Bocoran Agenda Pro-Jokowi yang Akan Memperkuat Pasukan Penulis Opininya
Tanggal: 27 Jan 2018 14:30 wib.
“Rencananya kita mau buat website baru,” kata seorang Kompasianer lewat sambungan seluler seminggu yang lalu.
Kompasianer pendukung Jokowi sejak 2012 dan terlibat dalam berbagai perang opini itu kemudian mencertakan rencana yang dibuatnya bersama relawan Jokowi lainnya saat menghadiri resepsi pernikahan Bobby-Kahiyang di Solo pada November 2017.
Katanya, tim kampanye pemenangan Jokowi untuk Pilpres 2019 akan kembali menggalang penulis-penulis opini yang dulu terlibat secara aktif di Kompasiana.
Sayangnya, kondisi Kompasiana sudah tidak sekondusif seperti sebelum pertengahan 2015. Hal ini dikarenakan format baru yang dipakai Kompasiana saat ini tidak memisahkan artikel yang berkualitas dengan artikel yang asal posting. Sementara deret artikel terbaru hanya 20 artikel. Sehingga artikel yang masuk akan cepat hilang dari peredaran.
Sebenarnya, pendukung Jokowi memiliki sejumlah situs keroyokan. Seword, misalnya. Sayangnya, Seword yang lahir setelah Kompasiana menggunakan format barunya justru berpotensi menggerus elektabiltas Jokowi. Seword bahkan dikenal sebagai situs hoax yang dibina Istana.
Pertanyaannya, kenapa pendukung Jokowi masih membutuhkan website khusus artikel opini? Padahal, banyak media mainstream yang cenderung, bahkan terang-terangan, memihak pada Jokowi.
Media hanya menyampaikan peristiwa yang telah terjadi. Sebagai “alat pemenangan pemilu” media hanya mengambil sudut yang menguntungkan jagoannya. Sebaliknya, media pun memilih sudut yang merugkan lawan dari jagoannya. Untuk itu media memiliki banyak strategi.
Dalam pemberitaan tentang mahar yang diceritakan oleh La Nyalla, misalnya. Media mengekspos habis-habisan cerita La Nyalla yang mengaku diperas dan dimaki-maki oleh Prabowo Subianto. Tetapi, begitu La Nyalla membatah pengakuannya, media pun redup. Bahkan ada media yang sama sekali tidak memberitakannya.
Namun demikian, sekalipun sudah memainkan perannya sebagai alat propaganda, namun media masih memiliki keterbatasan dalam pembentukan opini.
Keterbatasan media itulah yang kemudian ditutupi oleh artikel opini. Para penulis opini kemudian menggiring pandangan masyarakat untuk melihat Prabowo sebagai sosok tukang paak dan pemarah.
Pada 2013, konon menurut Fahri Hamzah, ada sekitar 500 ribu kader PKS yang diturunkan di media sosial untuk “mengawal” kasus korupsi kuota impor sapi yang dilakukan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Para kader PKS itu membanjiri semua jejaring sosial, termasuk menulis dan berkomentar di Kompasiana. Bahkan, slah seorang kadernya menyerukan untuk menayangkan 1 juta artikel dalam 1 bulan.
Di Kompasiana, kader-kader PKS datang secara hampir bersamaan. Tetapi, setelah banyak dari artikel mereka yang dihapus admin karena hasil copas atau bahkan hoax, secara hampir bebarengan juga mereka menghilang. Termasuk Jonru Ginting yang hoax dengan artikelnya tentang jenazah di Mesir.
Setalh itu, Kompasiana nyaris hanya didominasi pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto yang ketika itu masih kompak, termasuk ketika “menghajar” artikel-artikel yang diposting kader PKS.
Memasuki masa Pilpres 2014, Kompasiana kembali ramai oleh artikel-artikel opini yang diunggah pendukung Jokowi dan Prabowo. Artikel-artikel itu di-share oleh masing-masing pendukung sehingga dibaca hingga ratusan ribu dalam sehari.
Bayangkan, satu saja pemberitaan negatif tentang lawan Jokowi, penulis opini akan mengeksposnya dengan berbagai macam sudut pandang. Demikian juga terhadap berita positif tentang Jokowi.
Prabowo sudah merasakan bagaimann opini membuatnya kesulitan melepaskan diri dari tuduhan sebagai otak dibalik kelompok Saracen, meski polisi sama sekali belum menyentuhnya.
Saat Pilpres 2014, elektabilitas Jokowi yang pada mulanya jauh di bawah Prabowo. Dan jika head to head, sudah bisa dipastikan Jokowi bakal kalah. Tetapi, secara perlahan elektabilitas Jokowi menyusul dan bahkan menyalip Prabowo. Dan, ujungnya menang head to head dalam Pilpres 2014.
Jika mengacu pada hasil pantauan Politicawave, serangan terhadap Jokowi jauh lebih tinggi ketimbang kepada Prabowo. Tetapi, kampanye positif yang dilakukan untuk mendukung Jokowi juga jauh melampaui kampanye positif untuk Prabowo. Hasilnya, net sentimen Jokowi di atas Prabowo.
Artinya, ada strategi kampanye yang salah yang diterapkan oleh tim sukses Prabowo. Salah satu yang paling mencolok adalah digunakannya konten-konten hoax dan provokatif. Biasanya cara ini dijalankan oleh kader-kader PKS lewat akun-akun medsos dan situs-situs yang dikelolanya.
Sebenarnya, tidak sedikit kader PKS yag gusar dengan perilaku rekan-rekan satu partainya yang dinilai mencoreng nilai-nilai dakwah itu. Mereka juga mengecam aktivitas Jonru dan PKSPiyungan. Hanya saja suara mereka kurang kencang.
Sampai kemudian, petinggi PKS meminta pengelola PKSPiyungan da situs-situs lain yang memakai nama PKS untuk menghapus “PKS” dari nama domain dan nama situsnya. PKSPiyungan pun terpaksa dirubah menjadi Piyungan Online.
Usai Pilpres 2014, pendukung Prabowo lenyap nyaris tanpa bekas, termasuk para penulis beken dengan predikat penulis opini terbaik Kompasiana 2013.
Memasuki akhir 2015, sebagian Kompasianer pendukung Jokowi berbalik menentang Jokowi. Konon, pihak lingkar Istana sempat menanyakan perubahan peta di Kompasiana.
Ketika itu Kompasiana memang masih menjadi salah satu media yang dipantau. PoliticanaWave, bahkan, memasukkan Kompasiana ke dalam katagori media. Di dalam katagori tersebut Kompasiana berada bersama Kompas.com, Tempo.co, Republika.co.id, Vivanews.com, dan lainnya.
Sayangnya, setelah Kompasiana berganti format, satu persatu “pembelot” Jokowi hengkang atau hanya sesekali mengunggah artikelnya. Dan, sampai sekarang belum ada wadah bagi mereka untuk menyalurkan suaranya.
Sebaliknya, pendukung Jokowi yang juga pendukung Ahok membentuk Seword yang kemudian menjadi populer setelah sejumlah seleb twit pendukung Ahok men-share-nya lewat jejaring sosial.
Tidak mengherankan jika Ahok yang namanya disebut-sebut dalam sejumlah kasus kasus korupsi masih dianggap bersih. Begitu juga dengan perangai-perangai buruk Ahok. Ahok pun diopinikan tidak menistakan agama. Sebaliknya, Ahok diposisikan sebagai korban politisasi agama. Karenanya tidak mengherankan jika suara yang diperoleh Ahok dalam Pilgub DKI 2017 tetap tinggi, bahkan menang dalam putaran pertama.
Seiring dengan sejumlah pertemuan yang digelar oleh relawan Jokowi, Kompasiana pun digerujuk oleh artikel-artikel pendukung Jokowi. Artikel-artikel yang diunggah itu sebenarnya ditulis secara asal-asalan. Dan, terkesan hanya diposting untuk membebamkan artikel-artikel anti-Jokowi dengan memanfaatkan kelemahan format baru Kompasiana.
Saat ini para pendukung Jokowi sudah mengambil ancang-ancang untuk menghadapi Pilpres 2019 dengan artikel-artikel opininya. Dan, melihat dari perkembangan yang sampai detik ini berlangsung, para pendukung Jokowi lebih terkoordinasi ketimbang saat menghadapi Pilpres 2014. (Sebagai informasi, saat Pilpres 2014, pendukung Jokowi di Kompasiana “bekerja” sendiri-sendiri tanpa ada komunikasi, apalagi koordinasi).
Jika agenda pro-Jokowi berjalan, maka di fron internet Jokowi akan dikawal 3 kekuatan; pertama media daring, kedua media sosial, ketiga media atau situs opini. Sementara, lawan Jokowi hanya akan didukung oleh 1 kekuatan, yaitu media sosial. Singkatnya, 3 lawan 1.
Melihat para pendukung Jokowi sudah menggelar pelatihan kepenulisan opini, pro-Jokowi nampaknya serius untuk memenangkan pertarungan di ranah opini.
Pertanyaannya, bagaimana para laan Jokowi akan menghadapi agresivitas para pendukung Jokowi di fron internet?