Benarkah Gatot Nurmantyo Dirugikan Jadwal Pilpres 2019

Tanggal: 7 Mar 2018 19:37 wib.
Katanya, jadwal Pilpres 2019 merugikan Gatot Nurmantyo dan juga tokoh-tokoh alternatif lainnya, termasuk Agus Harimurti Yudhoyono. Sebaliknya Joko Widodo dan Prabowo Subianto disebut sebagai pihak yang sangat diuntungkan.

Benarkah jadwal Pilpres 2019 merugikan Gatot Nurmantyo, atau justru malah sebaliknya?

 

Haruskan Nasib Pencapresan Gatot Nurmantyo Tergantung pada Hasil Survei

Berdasarkan jadwal Pilpres 2019 yang sudah dipublikasikan KPU RI, waktu pendaftaran pasangan capres-cawapres akan diselenggarakan pada 4-10 Agustus 2018. Sementara, Gatot Nurmantyo baru akan memasuki masa pensiunnya pada Maret 2018 ini.

Dengan hitung-hitungan di atas, Gatot Nurmantyo hanya memiliki waktu sekitar enam bulan untuk menyiapkan dirinya dalam bursa capres 2019-2024.

Jika kelayakan capres hanya ditentukan dari tingkat elektabilitas yang dimilikinya, maka rentang waktu enam bulan pastinya tidaklah cukup bagi Gatot untuk mendongkrak angka keterpilihannya.

Bisa dibilang, jangankan untuk menaikkan tingkat elektabilitasnya, bahkan hanya untuk sekadar melejitkan angka popularitasnya pun mantan Panglima TNI ini belum tentu sanggup.

Di samping itu, menurut sejumlah rilis hasil survei, elektabilitas Gatot masih jauh di bawah angka keterpilihan Prabowo sebagai runner up sementara dan elektabilitas Jokowi yang memuncaki klasemen sementara dengan kisaran angka antara 40 persen sampai 50 persen.

Dengan kata lain, jika mengacu pada tingkat elektabilitas yang dirilis oleh sejumlah lembaga survei, maka Gatot Nurmantyo tidak mungkin sanggup bersaing dengan Jokowi yang sudah dideklarasikan sebagai capres pada 22 Februari 2018 dan Prabowo yang masih di persimpangan jalan antara maju sebagai capres atau menjadi king maker.

Masalahnya, jika kelayakan capres hanya ditentukan dari tingkat elektabilitas yang diproduks oleh lembaga survei, ada sekian banyak rilis survei yang layak diragukan keakuratannya.

Di Kompasiana ini ada sejumlah artikel yang menyoroti kejanggalan-kejanggalan hasil-hasil survei. Di antaranya Survei Median Soal SBY Ini Benar-benar Menggelikan   dan Pilgub Jabar 2018, Setelah Ridwan Kamil Melubangi Kapalnya Sendiri

Belum lagi ada lembaga survei yang diduga keras menjiplak hasil kerja lembaga survei lainnya. Perhatikan kesamaan angka-angka beserta urutannya pada hasll survei Lepsudami yang dilangsungkan pada November 2011 hingga Februari 2012 dan Movement Study & Analysis Center (IMOSAC), ETOS Institute, dan Space Indonesia yang diselenggarakan pada November 2011 hingga Februari 2012.

Hasil survei Lepsudami yang disalin tempel dari Tribunnews.com

Dalam survei Lepsudami, purnawirawan jenderal ini memperoleh angka dukungan 18 persen dari 10.000 responden di lima kota besar Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bandung, dan Semarang. Survei tersebut dilakukan pada November 2011 hingga Februari 2012.

Di bawah Prabowo yang kini menjabat ketua dewan pembina Partai Gerindra, peringkat kedua ditempati oleh politisi gaek Partai Golkar, Akbar Tandjung dengan perolehan 17 persen suara responden. Disusul berikutnya Jusuf Kalla sebesar 13 persen dan Aburizal Bakrie 11 persen.

Sedangkan responden yang memilih Megawati Soekarnoputri sebanyak 10 persen responden, sementara Wiranto sebesar 7 persen. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa berada di posisi 10 dengan angka dukungan 3 persen.

Hasil survei IMOSAC yang di-copas dari Merdeka.com

Ia mengungkapkan, dari 57 persen responden yang memutuskan untuk memberikan pilihannya, didapat kesimpulan bahwa calon presiden yang paling diminati oleh responden adalah Prabowo Subiyanto, yakni 18 persen.

