Dengan Jurus Bangaunya Anies Baswedan Siap Patuk Jokowi

Tanggal: 18 Okt 2017 11:06 wib.
Tak mau kalah dengan Sandiaga Uni, saat sesi fitting seragam dinas pada 12 Oktober 2017, Anies Baswedan pun merentangkan kedua tangannya seraya menyatukan jari-jari di setiap tangannya di satu titik. Jejari yang menyatu itu membentuk seperti kepala burung dengan paruhnya.

Jurus bangau, begitu kata orang tentang pose yang diperagakan oleh Gubernur DKI Jakarta terpilih yang akan dilantik pada 16 Oktober 2017 di Istana Negara.

Pose jurus bangau yang diperagakan oleh pasangan Gubernur-Wagub DKI ini menjadi menggelitik jika mengaitkannya dengan lagu “Sang Kodok” yang digubah oleh Benyamin Suaib. Bagaimana pun juga kodok merupakan binatang peliharaan Presiden Joko Widodo yang akan melantik Anies.

Dalam lagu itu digambarkan tentang sang bangau, sang kodok, sang ikan, dan sang hujan yang saling menunggu sampai batas waktu yang tidak jelas.

Tetapi, berbeda dengan lagu “Sang Kodok”, Anies dan Jokowi tidak perlu saling menunggu lagi. Sebab, Anies yang sejak kampanye Pilgub DKI 2017 menyatakan penolakannya atas proyek reklamasi Teluk Jakarta semakin memantapkan kuda-kudanya. Dan, dalam beberapa hari lagi, kedua “paruh” Anies akan mematuk titik-titik lemah Jokowi.

Jurus-jurus yang disasarkan oleh “Sang Bangau” pada Sang Pemelihara Kodok ini lebih menarik jika memandangnya dengan kacamata Pilpres 2019 di mana Jokowi akan turun sebagai capres petahana, sementara Prabowo Subianto sebagai ketua parpol pendukung Anies akan menjadi pesaingnya.

Dengan dilantiknya Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, kontestasi persaingan pra-Pemilu 2019 telah memasuki ronde baru. Patukan-patukan paruh dan angin yang disebabkan oleh kepakan sayap “Sang Bangau” akan memorakporandakan elektabilitas Jokowi yang disebut oleh sejumlah lembaga survai masih bertengger di posisi puncak dan jauh di atas Prabowo yang hinggap di posisi kedua.

Sebenarnya, serangan Anies terhadap Jokowi ini tidak ubahnya seperti serangan Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur Jakrta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketika itu, dengan dalih berpotensi menambah kemacetan ibu kota, Gubernur Jokowi menentang peluncuran mobil murah ramah lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC) yang digagas oleh pemerintah SBY.

Dengan bercermin pada polemik LCGC yang menghangat pada November 2013 itulah, bisa dibilang, jika Gubernur Anies merupakan reinkarnasi Gubernur Jokowi bagi Presiden Jokowi.

LCGC hanyalah satu dari sejumlah “arena” yang dipilih Jokowi untuk memosisikan dirinya berhadap-hadapan dengan SBY. “Arena” lain yang dipilih Jokowi adalah penanganan bajir ibu kota. Lewat isu banjir, Jokowi menohok SBY dengan mengatakan bahwa masalah banjir akan mudah diselesaikan jika ia menjadi presiden.

Ketika itu, dengan cara membanding-bandingkan gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Jokowi dengan Presiden Ri SBY, media pun turut memanas-manasi “arena pertarungan”. Soal blusukan, misalnya, media membandingkan gaya blusukan Jokowi dengan gaya blusukan SBY.

Menariknya, media membingkai gaya kepemimpina keduanya dengan sudut pandang yang bertolak belakang. Kepada Jokowi media membingkainya dengan sudut pandang positif. Sebaliknya, kepada SBY, media membingkainya dengan sudut pandang negatif.

Lewat pembingkaian positif media tersebut, elektabilitas Jokowi pun melejit. Bahkan pada Januari 2014, sejumlah lembaga survei mengatakan tingkat elektabilitas Jokowi sudah jauh meninggalkan Prabowo dan sejumlah tokoh lainnya, termasuk Aburizal Bakrie.

Sejak, bahkan sebelum terpilih sebagai Gubernur DKI, Jokowi sudah menjadi sorot perhatian publik, Akibatnya, popularitas mantan Walikota Surakarta ini pun meroket tajam. Mengangkasanya tingkat popularitas itu dibarengi dengan sentimen positif publik, sehingga elektabilitas pun terdongkrak.

Lewat kampanye Pilgub DKI 2017 yang berdarah-darah, popularitas Anies pun meningkat. Hanya saja, berbeda dengan Jokowi, melambungnya popularitas Anies tidak diikuti oleh tingkat elektabilitasnya. Karenanya, sulit bagi Anies untuk mengikuti langkah Jokowi. Selain itu, Anies pun sudah melempar sinyal jika ia tidak akan nyapres pada 2019 nanti.

Tetapi, bagaimana pun juga, Anies memiliki ruang sendiri dalam kontestasi Pemilu 2019. Ruang inilah yang akan dimasuki oleh Prabowo beserta partai yang diketuainya. Bukan hanya itu, ruang milik Anies tersebut pun akan disesaki oleh kelompok-kelompok politik penentang Jokowi lainnya.

Di dalam ruang milik Anies tersebut ada satu arena di mana secara langsung Anies akan berhadapan dengan Jokowi. Di atas arena itu, Anies yang menyatakan penolakannya atas proyek reklamasi Teluk Jakarta akan berhadapan dengan Jokowi yang turun ke gelanggang sebagai pendukung pembangunan pulau-pulau palsu di Teluk Jakarta.

Bagi Gubernur Jakarta Anies, melawan Presiden RI Jokowi dalam kontroversi reklamasi Teluk Jakarta sama saja dengan memosisikan dirinya seperti Daud yang dengan ketapelnya melawan raksasa Goliat.

Langkah Anies pastinya begitu berat. Apalagi, pada 5 Oktober 2017 atau 11 hari sebelum hari-H pelantikan Anies-Sandi, pemerintah Jokowi melakukan manuver tajam dengan mencabut moratorium proyek reklamasi.

Manuver pemerintah pusat ini disusul oleh gerak cepat Gubernur Jakrata Djarot Saiful Hidayat yang pada menit-menit terakhir turun dari kursinya menandatangaini Pergub Nomor 137 tahun 2017 tentang Panduan Rancang Kota Pulau G Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Tidak hanya itu, konsentrasi Anies pun pastinya akan terganggu dengan rencana Polri yang akan memeriksa Sandi sebagai saksi dalam kasus dugaan penggelapan sebidang tanah di Jalan Curug Raya, Tangerang Selatan, Banten yang terjadi pada tahun 2012.

Di sisi lain, jelang hari-H pelantikan Anies-Sandi perang urat syaraf sudah dilancarkan. Berbagai bebulian dilontarkan kepada Anies-Sandi, dan tentu saja para pendukungnya, terutama Prabowo.

Terungkapnya komplotan Saracen yang menyeret sejumlah pendukung Anies-Sandi dan juga Prabowo dikait-kaitkan dengan kemenangan Anies. Meski, Polri belum menemukan bukti keterlibatan Anies-Sandi dan juga Prabowo, tetapi Anies sudah mendapat stempel sebagai “Gubernur Saracen”.

Sementara, lewat informasi yang disampaikan Polri tentang adanya rencana Saracen juga akan dioperasikan pada 2019, maka Prabowo dan Gerindra pun dituding akan menggunakan cara-cara kotor untuk memenangi Pemilu 2019.

