Deepfake Semakin Canggih di Tahun Politik, Bagaimana Teknologi Ini Bisa Menyesatkan Publik?
Tanggal: 9 Mei 2025 20:48 wib.
Tampang.com | Semakin dekatnya Pemilu dan Pilkada serentak, makin banyak pula konten mencurigakan yang beredar di media sosial. Salah satu teknologi yang makin mengkhawatirkan adalah deepfake—rekayasa video atau audio dengan kecerdasan buatan yang membuat seseorang terlihat mengatakan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Deepfake Semakin Sulit Dibedakan dari Asli
Teknologi deepfake kini jauh lebih presisi dibanding beberapa tahun lalu. Hanya dalam hitungan jam, siapa pun dengan akses ke platform tertentu bisa membuat video yang tampak nyata, lengkap dengan intonasi suara dan ekspresi wajah yang meyakinkan.
“Ini tantangan baru untuk demokrasi. Masyarakat bisa dengan mudah tertipu oleh konten yang tampak valid, padahal sepenuhnya palsu,” ujar Rendy, analis keamanan digital dari ICT Watch.
Beberapa kasus di luar negeri menunjukkan bagaimana deepfake digunakan untuk menjatuhkan lawan politik, menyebar hoaks, bahkan memanipulasi pasar saham. Di Indonesia, tren ini mulai terlihat meningkat menjelang tahun politik 2024-2025.
Pemerintah Mulai Bergerak, Tapi Belum Cukup?
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan telah memantau konten berbasis AI dan memperkuat kerja sama dengan platform digital untuk meminimalkan penyebaran konten berbahaya. Namun, banyak pihak menilai langkah tersebut masih reaktif, belum preventif.
“Yang dibutuhkan bukan cuma pemblokiran konten. Tapi literasi digital yang masif, agar publik bisa mengenali ciri-ciri konten manipulatif,” kata Septiaji Eko Nugroho, Ketua MAFINDO.
Deteksi Deepfake: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Saat ini, deteksi teknologi deepfake memerlukan alat canggih, namun masyarakat awam juga bisa mengenali tanda-tanda umum, seperti gerakan bibir yang tidak sinkron, kedipan mata yang ganjil, atau ekspresi wajah yang terlalu kaku. Namun, semua ini butuh pelatihan dan edukasi, bukan sekadar imbauan.
“Platform seperti TikTok, YouTube, atau X juga harus ikut bertanggung jawab dalam menyaring dan menandai konten deepfake. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi soal etika digital,” tambah Rendy.
Risiko Terbesar: Hilangnya Kepercayaan Publik
Jika masyarakat terus-menerus terpapar konten palsu yang sulit dibedakan dari kenyataan, akan muncul krisis kepercayaan. Tidak hanya terhadap tokoh publik atau institusi, tapi juga terhadap media dan informasi secara umum.
Ketika semua bisa dimanipulasi, orang akan kesulitan membedakan mana fakta dan mana fiksi. Dalam jangka panjang, ini bisa mengancam fondasi demokrasi: kepercayaan terhadap proses pemilu, partisipasi publik, dan kebebasan berpendapat.
Perlu Kolaborasi untuk Menghadapi Ancaman Digital Ini
Ancaman deepfake tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, platform digital, media, dan masyarakat. Literasi digital harus masuk ke sekolah-sekolah, komunitas, dan kampanye publik secara masif.
Semakin canggih teknologinya, semakin cerdas pula masyarakat harus bersikap.