi lokomotf beserta gerbong-gerbongnya itu sangat wajar dan terjadi di mana pun dan kapan pun.Hukuman ini dijatuhkan demi menjaga stabilitas negara. Sebab tanpa menjatuhkan hukuman, stablitas negara akan sulit dicapai. Inilah yang terjadi di Indonesia pasca G30. Demikian juga dengan di Jerman, di mana pemerintah Jerman menjatuhkan hukuman terhadap warganya yang terkait dengan Nazi.
Situasi yang berjalan kearah konflik horisontal inilah yang berkali-kali berupaya diredam oleh Gatot. Demikian juga saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Rosi Silalahi. Gatot berulang kali menegaskan jika aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak Oktober 2016 berlangsung damai.
Karenanya patut dipertanyakan, apakah kelompok yang terus menyudutkan Gatot benar-benar menyimak talk show yang ditayangkan Kompas TV tersebut? Ataukah kelompok pengecam Gatot tersebut merupakan bagian dari alat dalang perang proxidi Indonesia?
Karenanya sangat lucu kalau Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang dikenal sebagai pendukung Ahok ini mengungkapkan kekecewaannya dan menuding Gatot telah mendiskreditkan POLRI, TNI dan Pers. Bukan hanya itu, TPDI yang juga diketahui sebagai pendukung Jokowi ini pun meminta agar Gatot segera mencabut pernyatannya itu karena pernyataan yang demikian dapat menjatuhkan wibawa Presiden, wibawa TNI, Polri, dan media.
Jika mengikuti media, termasuk media sosial, bukan hanya TPDI yang menuding pernyataan Gatot dalam “Rosi” bertentangan dengan sikap Polri dalam menangangi kasus dugaan makar. Menariknya, tudingan miring terhadap Gatot bukan hanya dilontarkan oleh TPDI, tetapi juga oleh sejumlah pendukung Ahok lainnya yang rerata merupakan pendukung Jokowi. Sampai-sampai ada salah seorang pendukung Ahok yang melontarkan makian yang sedemikan kasaran terhadap TNI.
Kalau disimak, sebenarnya, baik tulisan Allan Nairn yang menjadi pokok bahasan dalam Rosi sudah banyak ditulis dalam sejumlah artikel di Kompasiana, seperti yang dikumpulkan di “Benarkah Inbestigasi Allan Nairn Bersumber dari Informasi Intelijen?” Demikian juga dengan jawaban Gatot dan pengamat militer Salim Said tentang ketidakmungkinan TNI melancarkan aksi kudeta.
Menariknya, penilaian miring terhadap Gatot juga muncul setalah jenderal bintang empat itu tampil dalam Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan TV One pada 8 November 2016 atau 4 hari setelah digelarnya Aksi 411. Pandangan miring kepada Gatot itu disebabkan kerana Panglima TNI dinilai tidak menyoroti kerusuhan kecil yang terjadi usai Aksi 411, tetapi lebih kepada ancaman besar yang sedang mengintai NKRI.
Ketika itu Gatot menguraikan tentang posisi Indonesia di tengah konflik Laut Tiongkok Selatan. Menurutnya, selain karena potensi pengembangan sumber energi, Indonesia juga menjadi incara bangsa-bangsa lain karena letak geografisitu dan luas wilayah yang dimilikinya.
Sekali lagi, apa yang salah dari pemaparan Gatot dalam ILC tersebut? Sama seperti jawaban-jawaban yang diberikannya saat tampil di Rosi,.pemaparan Gatot soal ancaman yang dihadapi Indonesia pun tidak salah. Apakah Jepang dan juga negara-negara lainnya yang terlibat dalam perang dunia menduduki Indonesia hanya karena sumber daya alamnya? Jawabannya, bukan.
Dalam “Target Tokyo: Kisah Jaringan Mata-mata Sorgi” yang diterbitkan oleh Erlangga pada 1988 dikisahkan tentang Richard Sorge yang dikirim oleh Sovyet untuk memata-matai pergerakan tentara Jepang. Dalam buku yang mengungkap kisah nyata mata-mata Sovyet/ Comintern disebutkan jika Sovyet memprediksi Jepang akan menduduki kawasan Siberia guna menguasai sumber daya alamnya.
Faktanya, Jepang tidak menyerang Siberia, sebaliknya negara matahari terbit itu memilih Asia Tenggara, termasuk Indonesia untuk didudukinya. Jadi dalam situasi global yang tengah memanas, khususnya di kawasan Laut Tiongkok Selatan, sangat wajar kalau Panglima TNI memaparkan adanya ancaman besar terhadap Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, Gatot juga kerap mengungkapkan tentang ancaman proxy war terhadap bangsa ini. Menariknya, tidak sedikit dari anak bangsa ini yang meremehkannya. Lebih menariknya lagi, para peremeh itu diketahui berasal dari kelompok pendukung Presiden Jokowi. Ada apa dengan para pendukung Jokowi (yang sebagian besar merupakan pendukung Ahok) yang memandang adanya proxy war sebagai bualan Gatot?
Anehnya, upaya untuk menghadap-hadapkan Panglima TNI dengan Presiden RI juga dilancarkan oleh orang-orang yang ada di lingkungan istana sendiri. Hal ini teraba dari publikasi Reuters yang menyebut Jokowi telah menegur Gatot terkait masalah hubungan Indonesia-Australia yang dipicu kasus “Pancagila”. Wartawan Reuter mengaku mendapatkan informasi tersebut dari “orang” Istana.
Sebagai pribadi, personel TNI, Polri dan juga rakyat Indonesia pastinya memiliki penilaiannya berbeda terhadap pemerintahan Jokowi. Ada yang menilai Jokowi telah berhasil menjalankan tugasnya sebagai Presiden RI dan layak untuk dilanjutkan sampai 2024. Ada yang berpendapat Jokowi telah gagal dan tidak pantas untuk kembali memimpin Indonesia. Tetapi, ada juga yang sudah tidak sabar lagi untuk menunggu pergatian presiden pada Pilpres 2019. Tetapi, seuai aturan, TNI dilarang terlibat dalam politik praktis. Dan, Gatot sudah menjalankan tugasnya menjaga anak buahnya untuk tidak cawe-cawe dalam urusan politik praktis.
Dalam menangani ancaman kerusuhan yang ditimbulkan oleh gelar Pilkada DKI 2017, misalnya, TNI dan Polri telah menjalankan tugasnya dengan baik. Kalau memang Gatot dan sejumlah jenderal aktif lainnya ingin merebut kekuasaan pastinya dapat menggunakan Pilkada DKI 2017 sebagai pintu masuknya. Fakntanya, Pilkada DKI 2017 berjalan dengan aman.
Apa yang terjadi di Jakarta jelang 19 April 2017? Sepanas apa situasi Jakarta ketika itu yang dapat menjalar ke berbagai daerah di Indonesia? Sebagai warga biasa yang tidak memiliki akses informasi “dunia bawah tanah” pastinya tidak tahu persis. Apalagi media pun sama sekali tidak merekamnya . Bisa jadi saat itu Jakarta adem-adem saja meski ada dua kelompok besar dari sejumlah daerah di Indonesia yang saling berhadapan
Tetapi, timbul pertanyaan, bagaimana dengan kemunculan USS Vinson di Selat Sunda 4 hari jelang perhelatan Pilkada DKI 2017? Apakah kemunculan mendadak kapal induk bertenaga nuklir yang rencanya akan dikirim ke Korea itu ada kaitannya dengan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence yang datang di Jakarta sehari setelah Pilkada? Kalau memang benar masuknya USS Vinson ke perairan Indonesia terkait dengan kedatangan Pence pastinya tidak akan membuat heran media karena kedatangan Pence sudah lama dijadwalkan.
Faktanya, sejumlah media, seperti The New York Times, CNN, Foxnews mengungkapkan keherannya. New York Times menuliskan keherannya dengan judul “Aircraft Carrier Wasn’t Sailing to Deter North Korea, as U.S. Suggested. Sementara, CNN mengungkapkan kebingungan lewat judul “Where in the world is the USS Carl Vinson?”
“Nyasarnya” USS Vinson di perairan Indonesia di tengah memanasnya situasi nasional tersebut sedikit banyak mengingatkan pada kedatangan Kapal Induk USS Blelleau Wood di perairan Jakarta ketika krisis1998. Meski tanpa adanya pemberitaan tentang nyasarnya kapal induk Amerika di Selat Sunda, panasnya situasi ibu kota pun sudah bisa teraba dari bentrokan antara personel FPI dengan Banser di Kramat Lontar, Jakarta sehari jelang Pilgub DKI.
Jika aparat keamanan, termasuk intelijen lalai dalam menjalankan tugasnya, bentrokan FPI-Banser tersebut dapat menimbulkan konflik yang lebih besar. Faktanya, tidak terjadi bentrok susulan. Dan, putaran kedua Pilgub DKI 2017 dapat berjalan dengan aman. Maka sangat mengherankan kalau ada sejumlah kelompok yang terus menerus membuat situasi tetap memanas. Ironisnya, orang-orang di sekitar Presiden juga menjadi bagian dari kelompok yang mempertahankan kegaduhan di republik ini.
Meski situasi kembali mendingin, tetapi potensi terjadinya konflik belum benar-benar dapat dipadamkan. Terakhir, masyarakat Melayu di Kalimantan Barat menyuarakan protes kerasnya atas pidata Guberur Kalbar Cornelis MH yang dinilai telah menghina Islam. Cornelis yang juga kader PDIP, partai pendukung Jokowi dan Ahok ini pun mengalami pengusiran saat kunjungannya di Aceh pada 6 Meli 2017.
Situasi panas ini kemungkinan akan sulit dikendalikan mengingat ada satu kelompok masyarakat yang mengkalim kelompoknya sebagai pemilik sah dari NKRI dan Pancasila, Sebaliknya, kelompok ini memposisikan kelompok lainnya sebagai pengkhianat NKRI dan Pancasila.
Jika klaim sebagai pemilik sah dari NKRI ini terus menerus dikobarkan oleh satu pihak, maka potensi terjadinya people power yang berujung pada chaos akan semakin sulit dihindari. Jika chaos sampai terjadi, tidak ada satu pun pihak yang keluar sebagai pemenangnya. “Menang jadi arang, kalah jadi abu”, begitu kata pepatah.
Pertanyaannya, siapa yang akan menjadi arang dan siapa yang bakal menjadi abu? Dalam situasi tegang seperti ini, masing-masing kelompok sudah mendata identitas lawan-lawannya. Kalau pergantian kekuasaan berjalan secara normal. Hukuman hanya akan dijatuhkan kepada pentolannya saja. Tetapi, kalau pergantian kekuasaan itu terjadi setelah terjadinya guncangan besar, maka hukuman bukan hanya dijatuhkan kepada lokomotif penggeraknya saja, tetapi juga dengan gerbong-gerbong yang berada di belakangnya.
Hukuman bagi lokomotf beserta gerbong-gerbongnya itu sangat wajar dan terjadi di mana pun dan kapan pun.Hukuman ini dijatuhkan demi menjaga stabilitas negara. Sebab tanpa menjatuhkan hukuman, stablitas negara akan sulit dicapai. Inilah yang terjadi di Indonesia pasca G30. Demikian juga dengan di Jerman, di mana pemerintah Jerman menjatuhkan hukuman terhadap warganya yang terkait dengan Nazi.
Situasi yang berjalan kearah konflik horisontal inilah yang berkali-kali berupaya diredam oleh Gatot. Demikian juga saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Rosi Silalahi. Gatot berulang kali menegaskan jika aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak Oktober 2016 berlangsung damai.
Karenanya patut dipertanyakan, apakah kelompok yang terus menyudutkan Gatot benar-benar menyimak talk show yang ditayangkan Kompas TV tersebut? Ataukah kelompok pengecam Gatot tersebut merupakan bagian dari alat dalang perang proxi di Indonesia?