Perang urat syaraf ini menjadi lebih menarik dengan dirilisnya hasil survei oleh SMRC, Indikator, dan Charta Politica dalam waktu yang hampir bersamaan. Selain menyebut hampir 70% responden puas atas kinerja Jokowi, ketiganya pun mengungkapkan bahwa tingkat elektabilitas Jokowi yang memuncaki klasemen sementara dengan tingkat elektabilitas Prabowo yang jauh mengekor di bawahnya.

Soal perang urat syaraf pra-Pemilu 2019, kubu Prabowo tidak perlu khawatir. Sejumlah dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Gubernur Jakarta Ahok bisa dijadikan pintu masuknya. Apalagi, sebagai gubernur penerus periode Jokowi-Ahok-Djarot, Anies memiliki tanggung jawab moral untuk menyelamatkan uang rakyat DKI.

Dalam perang urat syaraf ini, mantan komisionaris KPK sekaligus anggota timses Anies-Sandi, Bambang Widjojanto, bisa diperankan. Apalagi, sebelumnya Bambang mengklaim bahwa KPK pada masanya telah mendapat sejumlah laporan terkait dugaan korupsi yang dilakukan oleh Ahok.

Di saat yang bersamaan, para penentang Jokowi harus memanfaatkan slogan “Dwitunggal Jokowi-Ahok” yang digembar-gemborkan oleh pendukung keduanya.

“Dwitunggal Jokowi-Ahok”, artinya Jokowi adalah Ahok dan Ahok adalah Jokowi. Dengan kata lain, Jokowi-Ahok: satu pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Dengan menguatkan slogan yang justru dikreasikan oleh sebagian pendukung Jokowi sendiri ini maka desakan untuk menindalanjuti laporan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Ahok sama halnya dengan melakukan serangan terhadap Jokowi.

Sebenarnya, menggembosi elektabilitas Jokowi lewat sejumlah kasus tipikor yang dilakukan oleh Ahok jauh lebih mudah ketimbang lewat isu reklamasi Teluk Jakarta.

isu reklamasi Teluk Jakarta bukanlah cemilan bagi orang kebanyakan. Tanpa kemasan yang mudah dipahami oleh orang awam, ini tidak ada bedanya dengan isu neolib yang ditembakkan kearah pasangan SBY-Boediono saat Pilpres 2009. Tapi, inilah tantangan bagi para penentang Jokowi.

Selain itu, pembingkaian media menjadi masalah tersendiri bagi Anies saat berhadapan dengan Jokowi. Anies, sebagaimana SBY, dibingkai negatif oleh media. Sebaliknya, Jokowi masih dibingkai positif. Dan, sebagaimana kepada SBY, media akan mem-blow up setitik kecil kesalahan yang dilakukan Anies, meski kesalahan itu jelas-jelas tidak sengaja dilakukan.

Tetapi, Anies tidak perlu ciut nyali. Sebab baik isu reklamasi Teluk Jakarta maupun dugaan kasus tipikor yang menyeret nama Ahok dapat disederhanakan dengan menyampaikan intisari dari kedua isu tersebut, yaitu ketidakadilan dalam penegakan hukum. Bahkan dengan bahasa sesederhana itu, kedua isu ini dapat “dinasionalisasikan”.

Dengan menasionalisasikannya, maka kedua isu ini tidak hanya memusar di Jakarta. Kedua isu ini akan menjadi isu nasional dan pastinya akan lebih berdampak buruk pada elektabilitas Jokowi.

Namun demikian, kalau pun elektabilitas Jokowi merosot gegara duelnya dengan Anies, belum tentu suara akan beralih ke Prabowo. Sebab, menurunnya elektabilitas Jokowi akan menyebabkan swing voter mengalihkan suaranya ke figur mana pun.

Inilah yang akan membuat kompetisi pra-Pemilu 2019 menjadi lebih menarik. Jokowi akan dikerubut, tetapi para pengerubutnya pun akan saling berebut.

Dan, tanpa menunggu lebih lama lagi, patukan-patukan jurus bangau Anies akan bersarang di titik-titik terlemah Jokowi.  
Copyright © Tampang.com
All rights reserved