Posisi kedua capres yang paling diminati, ditempati Jokowi (17 persen). Sementara Ketua DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menempati posisi ketiga, dengan 13 persen pemilih.

"Selanjutnya, Hatta Radjasa 11 persen, Megawati 10 persen. Ada juga nama-nama lain yang muncul dalam variable capres pilihan seperti Wiranto, Machfud MD, Sutiyoso, Yusril Ihza Mahendra dan Jusuf Kala," tegasnya.

(Penebalan angka oleh Gatot Swandito)

Perhatikan kesamaan angka pada dua hasil survei dua lembaga survei yang digelar pada dua waktu yang berbeda: “18 persen”, “17 persen”, “13 persen”, “11 persen”, dan “10 persen”. Perbedaan keduanya hanya pada nama-nama tokohnya saja.

Dan, masih banyak lagi kengawuran yang dengan mudah bisa ditemukan dalam sejumlah rilis lembaga survei yang sudah diposting di Kompasiana.com.

Parahnya lagi, media justru menambah buruk pemberitaan dengan memelintir hasil survei. Contohnya Metrotvnews.com yang memelintir tingkat popularitas menjadi tingkat elektabilitas. Seperti yang ditulis dalam “Berita Sesat Metrotvnews tentang Survei Dicomot "PKSpiyungan", dan Ditanyakan pada Yusril” dan “Sesatkan Hasil Survei, Metrotvnews Coba Lemahkan Ridwan Kamil Sekaligus Dongkrak Yusril”.

Jika melihat banyaknya kejanggalan dalam hasil survei, muncullah sebuah pertanyaan, berapakah sebenarnya tingkat elektabilitas Jokowi? Berapa juga level keterpilihan Prabowo? Demikian juga selanjutnya, berapakah tingkat elektabilitas Gatot Nurmantyo?

Pertanyaan lebih jauh, masihkah tingkat elektabilitas yang diproduksi oleh lembaga survei dijadikan patokan dalam pemilihan bakal calon presiden?

 

Rendahnya Tingkat Elektabilitas Gatot Nurmantyo Bukan Berarti Peluangnya Menipis

Tetapi, kalau pun dijadikan acuan, sebenarnya dengan jadwal Pilpres 2019, tingkat elektabilitas hanyalah modal awal yang tidak terlalu signifikan terhadap raihan suara pada hari H.

Sebab, menurut jadwal Pilpres 2019, masa kampanye dimulai sejak 23 September 2018 sampai 13 April 2019. Dengan demikian, Gatot Nurmantyo memiliki waktu sekitar tujuh bulan untuk meningkatkan tingkat keterpilihannya sampai pelaksanaan pemungutan suara digelar pada 17 April 2019.

Dan, ketika masa kampanye dimulai, tingkat popularitas sudah bukan masalah lagi. Sebab, sejak saat itu, media cetak, media elektranik, dan media online secara otomatis akan memberitakan para pasangan capres-cawapres, termasuk Gatot Nurmantyo beserta pasangannya. Ditambah lagi dengan media luar ruangan, seperti baliho, spanduk, poster, dan lainnya.

Malah, karena jadwal Pilpres 2019 dan Pileg 2019 berjalan beriringan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan pemilu serentak, kampanye pencapresan Gatot Nurmantyo akan didukung penuh oleh seluruh caleg dari parpol pendukungnya, baik itu parpol peserta Pileg 2014 maupun parpol anyar.

Kondisi tersebut berbeda dengan tiga pilpres sebelumnya, di mana jadwal kampanye pilpres dilangsungkan setelah pileg usai dilaksanakan. Dalam pilpres-pilpres sebelumnya, hanya kader partai, caleg yang berhasil lolos, dan pendukung pasangan capres-cawapres saja yang mengampanyekan pasangan jagoannya.

Bandingkan dengan jadwal Pilpres 2014 yang membuka pendaftaran pasangan calon pada 10-16 Mei 2014 dan memulai masa kampanye pada 13 Juni sampai 4 Juli 2014. Sementara, waktu pemungutan suara berlangsung pada 8 Juli 2014.

Dengan demikian, rentang masa kampanye Pilpres 2019 dua kali lebih lama ketimbang durasi masa kampanye Pilpres 2014.

Jika melihat hasil survei yang dirilis Litbang Kompas pada 8 Januari 2014, tingkat elektabilitas Jokowi mencapai 43 persen. Sementara, pesaingnya dalam Pilpres 2014, Prabowo, hanya 11,1 persen (Sumber: Detik.com).

Menurut hasil survei lembaga yang sama dan dipublikasikan oleh media yang sama, dua minggu setelah penutupan pendaftaran pasangan capres-cawapres, tingkat elektabilitas Jokowi-JK berada di angka 42,3 persen. Sementara Prabowo-Hatta Rajasa disebut memiliki tingkat elektabilitas sebesar 35,3 persen (Sumber: Detik.com).

Faktanya, hasil Pilpres 2014 yang diiselenggarakan sekitar tujuh bulan setelah survei Kompas dirilis, Jokowi meraih 53,15 persen suara dan Prabowo mendapat 46,85 persen suara.

Pasangan Prabowo-Hatta memang kalah dari pasangan Jokowi-JK. Namun demikian, lonjakan tingkat elektabilitas Prabowo lebih tinggi dari Jokowi-JK.

Jadi, kalau pun menggunakan acuan hasil survei, rendahnya tingkat elektabilitas belum tentu mengisyaratkan tidak adanya pelonjakan setelah memasuki masa kampanye. Bahkan setelah masa pendaftaran pasangan calon capres-cawapres.

Demikian juga dengan Gatot Nurmantyo. Meski elektabilitasnya saat ini disebut-sebut paling moncer hanya 15 persen, namun setelah masa pendaftaran pasangan capres-capres dapat saja terjadi pelonjakan.

Dengan demikian, jelas jika jadwal Pilpres 2019 sama sekali tidak merugikan Gatot Nurmantyo. Bahkan, sebaliknya. Gatot (juga) diuntungkan dengan jadwal Pilpres 2019.

 

Masalah bagi Gatot Nurmantyo bukan Jadwal Kampanye, Tetapi Media

Jadi, masalah yang dihadapi oleh Gatot Nurmantyo bukanlah pada jadwal Pilpres 2019, tetapi pada strateginya dalam membangun persepsi positif pemilih terhadap dirinya.

Dan, salah satu perangkat untuk melancarkan strategi ini adalah pembingkaian positif oleh media. Celakanya, bagi Gatot Nurmantyo, media tidak memihak kepadanya.

Terlebih lagi, situasi yang dihadapi Gatot Nurmantyo jauh lebih berat ketimbang Prabowo saat Pilpres 2019. Ketika itu, meski media online tidak berpihak kepada Ketua Umum Partai Gerindra ini, namun jumlah stasiun televisi yang mengampanyekannya jauh lebih banyak ketimbang yang “mengiklankan” Jokowi.

Saat ini, nyaris semua media, baik itu media cetak, media elektronik, dan media daring memihak kepada Jokowi. Media-media ini mengekspos segala rupa tentang Jokowi, mulai dari yang besar sampai yang remeh temeh. Sebaliknya, segala kelemahan seputar Jokowi berusaha ditutup-tutupi.

Karenanya tidak mengherankan bila berita tentang Jokowi yang membeli motor chopper lebih heboh ketimbang pemberitaan tentang gizi buruk di Asmat, Papua. Kalau pun menyoroti Asmat, media lebih memilih pemberitaan tentang rencana atau pemberangkatan mahasiswa ke Asmat.

Bertolak belakang dengan yang dibingkaikan pada Jokowi, ketidakberpihakan media terhadap Gatot Nurmantyo ini sangat terlihat jelas dalam serangkaian peristiwa. Contohnya, pada saat Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI memutasi sejumlah perwra tinggi TNI. media menyebut kebijakan mutasi tersebut sebagai bom waktu, bahkan sebagai bentuk pembangkangan terhadap pemerintah Jokowi.

Jika ketidakberpihakan media ini tidak dapat dilawan, maka akan sulit bagi Gatot untuk memenangi kompetisi Pilpres 2019. Sekadar mengingat-ingat, saat Pilpres 2014, jumlah media yang dianggap memiliki keberpihakan terhadap pasangan capres-cawapres nyaris berimbang.

Pertanyaannya, apakah sebelum jadwal Pilpres 2019 digulirkan  pada pertengahan Agustus 2018, Gatot Nurmantyo sudah memilii strategi khusus yang bisa diandalkannya dalam menghadapi ketidakberpihakan media terhadap dirinya?
Copyright © Tampang.com
All rights reserved