Sumber foto: pinterest

Deforestasi Politik: Sawit, Suku Asli, dan Alam yang Merintih

Tanggal: 20 Mei 2025 21:59 wib.
Deforestasi politik di Indonesia telah menjadi isu yang semakin mendesak, terutama dalam konteks konversi hutan menjadi lahan perkebunan sawit. Kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan telah menyebabkan dampak serius bagi suku adat dan ekosistem di sekitarnya. Dalam perjalanan waktu, hutan yang merupakan paru-paru bumi ini mengalami penurunan yang sangat signifikan akibat dari berbagai kepentingan politik dan ekonomi.

Sektor perkebunan sawit di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama deforestasi. Pemerintah seringkali memberikan izin kepada perusahaan perkebunan untuk membuka lahan hutan tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan. Pembukaan lahan untuk sawit tidak hanya menyisakan jejak ekologis yang mendalam, tetapi juga merusak habitat asli hewan dan tumbuhan yang telah ada selama ribuan tahun. Hutan yang dihancurkan menjadi lahan sawit berkontribusi besar terhadap perubahan iklim, mengurangi keanekaragaman hayati, dan memperburuk kerusakan lingkungan.

Suku adat yang mendiami wilayah-wilayah hutan ini seringkali menjadi korban utama dari kebijakan deforestasi. Mereka telah hidup berdampingan dengan hutan selama ratusan tahun dan memiliki hubungan yang erat dengan ekosistem tersebut. Kehilangan lahan mereka bukan saja berarti kehilangan tempat tinggal, tetapi juga menghilangkan sumber mata pencaharian, budaya, dan tradisi. Suku-suku ini sering kali tidak diberi suara dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan mereka. Hal ini menjadi pertanda jelas bahwa kepentingan politik seringkali mengalahkan hak-hak dasar masyarakat adat.

Banyak suku adat, seperti Suku Dayak di Kalimantan atau Suku Mentawai di Sumatra, merasakan dampak langsung dari tindakan korporasi yang didukung oleh pemerintah. Lahan tempat mereka berburu, bercocok tanam, dan beribadah menjadi hilang satu per satu. Alhasil, generasi muda suku adat kehilangan identitas budaya mereka, yang tidak dapat dipisahkan dari alam dan hutan yang mereka huni.

Di sisi lain, pohon-pohon yang ditebang untuk membuka lahan sawit juga memperburuk kondisi alam yang semakin merintih. Proses penggundulan hutan telah menyebabkan tanah longsor, penurunan kualitas tanah, dan pencemaran air. Sebagai contoh, setelah hutan ditebang, tidak ada lagi pepohonan yang menyerap air hujan, sehingga mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Hal ini mempengaruhi tidak hanya manusia tetapi juga berbagai spesies hewan yang bergantung pada ekosistem yang seimbang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengupayakan berbagai langkah untuk menanggulangi deforestasi, tetapi tantangan yang dihadapi sangat besar. Konflik antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan sering kali membuat upaya tersebut menjadi tidak efektif. Masyarakat dan organisasi non-pemerintah terus berjuang untuk hak-hak suku adat dan kelestarian hutan, tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Deforestasi politik yang dijalankan dalam nama pembangunan memberikan kontribusi tidak hanya pada kerusakan lingkungan tetapi juga melanggar hak asasi manusia. Sawit menjadi simbol dari konflik ini, di mana keuntungan jangka pendek dianggap lebih berharga dibandingkan dengan keberlanjutan jangka panjang. Alam, yang seharusnya dijaga, kini merintih dalam kesakitan akibat keputusan-keputusan yang tidak adil dan seringkali berorientasi pada kepentingan tertentu.

Kini, tantangan terbesar adalah bagaimana menyelaraskan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan serta menghormati hak-hak suku adat. Situasi yang terjadi saat ini memanggil semua pihak untuk saling berkolaborasi demi masa depan yang lebih baik bagi hutan, suku adat, dan tentu saja, alam yang merintih.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved