Apa yang Aneh Pada Pennyanderaan Warga di Papua?
Tanggal: 18 Nov 2017 13:20 wib.
Pada pukul 11.45 WIB tanggal,18 Agustus 2010, Bank CIMB Niaga Cabang Medan Aksara, Jl AR Hakim, Medan, Sumatera Utara, disatroni kawanan perampok yang diberitakan berjumlah 16 orang.
Dalam peristiwa yang berlangsung dalam beberapa menit tersebut satu anggota Brimob bernama Manuel Simanjuntak tewas di tempat. Sementara dua petugas satpam M Fahmi dan Muh Diantoro kritis dan dilarikan ke rumah sakit.
Dari foto-foto yang beredar, nampak sejumlah pelaku berjaga-jaga di depan lokasi dengan memegang senjata laras panjang. Foto-foto itu diambil oleh warga yang berada di sekitar TKP. Sama seperti perekam video aksi teroris pada peristiwa Bom Bali 2 yang terjadi pada 1 Oktober 2005, pemotret perampokan di CIMB Medan pun tidak diketahui identitasnya.
Menariknya, meski berbekal senjata laras panjang, pelaku memilih sepeda motor berjenis bebek dan matik sebagai tunggangan dalam melancarkan aksinya.
Artinya, sepanjang perjalanan menuju dan kembali dari TKP dan selama berada di sekitar lokasi perampokan, kawanan perampok ini menarik perhatian masyarakat yang kebetulan menyaksikannya.
Perampokan yang terjadi di Bank CIMB Medan menjadi sorotan bukan saja lantaran korbannnya adalah sebuah bank yang terbilang jarang terjadi, tetapi juga karena telah menimbulkan kontroversi di kalangan petinggi Polri mengenai “status” pelakunya.
Ada petinggi Polri yang menyebut aksi perampokan di Bank CIMB Medan sebagai aksi terorisme dan dilakukan oleh kelompok teroris. Dengan begitu, kasus ini menjadi wewenang Densus 88 untuk mengusutnya.
Sebaliknya, sebagian lagi berpendapat jika aksi perampokan tersebut dilakukan oleh kawanan perampok yang tidak terkait kelompok teroris. Jika demikian, maka kasus ini menjadi wewenang Polda Sumut.
Kontroversi ini terus berlanjut sampai pada sore hari tanggal 20 September 2010. Ketika itu, Densus 88 menggerebek dan menangkap pelaku perampokan CIMB Medan yang ternyata tergabung dalam kelompok jaringan teroris Aceh.
Ketika itu, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri menegaskan jika kasus perampokan Bank CIMB Niaga Medan bukan hanya kejahatan kriminal biasa, melainkan terkait dalam kasus terorisme.
"Para pelaku perampokan itu mencari dana dengan tujuan untuk membantu kegiatan terorisme," kata Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri kepada wartawan di Mapolda Sumut di Medan pada malam hari setelah penggerebekan berlangsung (Antaranews.com)
Penegasan Kapolri ini dikuatkan dengan terjadinya penyerangan bersenjata atas Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang pada 22 September 2010. Dalam penyerangan yang terjadi pada sekitar pukul 00.30 tersebut tiga anggota kepolisian tewas.
Sama seperti saat merampok CIMB Medan, pelaku penyerangan Mapolsek Hamparan Perak yang berjumlah 10 orang berbekal senjata laras panjang dan menggunakan sepeda motor sebagai kendaraannya.
Ketika itu, polemik soal identitas pelaku perampokan menjadi lebih seru lagi setelah beredarnya kabar burung tentang rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan mengganti Kapolri.
Saat itu setidaknya ada dua kelompok besar di lingkungan Polri yang berupaya menempatkan “kadernya” menjadi Tribrata 1. Gesekan kedua kelompok ini terus menguat sampai kemudian SBY memunculkan nama Timur Pradopo yang sebelumnya tidak pernah disebut sama sekali.
“Status” pelaku kejahatan kembali diperdebatkan setelah sekelompok orang bersenjata yang disebut Polri sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) menyandera 1.300 warga di Desa Kimberli dan Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua pada awal November 2017.
Pengacara Hak Asasi Manusia Veronica Koman Vero mengatakan bahwa KKB yang dimaksud kepolisian adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM).
“Kepolisian mengganti TPN dengan KKB untuk justifikasi dan tujuan tertentu, ” katanya (Sumber: Tempo.co).
Seperti pada kasus perampokan Bank CIMB Medan, “status” pelaku kejahatan beriringan dengan institusi pemegang kewenangan: Densus 88 atau Polda Sumut. Demikian juga dengan “KTP” pelaku penyanderaan warga di Papua, Karena berstatus pelaku kriminal, Polri-lah yang berwenang menuntaskannya. Tetapi, jika pelakunya dinyatakan sebagai TPN-OPM maka kewenangan berada di tangan TNI.
Masalahnya, kasus perampokan Bank CIMB Medan tidak sama dengan kasus penyanderaan warga di Papua. Kalau di Medan, apa pun status pelakunya, kasus perampokan tetap menjadi urusan domestik. Tetapi, tidak demikian dengan pelaku penyanderaan di Papua.
Jika pelaku penyaderaan dinyatakan sebagai TPN-OPM, maka sama saja pemerintah dan Polri telah melempar kasus ini ke dunia luar, Itu sama saja dengan memancing kelompok pro-separatis Papua untuk ikut cawe-cawe.
Dengan menyebut pelaku penyanderaan sebagai KKB, pemerintah dan Polri telah melokalisasi kasus ini hanya sebagai kasus kriminal biasa. Karena itulah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, Polri, dan TNI tidak banyak menyampaikan komentarnya seperti ketika milisi Abu Syayaf menyandera ABK asal Indonesia pada April 2016.
Selain itu, setiap kasus penyanderaan pastinya ditangani dengan caranya masing-masing. Jika banyaknya pernyataan justru menambah ancaman terhadap korban, pastinya para pemegang kewenangan lebih memilih untuk bungkam ketimbang banyak cakap.
Spekulasi yang menuding Polri merekayasa penyanderaan warga di Papua untuk mendapatkan kembali persenjataannya yang ditahan oleh TNI juga 100% tidak benar.
Terkait persoalan senjata ini, ada perbedaan pendapat antara Polri dengan TNI. Polri mengatakan jika amunisi yang dibelinya dari Bulgaria tidak mematikan, hanya menimbulkan efek kejut. Sebaliknya, TNI justru mengatakan Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) Kal 40 x 46 mm yang diimpor Polri termasuk senjata berat serta mematikan.
Sampai sekarang belum diputuskan manakah yang benar: Polri atau TNI. Tetapi, karena sampai sekarang persenjataan itu masih ditahan pihak TNI, maka SAGL berikut amunisinya termasuk ke dalam persenjataan berat yang mematikan.
Jadi, bagaimana pun situasinya dan berapa pun korban yang jatuh di pihak Polri serta sekuat apa pun persenjataan pelaku, selama persenjataan yang dibeli Polri dari Belgia tersebut masih digolongkan sebagai senjata berat, selama itu pula Polri tidak berhak menggunakannya.
Karenanya, apapun situasinya, Polri tidak mungkin meminta izin dari TNI untuk dapat mengambil senjata yang dibelinya itu. Sebaliknya, bagaimana pun situasinya, TNI pun tidak akan mengeluarkan izin kepada Polri untuk mengambilnya.
Lebih dari itu, kalau SAGL Kal 40 x 46 mm yang berkatagori senjata berat dan mematikan digunakan, artinya sama saja Polri mencabut “status” KKB yang disematkan kepada pelaku penyanderaan. Lebih jauh lagi, penggunaan senjata berat pastinya akan merusak skenario dalam menuntaskan masalah separatis di Papua.
Kalau begitu, apa mungkin Polri merekayasa penyanderaan warga di Papua untuk mendapatkan persenjataannya yang ditahan pihak TNI? Jawabannya, sangat tidak mungkin!
Dan, selama pengendali operasi masih dipegang Polri, penyandera warga di Papua masih disebut sebagai pelaku kriminal. Karenanya, sekali pun TNI dilibatkan dalam operasi pembebasan sandera, bukan berarti status pelaku berubah dari KKB menjadi TPN-OPM.