Atasi Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Pengamat Sebut Kemendagri Jangan Berhenti Pada Keputusan Presiden
Tanggal: 19 Jun 2025 22:49 wib.
Sengketa lahan yang melibatkan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara telah menjadi isu yang berkepanjangan dan kompleks. Presiden Prabowo disebut-sebut bakal mengambil alih penanganan kisruh ini, namun pertanyaannya adalah, apakah keputusan presiden cukup untuk menyelesaikan sengketa ini? Pengamat dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, mengungkapkan pandangannya bahwa peran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sangat krusial dan jangan berhenti hanya pada sikap Presiden.
Keputusan presiden memang memiliki pengaruh yang besar dalam upaya penyelesaian sengketa lahan ini. Namun, karakter sengketa yang melibatkan batas daerah otonomi daerah tidak dapat diselesaikan hanya dengan keputusan administratif. Masalah ini lebih dari sekadar keputusan di tingkat pusat; ia menyentuh mata rantai kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat lokal.
Sengketa lahan di empat pulau ini mencakup Pulau Berhala, Pulau Pandang, Pulau Simuk, dan Pulau Rusa. Masing-masing pulau ini memiliki keunikan dan potensi yang berbeda, baik dari segi sumber daya alam maupun sosial ekonomi. Ketegangan muncul dari klaim yang saling bertentangan antara Aceh dan Sumatera Utara, yang berakar dari sejarah panjang perbedaan administrasi dan politik. Oleh karena itu, hanya mengandalkan keputusan presiden sebagai solusi akan menjadi langkah setengah hati.
Herman Suparman juga menegaskan pentingnya Kemendagri untuk bertindak lebih proaktif dan terlibat langsung dalam mediasi antara kedua provinsi. Kemendagri harus memiliki rencana yang lebih komprehensif untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dengan keterlibatan aktif dalam proses dialog dan mediasi, Kemendagri tidak hanya dapat meredakan ketegangan, tetapi juga mengembangkan solusi yang berkelanjutan bagi kedua provinsi.
Rencana jangka pendek yang perlu dipertimbangkan termasuk identifikasi dan verifikasi batas yang diakui oleh kedua provinsi. Hal ini dapat mengurangi ambiguitas yang sering menjadi pemicu konflik. Namun, tanpa pengawasan dan fasilitasi dari Kemendagri, proses ini dapat terhambat dan tidak mencapai hasil yang diharapkan.
Lebih jauh, Sengketa lahan juga melibatkan aspek sosial dan kultural yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat lokal memiliki kearifan dan historis yang mendalam terhadap pulau-pulau ini. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih inklusif harus diambil dengan melibatkan masyarakat dalam proses pemetaan dan pengakuan hak. Keterlibatan ini penting agar masyarakat tidak merasa terpinggirkan dalam keputusan yang diambil.
Dalam konteks lebih luas, penyelesaian sengketa ini juga akan berimplikasi pada stabilitas politik dan sosial di kedua provinsi yang bersangkutan. Isu batas daerah otonomi daerah adalah masalah yang sensitif dan berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Jika tidak ditangani dengan baik, potensi konflik berkepanjangan akan terus ada, menghambat perkembangan dan kemajuan kedua daerah.
Dengan demikian, langkah selanjutnya setelah keputusan presiden harus melibatkan upaya terkoordinasi antara Kemendagri dan pemerintah daerah. Penanganan masalah ini harus melibatkan analisis mendalam dan pemahaman situasi lokal, sehingga penyelesaian yang diambil dapat diterima oleh semua pihak. Kesuksesan dalam menyelesaikan sengketa lahan ini tidak hanya akan menguntungkan Aceh dan Sumatera Utara, tetapi juga mencerminkan kematangan dalam pengelolaan wilayah dan tata kelola pemerintahan di Indonesia.