Sumber foto: pinterest

Bung Hatta Mundur: Pecahnya Dwitunggal

Tanggal: 17 Mei 2025 14:59 wib.
Di balik perjalanan sejarah Indonesia, terdapat dua tokoh krusial yang menjadi simbol perjuangan dan kemerdekaan bangsa, yaitu Bung Hatta dan Soekarno. Keduanya tidak hanya dikenal karena perannya dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia, tetapi juga karena hubungan interpersonal mereka yang rumit, terutama ketika perpecahan terjadi di antara mereka. Salah satu momen penting dalam sejarah ini adalah saat Bung Hatta memilih mundur dari pemerintahan, yang menandai pecahnya dwitunggal yang telah terbentuk antara dirinya dan Soekarno.

Bung Hatta, sebagai wakil presiden pertama Republik Indonesia, selama ini dikenal sebagai sosok yang merakyat, idealis, dan konsisten dalam prinsip-prinsip demokrasi serta ekonomi. Di sisi lain, Soekarno, sebagai presiden pertama, dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang karismatik dan otoriter. Meskipun keduanya memiliki visi yang sama untuk kemerdekaan dan pembangunan bangsa, cara mereka dalam mengelola pemerintahan kerap berbenturan.

Perpecahan antara Bung Hatta dan Soekarno mulai terlihat saat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Bung Hatta memiliki pandangan yang berorientasi pada demokrasi liberal dan pasar bebas, sedangkan Soekarno cenderung lebih memilih pendekatan yang menuju ke arah ekonomi berencana dan sentralisasi kekuasaan. Perbedaan pandangan tersebut semakin menguat ketika keduanya harus bersikap terhadap berbagai masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi Indonesia pasca-kemerdekaan.

Titik balik dalam hubungan mereka terjadi pada bulan Desember 1956. Saat itu, Bung Hatta mengajukan pengunduran diri dari jabatannya. Menghadapi berbagai tantangan, termasuk pemberontakan di berbagai daerah dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan, Bung Hatta merasa bahwa situasi politik di Indonesia semakin tidak sehat dan memprihatinkan. Ia ironi melihat situasi tersebut dan mengambil langkah mundur sebagai protes terhadap cara Soekarno dalam mengendalikan kekuasaan.

Keputusan Bung Hatta untuk mundur juga berkaitan dengan berbagai tekanan politik, termasuk pengaruh dari militer dan ketidakpuasan dari partai-partai politik yang merasa diabaikan. Perpecahan ini menjadi sangat nyata ketika Soekarno melanjutkan kebijakan-kebijakan yang lebih otoriter, termasuk menggabungkan kekuatan eksekutif dan legislatif, yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang diperjuangkan Bung Hatta.

Setelah pengunduran diri Bung Hatta, hubungan antara kedua tokoh ini semakin memburuk. Bung Hatta, yang telah memilih untuk berada di luar pemerintahan, tetap menjadi aktivis yang vokal dan kritis terhadap kebijakan Soekarno. Ia terus menyuarakan pentingnya kembali pada prinsip-prinsip demokrasi dan suara rakyat, sedangkan Soekarno semakin memperkuat genggaman kekuasaan dengan menggelar pembicaraan yang lebih bersifat konfrontatif terhadap oposisi.

Momen mundurnya Bung Hatta bukan hanya menjadi tanda perpecahan di dalam dwitunggal tersebut, tetapi juga menandai perubahan besar dalam dinamika politik Indonesia. Sejak saat itu, peran Soekarno sebagai pemimpin semakin dominan, sementara Bung Hatta menjadi sosok yang lebih banyak berada di belakang panggung, meskipun pengaruh dan pemikirannya tetap dikenang dan dihormati. Perpecahan ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia dalam memahami pentingnya kolaborasi di antara pemimpin dan ideal-ideal demokrasi yang harus selalu dijunjung tinggi.

Sejarah mencatat bahwa perpecahan antara Bung Hatta dan Soekarno memiliki dampak jangka panjang terhadap perjalanan Indonesia ke depan. Pengunduran diri Bung Hatta bukan hanya sekadar langkah politik, tetapi juga sebuah simbol dari harapan yang hilang akan kolaborasi yang harmonis antara dua pemimpin besar di awal kemerdekaan.
 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved