ARB Bukan Kekuatan Ke-3 Penggempur Jokowi
Tanggal: 1 Agu 2017 11:22 wib.
Menurut pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ( IPR ), Ujang Komarudin, ada tiga kekuatan yang akan mengempur Jokowi dalam Pilpres 2019 nanti.
Pertama pasangan Prabowo dan AHY yang merupakan pasangan yang cocok karena menyatukan dua kekuatan. Menurut Ujang, pasangan ini menunjukkan kekuaatan generasi tua dan generasi muda milenial..
Kekuatan kedua yang bisa membuat kubu pemerintah semakin cemas yaitu PKS, PAN dan PKB akan menjadi koalisi kedua partai yang sudah bergabung yaitu Partai Gerindra dan Demokrat.
Dan, Kekuatan ketiga yang membuat pemerintah cemas pada pilpres 2019 mendatang, yaitu bergabungnya kubu Golkar yang dikomandoi Aburizal Bakri (ARB) yang merasa kecewa dengan partainya akibat kekalahannya menjadi ketua partai Golkar.
"Jadi Aburizal bisa membawa gerbong Golkar untuk mendukung Prabowo" tambah Ujang.
Pertama diksi “pemerintah” yang digunakan Ujang salah besar. Sebab pemerintah tidak ikut dan bukan peserta pemilu. Bahkan, menurut UU Pemilu di belahan dunia mana pun juga, pemerintah tidak memiliki hak untuk mengajukan calon. Itu semua karena pemerintah harus berposisi netral.
Sedangkan peserta pemilu, di mana pun juga dan kapan pun juga, adalah partai politik atau calon independen. Parpol dapat mengajukan capres-cawapres, cagub-cawagub, cabup-cawavub, cawalkot-cawawalkot, dan juga caleg. Selain parpol, khusus untuk pilkada, perorangan atau individu pun bisa mengajukan sebagai calon dengan persyaratan tertentu.
Mungkin yang dimaksud pemerintah oleh Ujang adalah PDIP dan koalisinya.
Yang unik kalau tidak mau dibilang lucu, Ujang mengatakan ARB merupakan kekuatan ketiga yang akan menggempur Jokowi. Katanya, ARB yang kecewa karena kalah dalam kompetisi perebutan Ketum Golkar dan juga dekat dengan Prabowo akan membawa gerbong Golkar untuk mendukung Prabowo.
Ujang mungkin belum paham jika dalam pemilu, apa pun itu, termasuk pileg, figur calon memiliki peran lebih menonjol ketimbang partai. Selain figur, para pendukung yang dekat dengan calon akan menentukan kemenangan calon.
Dalam Pilpres 2004, SBY-JK yang diusung Demokrat mampu mengungguli penantangnya yang diajukan parpol-parpol yang lebih besar dari Demokrat. Wiranto yang diusung partai pemenang Pileg 2004 bahkan harus tersingkir di putaran pertama.
(Pilpres 2004 belum menerapkan presidential threshold (PT), PT baru diterapkan pada Pilpres 2009. Aturan PT ini digagas oleh pemerintah SBY dan disetujui DPR RI).
Dalam Pilpres 2009, suara yang diraih SBY-Boediyono melebihi raihan suara Demokrat. Dalam Pilpres yang sama perolehan suara pasangan JK-Wiranto lebih kecil ketimbang suara yang diraih Golkar-Hanura.
Demikian juga dengan Jokowi-Ahok yang mampu memenangi Pilgub DKI 2012 walau hanya didukung PDIP dan Gerindra. Sementara Fokw-Nara mendapat dukungan dari Demokrat, PAN, PKB, Golkar, PPP, PKS, dll.
Itulah sederetan bukti faktor figur lebih menentukan ketimbang parpol. Parpol, kecuali PKS, tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan kontituennya.
Dalam Pilpres 2014, kata “sinting” yang diucapkan kader PKS Fahri Hamzah jelang masa tenang, menjadi blunder fatal bagi Prabowo-Hatta. Gegara ucapan Fahri, elektabilitas Prabowo yang melesat dari yang hanya di bawah 20 % mendadak terhenti. Blunder Fahri itulah yang disebut-sebut sebagai biang kekalahan Prabowo-Hatta.
Ujuang pun lupa jika dalam berbagai pemilu dengan tingkat persaingan yang ketat, kader Golkar tidak pernah berada dalam satu gerbong. Ketika Pilpres 2004 kader Golkar berpencar di seluruh kandidat. Demikian juga dalam Pilpres 2009, Pilpres 2014, dan Pilgub DKI 2017.
Dan, sebagaimana parpol-parpol lain, elit-elit Golkar tidak mampu mengarahkan suara kontituennya untuk mendukung calon yang diusungnya. Jadi, ARB pun tidak akan sanggup mengarahkan kontituennya untuk memberikan suaranya pada Prabowo dalam Pilpres 2019.
Dukungan ARB, malah bisa menjadi titik lemah bagi calon yang didukungnya. Sebab, mau tidak mau, ARB akan dilekateratkan dengan bencana lumpur Lapindo. Sama seperti Ahok yang akan menjadi sasaran antara untuk menyerang Jokowi, begitu juga dengan ARB.
Dan, mungkin Ujang lupa, jika saat Pilpres 2014, baik Prabowo maupun Jokowi menolak pinangan ARB untuk menjadi cawapres. Prabowo lebih memilih Hatta Rajasa meski elektabilitasnya lebih rendah dari ARB.
Dan Jokowi lebih memilih berpasangan dengan JK yang namanya pun jarang muncul dalam sejumlah rilis survei. Sebab saat itu tidak ada yang menduga JK akan kembali turun gunung.
Bahkan, karena terkait Lapindo, sejumlah kader Golkar meminta ARB untuk mundur dari Ketum Golkar sebelum Pileg 2014.
Namun demikian, dengan kepemilikannya atas sejumlah media, sosok ARB tetap akan menjadi incaran bagi kontestan pemilu. Hanya saja, memiliki akses dan asset kesejumlah media, dalam Pilpres 2014, sosok ARB jarang ditampilkan.
Dan lagi pula, saat ini ARB bisa dikatakan bukan siapa-siapa di Golkar. ARB nyaris tidak memiliki pengaruh pada partai berlambang pohon beringin ini. Itulah kenapa saat Pilgub DKI 2017 nyaris tidak pernah keluar pernyataan dari ARB.
Sampai saat ini, tokoh Golkar yang masih memiliki pengaruh besar hanyalah Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Selain keduanya, elit-elit Golkar, termasuk ARB, tidak memiliki pengaruh yang kuat.
Lucunya lagi, Ujang seolah terobsesi jika SBY dan Prabowo pasti berkoalisi. Ujang mungkin lupa jika untuk Pilpres 2014, SBY menggelar konvensi untuk menjaring bakal capres untuk partainya. Dan ketika strategi ini gagal, SBY memilih untuk netral.
Artinya, SBY berupaya agar Demokrat dapat mengusung capresnya sendiri. Jika tidak menemukan calon yang layak dari internal Demokrat. SBY mencarinya dari luar. Sederhananya, SBY tidak melepas setiap kesempatan yang datang kepadanya.
Demikian juga dengan Pilpres 2019. SBY akan memanfaatkan setiap celah untuk mengusung calon dari partainya sendiri. SBY bahkan akan lebih leluasa jika Pilpres 2019 tanpa PT. Karena SBY tidak perlu mencari dukungan parpoi lainnya untuk memenuhi syarat ambang batas.